Selasa, 29 September 2015

Hak Anak di Permukiman Kumuh (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Selasa, 29 September 2015)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sedang fokus menata permukiman kumuh. Tentu hal ini segaris dengan keputusan pemerintah pusat yang menargetkan Indonesia bebas permukiman kumuh pada 2019. Saat ini, luas kawasan kumuh sekitar 38.431 hektar. Ironisnya, pelayanan kota urung menyentuhnya, baik sarana bermain, fasilitas kesehatan, air minum, listrik, sistem pembuangan sampah, maupun fasilitas pelayanan mandi, cuci, kakus (MCK).
Munculnya permukiman kumuh di perkotaan tentu menjadi penghambat bagi pertumbuhan psikologis anak. Kawasan kumuh hanya akan membuat ruang dan waktu bermain mereka terganggu. Padahal, anak-anak bisa tumbuh dengan sempurna jika diberi kesempatan yang cukup untuk menikmati dunia mereka. Betapa sejak kecil, keriangan dan kegembiraan mereka kerap terampas oleh beragam kepentingan. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar, sehingga gejala-gejala kekerasan psikis dan sosial terhadap anak-anak semakin mudah ditemukan.
Berdasarkan konsep demokrasi, pemerintah dituntut berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati kebebasan anak-anak dan tidak membiarkan mereka terombang-ambing dalam permainan politik identitas. Sayangnya, pemerintah tak mempunyai taring untuk menghentikan berbagai perilaku yang merusak mental generasi muda. Berbagai produk hukum terbukti kurang efektif menggawangi masa depan mereka.
Dalam dunia anak-anak, bermain bukanlah sebuah kegiatan sia-sia yang menghabiskan waktu. Melalui bermain, mereka dapat belajar berekspresi, meningkatkan kecerdasan emosi, mengembangkan daya kreativitas, memupuk kepercayaan diri, serta mengatrol antusiasme belajar. Hal yang tidak kalah penting, pergaulan sosial mereka bisa terbangun sejak dini. Bagaimanapun, bermain dapat melatih anak-anak bersosialisasi, di mana perbedaan identitas kultural tidak menjadi prasyarat berteman. Dengan bermain, anak-anak dapat memperjuangkan semangat kolektivitas yang ditopang oleh rasa cinta, empati, kerja sama dan toleransi. Dengan demikian, keterampilan sosial dan tanggung jawab sosial dapat terasah dengan baik.
Lingkungan kumuh menjadi ancaman bagi anak-anak dalam mempelajari dan memaknai kehidupan. Lingkungan kotor, anti-sehat, dan kurang menyenangkan menjadi batu sandungan bagi mereka yang ingin mengembangkan potensi. Padahal, lingkungan salah satu pendukung proses pembelajaran anak yang meliputi bermain, berekspresi, berinovasi, serta bereksperimentasi. Lingkungan merupakan wahana bagi anak-anak untuk mampu berpikir merdeka dan kreatif. Adanya permukiman kumuh di perkotaan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak-anak kurang terpenuhi. Kebebasan mereka mengekspresikan diri kurang mendapat porsi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menciptakan mekanisme pengamanan dalam rangka menjamin anak-anak supaya terbebas dari berbagai bentuk kezaliman.
Selama ini, anak-anak dianggap sebagai aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak anak-anak. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial. Potret hitam masa depan anak-anak di negeri ini terekam jelas dari ragam kekerasan yang menimpa mereka. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan bahwa sepanjang 2010-2014, jumlah kekerasan terhadap anak cenderung signifikan. Berdasarkan pusat data dan informasi (Pusdatin) Komnas Anak, terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran anak yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota.
Boleh dibilang, data ini menunjukkan gagalnya pemerintah, masyarakat, serta orang tua melindungi serta menghargai hak anak-anak Indonesia. Padahal, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi tersebut seharusnya menjadi pijakan awal dalam mewujudkan proses pembelajaran berbasis hak anak (child rights-based approach of education). Termasuk juga melindungi anak-anak dari kekerasan fisik, mental, dan seksual. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA) sebenarnya melarang setiap orang membiarkan anak-anak tanpa perlindungan. Apa pun alasannya, mereka tidak boleh ditelantarkan. Semangat utama konvensi dan regulasi ini mengandung upaya penyadaran dan peringatan bagi siapa saja untuk mengutamakan kepentingan anak-anak.

Hak Hidup
Sesungguhnya anak-anak dibekali dengan hak hidup, bertahan, serta mengembangkan diri. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang menghargai eksistensi mereka dan menjamin pengembangan diri mereka secara holistik. Perkembangan anak-anak ditopang oleh iklim dan ekosistem yang kondusif. Dengan lingkungan yang bersih dan sehat, potensi mereka bisa dikembangkan secara dinamis.
Masih banyak anak di permukiman kumuh yang belum sepenuhnya menikmati hak-hak fundamental mereka. Beragam ketimpangan dan kepentingan justru menyudutkan mereka sebagai “anak tiri” di negeri sendiri. Menanggapi fenomena ini, harus ada ikhtiar serius mengembangkan mekanisme penyelamatan anak-anak.
Baik pemerintah, masyarakat, maupun orang tua, dituntut mampu menjamin kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk menikmati hak-hak mereka dengan leluasa. Penghormatan atas martabat mereka salah satu indikator utama negara dinyatakan sehat. Kasus-kasus pelanggaran hak anak selayaknya direspons secara proporsional, sehingga anak-anak terhindar dari segala bentuk tindak kekerasan (child abuse) dan diskriminasi.
Pemerintah dituntut bersikap responsif, berpikir inovatif, dan bertindak kreatif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat di lingkungan permukimah kumuh. Pemerintah harus membangun infrastruktur dan reproduksi sosial bagi anak-anak, seperti fasilitas pengasuhan, crisis centre dan shelter, pusat kesehatan, air bersih, subsidi pangan bergizi dan energi, serta lingkungan huni sehat. Pemerintah bisa menggandeng swasta dalam memperbaiki permukiman kumuh melalui program-program CSR perusahaan yang mengemban misi sosial.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar