Minggu, 28 Juni 2015

Cerita yang Rentan Munafik (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 28 Juni 2015)

Terbitnya buku kumpulan cerpen bertajuk Mata Empat (Senikata, 2013) menandai kesetiaan Riki Utomi dalam berkarya. Jamak tahun bergumul dengan sastra, nyatanya tidak lantas membuat Riki bosan, tetapi justru kian merasa nyaman dengan memupuk rasa cinta begitu mendalam. Tampaknya, ia menyimpan kiat-siasat agar hubungannya dengan sastra terlihat semakin harmonis.
Sebagaimana pendahulunya di Riau, Taufik Ikram Jamil, Riki memiliki sikap teguh dan keras kepala. Sesibuk apapun, ia masih menyempatkan diri untuk selalu ‘mengasah pena’. Sehingga, bukan hal yang berlebihan jika kita menggolongkannya sebagai penulis dengan jam terbang tinggi. Sebagai apresiasi atas pencapaian yang genap diraih, berikut ulasan singkat mengenai buku kumpulan cerpennya.
Pertama, apa yang ditulis Riki rata-rata bersikait dengan dunia pendidikan. Cerpen Mata Empat, Pisau dalam Mata, Tangan, Sekolah Babi, Seorang Anak yang Menjadi Anjing, Sepercik Harapan, dan Hidung Bapak Ada Dua adalah sebagian contohnya. Sebagai seorang guru, barang tentu semua pengalaman Riki dalam mendidik para siswa turut memberi kesan tersendiri dalam cerita-ceritanya. Cara ia mengajar, memahami psikologi anak-anak didik, memberi bekal bagi masa depan mereka, serta memandang dengan semangat keberhasilan yang kelak merka raih, genap membekas dalam balutan kisahnya.
Meskipun tidak melulu bersetting sekolah atau tempat belajar-mengajar, kebanyakan cerita Riki memiliki keterkaitan dengan bidang pendidikan. Secara langsung maupun tidak, hal tersebut mengindikasikan bahwa latar belakang penulis mempunyai pengaruh dan andil besar terhadap lahirnya sebuah karya.
Kedua, sebagian karya Riki ditandai dengan gejala rentannya kemunafikan. Ciri manusia Indonesia yang digemborkan oleh Mochtar Lubis dan sempat diperdebatkan oleh pelbagai pihak ini merupakan salah satu titik krusial dari kritik sosial Riki dalam menghadapi realitas. Baik Tangan maupun Sekolah Babi, dua-duanya menunjukkan bahwa dalam dunia yang penuh dengan misi-misi mulia (baca: pendidikan), ternyata tersimpan niat busuk orang yang berkecimpung di dalamnya. Dalam cerpen Tangan, seseorang yang bekerja di kantor Dinas Pendidikan bermaksud menggelapkan uang kantor. Awalnya, gelagatnya sebagai seorang koruptor memang tidak terendus. Bahkan, kerap kali berlagak sok pahlawan dan menganggap semua orang hanya berjuang demi kantong sendiri. Tak bosan-bosannya ia bercita-cita menjadi pahlawan dengan mendengungkan semangat mengabdi sebagai abdi negara (halaman 26). Tapi, di akhir riwayat tokoh ini terlibat proyek gelap dan terbukti melakukan korupsi.
Dalam cerpen Sekolah Babi, gejala kemunafikan bersifat lebih samar. Penulis tak hendak menuduh bahwa guru yang mengabdi di sebuah sekolah adalah seorang munafik. Tampaknya, penulis menyadari bahwa kemunafikan tidak selamanya harus merekat pada diri sang tokoh. Atas dasar itulah, ia lebih memilih untuk melekatkan sifat munafik justru pada para siswa yang menuntut ilmu. Kemunafikan tersebut diungkapkan oleh guru yang idealis dengan menyebut mereka sebagai babi. Anak-anak yang seharusnya belajar dengan benar dan memiliki tata krama yang baik, justru rajin membikin onar dengan membuat marah gurunya (halaman 32). Hal ini mengindikasikan bahwa penulis, secara tidak langsung, ingin menyampaikan bahwa anak-anak yang telah ‘melenceng’ dari fitrahnya itu genap merawat sifat munafik dalam diri mereka.
Lelah meladeni para siswa yang bengal, guru tadi sering mengumpat dan berkata kasar. Ia begitu menyesal mengapa berhijrah ke sekolah di pelosok desa di mana anak-anak susah sekali diatur. Jauh berbeda dengan tempat mengajarnya dulu di kota. Terlebih lagi, tindakan guru dalam mendisiplinkan siswa selalu dibatasi dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selaku pendidik, ia tidak dibekali hak untuk memberi peringatan dengan tegas. Menindak dengan sebatan rotan, misalnya. Imbas dari ketentuan ini yaitu: di hadapan anak-anak yang susah dinasehati tersebut ia hanya bisa menggigil menahan geram (halaman 33).
Pesan yang ingin disampaikan, baik kurang beresnya dunia pendidikan maupun benih-benih kemunafikan yang layak dihapus, menemukan ruang pada cerpen-cerpen yang diolah Riki. Hal tersebut antara lain karena: pertama,  Riki sengaja menjauhi kata-kata bombastis dan cenderung menggunakan bahasa ringan. Dengan demikian, misinya berpeluang terwujud karena ia dapat menjangkau lebih banyak khalayak pembaca.
Kedua, dengan menggarap tema pendidikan (bidang yang selama ini digeluti) barang tentu membawa keuntungan tersendiri bagi Riki. Bermodal data juga pengalaman yang dimiliki, bukan hal yang sulit bagi Riki untuk merangkai serta menuangkannya dalam cerita. Apalagi, selain menghindarkan karya dari kesan asal-asalan, kedekatan tema dengan pengalaman juga membuka jalan bagi penulis untuk menghasilkan karya yang matang.
Ketiga, beberapa cerpen Riki menunjukkan adanya perhatian lebih terhadap anggota tubuh. Semisal Mata Empat, Pisau dalam Mata, Tangan dan Hidung Bapak Ada Dua. Dalam keempat cerpen tersebut, anggota tubuh (dalam hal ini: mata, tangan dan hidung) berhasil dieksplorasi dengan baik, meskipun terkadang Riki masih terlihat ‘ngos-ngosan’. Bila berusaha secara lebih intens berfokus pada anggota tubuh, niscaya karya-karya Riki akan semakin berkualitas. Penyair Joko Pinurbo telah membuktikannya dalam buku kumpulan puisi Celana (Indonesia Tera, 1999).
Selain kelebihan-kelebihan di atas, tercatat sejumlah kelemahan pada karya Riki. Pertama, Riki cenderung abai terhadap logika cerita. Dalam beberapa cerpen, pembaca tentu merasa kecewa, sebab alur yang ditawarkan Riki kurang tertata rapi. Apalagi, didukung dengan porsi yang kurang berimbang di beberapa bagian.
Kedua, bahasa lokal cenderung berpengaruh ‘negatif’ atas karya Riki. Dalam berkarya, Riki kurang mampu menempatkan mana kalimat yang perlu di-lokal-kan dan mana yang tidak, sehingga kreatifitas Riki cenderung ‘salah tempat’. Padahal, jika diolah secara serius, lokalitas justru mempunyai daya tawar tinggi bagi sebuah karya. Sudah banyak penulis melahirkan karya bernas setelah berhasil memanfaatkan lokalitas (baik content maupun bahasa).
Namun demikian, sejumlah kelemahan di atas tidak lantas mendegradasi Riki sebagai penulis kelahiran Pekanbaru ternama yang karya-karyanya rajin menyambangi halaman media.


Yogyakarta, 2014

1 komentar:

  1. BUTUH WAKTU BERAPA LAMA PAK,, KALO BUAT 1 KARYA TULIS SEPERTI INI...?

    BalasHapus