Kamis, 17 September 2015

Memangkas Alur Tawuran (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Kamis, 17 September 2015)

Diberitakan, puluhan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlibat tawuran di Sukabumi, Jawa Barat. Penyebab bentrokan tersebut belum diketahui, namun seorang pelajar terluka di bagian wajahnya. Diduga, tawuran tersebut direncanakan beberapa hari sebelumnya. Belasan pelajar dari salah satu sekolah menggunakan kendaraan roda dua memenuhi terminal Lembursitu. Beberapa saat kemudian, muncul gerombolan pelajar dari sekolah lain.
Rasanya di negeri ini, sudah tidak asing lagi berita mengenai insiden kekerasan oleh para pelajar. Kekerasan seolah menjadi berita biasa bagi warga negara. Kekerasan menjadi menu isu sehari-hari bagi siapa saja. Sepertinya tiada lagi jalan lain yang bisa ditempuh selain melalui jalan kekerasan. Kekerasan menjadi salah satu cara terbaik guna menyelesaikan persoalan. Apabila hal ini dibiarkan, maka tak ayal akan terjadi kekerasan-kekerasan serupa, bahkan lebih parah, yang menjalar pada beragam aspek kehidupan.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa jumlah kekerasan antar pelajar meningkat tiap tahunnya. Tahun 2014 lalu, terdapat 2.737 kasus dengan kenaikan 10 persen dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2015 ini, angka kekerasan dengan pelaku anak-anak, termasuk tawuran antar pelajar, diprediksi meningkat sekitar 12-18 persen. Angka kasus tawuran yang terus melonjak dikhawatirkan dapat menjadikan tawuran sebagai trend baru bagi para pelajar. Tawuran bukan dipandang lagi sebagai aksi kekerasan yang sangat membahayakan, melainkan gaya hidup yang layak dicoba.  

Beberapa Sebab
Para pakar sosial, mengutip Musni Umar, mengemukakan bahwa tawuran pelajar memiliki beberapa sebab. Di antaranya yaitu karena lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang kurang sehat. Ketiga lingkungan ini berandil besar dalam membentuk karakter pelajar. Sebaik apapun lingkungan sekolah, kalau tidak didukung keharmonisan dalam keluarga maupun masyarakat, tentu akan melahirkan dampak negatif. Begitu juga dengan ketidaknyamanan yang dirasakan ketika pelajar berada di sekolah. Hal inilah yang memicu mereka untuk meluapkan kekesalan mereka. Celakanya, jika mereka memilih tawuran sebagai jalan merealisasikan luapan kekesalan tersebut.   
Di samping ketiga lingkungan di atas, faktor lingkungan sosial, ekonomi dan politik juga sangat berpengaruh. Saat para pelajar hidup dan bergaul dalam lingkungan yang kurang mampu memberikan kedamaian, ketenangan serta harapan, mereka mudah mengalami depresi dan stres. Dalam hiruk-pikuk kehidupan sosial, ekonomi dan politik Indonesia yang tak menentu, kalangan pelajar bisa menjadi korban. Mereka terbawa arus ketegangan, kegaduhan, dan kekurangramahan. Guna menghilangkan gangguan perasaan jiwa tersebut mereka melampiaskannya antara lain dengan tawuran.
Yang menjadi keprihatinan yaitu pelajar pelaku atau korban tawuran justru disalahkan dan menjadi bahan gunjingan, sehingga mereka merasa tertekan. Para orang tua, pihak pendidik, ataupun anggota masyarakat menilai bahwa tawuran merupakan kesalahan murni yang telah mereka lakukan. Padahal, bila ditelisik lebih dalam, terjadinya tawuran tak boleh dilepaskan begitu saja dari faktor eksternal yang ada. Inilah yang menjadikan kasus tawuran tidak memperoleh tindak lanjut yang memadai.

Penyakit Sosial
Fenomena tawuran para pelajar mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sedang didera penyakit sosial yang akut. Penyakit yang apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan hilangnya jati diri. Oleh karena itu, ada dua langkah yang perlu diemban. Pertama. Melahirkan sosok inspirator. Para pelajar membutuhkan suri teladan dalam menelusuri kehidupan. Orang tua, guru, tokoh masyarakat, serta public figure harus mampu memberikan contoh yang patut ditiru oleh mereka. Bukan kekerasan yang seringkali ditampilkan, semisal tindakan guru menghukum anak didiknya terlalu berlebihan atau kericuhan anggota DPR dalam persidangan.
Kedua. Menanamkan rasa cinta kepada sesama. Para pelajar diberikan pengertian tentang pentingnya arti cinta. Cinta di sini bukanlah cinta dalam arti sempit, yang justru kerap disalahgunakan. Dalam istilah Erich Fromm disebut “cinta produktif”, sebuah cinta yang memberi ruang kebebasan, penghormatan bagi yang dicintainya tanpa ada penindasan ataupun penjajahan. Hal ini diperlukan kerjasama semua pihak untuk mewujudkannya. Di antaranya, pihak kepolisian mendatangkan psikolog untuk memberikan pengarahan kepada para pelajar yang terlibat tawuran.
Dengan langkah tersebut, diharapkan fenomena tawuran antar pelajar di negeri ini secara berangsur-angsur bisa dihilangkan. Semoga.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar