Minggu, 13 September 2015

Etos Literasi dalam Bundel Esai (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 13 September 2015)


Judul: Cuilan
Penulis: Bandung Mawardi
Terbit: September 2015
Penerbit: Bilik Literasi Solo
Tebal: 60 halaman

“Menulis dengan wagu dan lugu”. Barangkali itulah slogan yang selama ini menghidupi dan dihidupi Bandung Mawardi, esais moncer yang tulisan-tulisannya kerap menghiasi media massa lokal dan nasional.
Di tangannya, beragam tema digarap dengan serius, kritis, tanpa berpretensi menggurui. Ia seakan memiliki insting untuk menghormati dan menghargai pembaca yang enggan “didikte”.
Produktivitas Bandung seakan tiada habisnya. Boleh dibilang, ia adalah generasi penulis yang mengawat erat prinsip kepenulisan dengan segala suka dan dukanya. Dengan teguh, ia membangkitkan budaya literal yang pernah menjadi nafas kebangkitan nasional.
Hingga detik ini, ia mengelola Pawon, komunitas sastra yang bertujuan menjaga spirit sastra dan menjadikannya sarana komunikasi massa. Dalam sebuah perbincangan, pendiri Sekolah Bahasa Indonesia di Kediri ini bertutur, “kami ingin memasyarakatkan sastra dan menyastrakan masyarakat. Ini memang terdengar memaksa, tetapi sebenarnya hal ini memang kami anggap perlu.”
Ia juga terlibat di Jagat Abjad, komunitas partikelir-nirlaba yang melahirkan karya-karya bernas dan berkualitas. Bisa jadi, ia menduplikasi konsep dan corak budaya literal yang menjadi akar gerakan kebangsaan para pelopor kebangkitan dan kemerdekaan, mulai dari Soekarno, Sjahrir, hingga Tan Malaka.
10 esai dalam buku ini mengukuhkan, Bandung adalah aktivis literasi yang getol memperjuangkan nasib aksara. Dari jejak karyanya, dapat dilacak bahwa ia termasuk pegiat sekaligus penulis yang berhasrat memuliakan aksara. Menghindar dari kesan heroik, bahasanya lembut dan “tidak meledak-ledak”. Tulisannya kerap memanfaatkan kehalusan bahasa, agar bisa dinikmati semua kalangan.
Bandung sanggup menulis dalam terminologi ekonomi, politik, hukum, sosial, sejarah, dan budaya dengan apik dan menarik. Esai “Beras” mengisahkan penjajahan yang begitu menyengsarakan.
Saat beras sedang langka, rakyat dipaksa menyetorkan beras ke Jepang. Menahan lapar, rakyat diwajibkan menopang kebutuhan pangan para tentara sebelum bertempur di medan perang. Ketika India mengalami krisis pangan, Soekarno menerapkan “politik beras” dengan mengajak rakyat mengumpulkan beras demi menghapus penderitaan.
Di kaca mata dunia, kebijakan ini turut mengukuhkan penghormatan atas kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, pada masa 1960-an, Soekarno tak sanggup menjamin ketersediaan beras bagi jutaan orang. Kelaparan ternyata mampu merapuhkan kekuasaan. Meski presiden pertama RI tersebut sanggup menggaungkan revolusi, beras justru tercecer. (halaman 40-41).
Dalam esai “Tanda Tangan”, Bandung berpandangan bahwa sejarah negeri ini bermula dari tanda tangan. Orang-orang Eropa memerintah pribumi membuat tanda tangan di atas kertas demi pemenuhan hasrat kolonialisme dan kapitalisme. Betapa tanda tangan memainkan peranan penting dalam kesepakatan berkekuatan hukum dan politis. (halaman 13).
Ia bisa mengangkat hal-hal tabu dengan kesan wagu dan lugu. Esai “Nisan” menyebutkan, adanya nisan para penggerak politik kebangsaan mengandung seruan merenungi ide dan imajinasi Indonesia. Di kuburan massal korban G30S/PKI, rakyat diajak untuk bersama-sama membuka tabir misteri.
Pemasangan nisan merupakan ikhtiar penghormatan jenazah. Mengunjungi kuburan berarti ziarah bersejarah, di mana nisan berfungsi sebagai tanda dan tata ingatan. (halaman 9-10).
Dengan analisis mendalam, tulisannya tentu memuaskan kaum intelektual dan kalangan akademis. Apalagi, ia memanfaatkan referensi terpercaya karya pakar-pakar ternama, semisal Cindy Adams, R. Sasrasoeganda, Robert van Niel, Max Karundeng, Rm. S. Tri Tjondrokusumo, Robert Adhi, Lambert Giebels, Alfred Wallace, Thomas Stamford Raffles, Rudolf Mrazek, juga Harriet W. Ponder.
Yang membedakan Bandung dengan penulis lain adalah ketelatenannya memungut sejumlah arsip “tempo doeloe”. Dalam esai “Kantor”, ia mengutip harian Medan Prijaji edisi Sabtu, 5 Februari 1910.
Barang tentu di samping memperkuat data, arsip-arsip lama mendatangkan semacam klangenan masa silam. Berbekal kliping koran, majalah, serta buku usang, Bandung sanggup menghidangkan nostalgia bagi pembaca.
Apa yang dilakukan Bandung menyimpan etos literasi yang mencerahkan kehidupan. Tulisan-tulisannya mengandung ruh perlawanan terhadap menjamurnya budaya pop (popular culture) yang cenderung simbolis, atributif, materialistis, juga serba-artifisial. Bundel esai dalam buku ini mencoba merespons pesatnya peradaban maya (illusion). Generasi masa kini lebih gemar berselancar di jejaring sosial sebagai ajang rekreasi, ekstase, dan selfie ketimbang menikmati sebuah buku. Mengakrabkan diri dengan buku seolah menjadi tindakan asketis yang dihindari oleh kaum modern.
Sayangnya, kenikmatan pembaca harus terganggu saat menemukan beberapa halaman yang “kurang edit”, antara lain 12, 16, 19, 30, 31, 38, dan 55. Namun demikian, hal ini tak lantas mendegradasi Bandung dari jajaran esais yang berkontribusi besar mendorong pertumbuhan literasi di negeri ini.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar