Rabu, 17 Juni 2015

Migrasi Budaya (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 17 Juni 2015)

Belum lama ini, sebab tidak mengantongi dokumen keimigrasian bekerja, sebanyak 80 WNI dideportasi dari Sabah, Malaysia. Mereka yang berniat mengais rizki di negeri jiran tersebut terpaksa gigit jari karena diusir oleh petugas setempat dan ditelantarkan di Nunukan.
Kasus seperti ini berulang kali terjadi. Dari tahun ke tahun, kasus deportasi TKI masih saja ditemukan. Alasan jauhnya lokasi kerja dari kota membuat sebagian orang yang bekerja di Sabah tidak membawa dokumen yang lengkap. Imbasnya, mereka harus melewati proses ‘repatriasi’, yaitu proses pemulangan dengan membawa Surat Permintaan Nyata dari majikan. Setelah mengurus paspor TKI dan dokumen, mereka baru bisa kembali bekerja di Sabah.
Sabah menjadi loka tujuan mereka yang berhasrat meningkatkan taraf hidup. Saat lahan kerja semakin sempit, Sabah menawarkan jasa dengan menjanjikan posisi di beberapa bidang pekerjaan. Gayung pun bersambut. Orang-orang Indonesia berbondong-bondong bermigrasi ke sana, meski harus menjual tanah dan sawah.
Sebenarnya, mobilitas penduduk ke Sabah memiliki sejarah panjang. Dulu, sebelum bercokolnya kolonialisme, Sabah merupakan tempat pergumulan orang-orang dari beragam suku bangsa. Terbentuknya negara-bangsa setelah kemerdekaan melahirkan permasalahan baru bagi penduduk yang secara tradisional keluar-masuk Sabah. Sejak saat itu, batas negara (state’s borders) menjadi sebuah kendala, adapun status kewarganegaraan (citizenship) menjadi pembeda antara pekerja migran dan lokal. Selanjutnya, beragam peraturan keimigrasian melahirkan dikotomi antara pekerja migran yang “legal” dan “ilegal”, juga antara pemegang dokumen dan yang tidak berdokumen (Riwanto, 2007).
Mencermati fenomena migrasi, sejumlah peneliti menggunakan pendekatan ekonomis dan sosio-demografis. Pendekatan ekonomis menyebutkan bahwa migrasi yang dilakukan oleh WNI tidak tanpa dasar. Meskipun harus meninggalkan keluarga dan sanak famili, mereka telah mengambil pilihan yang rasional. Secara ekonomis, mereka mampu mengalkulasi biaya (cost) dan keuntungan (benefit) jika meninggalkan rumah. Mereka bisa memutuskan untuk hijrah ke tempat yang baru atau tetap bermukim di kampung halaman. Mobilitas penduduk berlangsung secara alamiah sebagai respons terhadap peluang kerja yang tersedia di tempat lain.
Dalam pendekatan sosio-demografis, penduduk yang melakukan migrasi dikonstruksi sebagai manusia yang memiliki sejumlah karakteristik, seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, daerah asal, pendidikan, serta pekerjaan. Padahal, dua pendekatan ini mengandung kelemahan, yaitu direduksinya penduduk menjadi angka statistik dan dilepaskannya manusia dari konteks sosial-budaya.
Miyazaki, ahli antropologi dari Jepang, mengajukan konsep “niche” dan “otherness” guna menjelaskan migrasi sebagai suatu gerak atau perpindahan kebudayaan (culture flows). Niche adalah  sebuah konsep yang menjelaskan suatu lingkungan tertentu mampu membuat para migran merasa nyaman untuk mengembangkan kebudayaan mereka di tempat yang baru. Sedangkan Otherness merupakan konsep di mana makna kehadiran orang-orang dari kelompok etnis lain sebagai peneguh identitas etnis dari latar belakang kebudayaan yang berbeda (Riwanto, 2007).
Dengan demikian, memandang mobilitas WNI ke Sabah semestinya digenapi dengan pendekatan kebudayaan yaitu menganggap perpindahan penduduk sebagai suatu ekspresi budaya. Migrasi sebagai sebuah ekspresi budaya etnis-etnis di Indonesia terungkap dari idiom “cari hidup”. Hal ini mencermikan kemampuan (inner strength) yang mereka miliki untuk pindah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Sebagai ekspresi budaya, migrasi tidak sekadar gejala ekonomis dan sosio-demografis, akan tetapi juga manifestasi dari sistem kebudayaan suatu masyarakat.


Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar