Rabu, 11 September 2013

Melawan Derita dengan Berkelana (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jateng Pos" edisi Minggu, 8 September 2013)


Judul: On a Journey
Penulis: Desi Puspitasari
Terbit: Januari 2013
Penerbit: Pustaka Populer (Bentang Pustaka)
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-602-7888-01-2
Harga: Rp. 44.500,-

Kaburnya seorang gadis dari rumah untuk berkelana ke pelbagai tempat rupanya telah mendermakan pelajaran berarti, bahwa  hidup tidak seperti apa yang ia lihat di televisi dan koran. Di luar sana, apa yang menimpa orang lain ternyata lebih berat ketimbang penderitaannya selama ini. Sayatan hati yang sangat mendalam belumlah seberapa bila dibandingkan dengan beban hidup yang harus dipikul oleh orang lain. Maka, ia pun bersyukur. Dengan menempuh perjalanan dua sampai tiga bulan tanpa tujuan, ia berkenalan dengan mereka yang begitu tabah dan sabar menghadapi cobaan.
Berawal dari usahanya menghindari Stine, Ruby Tuesday menghilangkan jejak dengan mengajak serta sepeda kesayangannya untuk melancong. Ia merasa yakin bahwa keputusannya kali ini tidaklah meleset. Guna memantapkan pendiriannya, bahkan ia mengutip secuplik kalimat dari Orhan Pamuk, “kenapa kau tidak pergi keluar sebentar, kenapa tidak mencoba melihat pemandangan lain, melakukan perjalanan?” (halaman 8)
Terbatasnya perbekalan yang dibawa juga uang simpanan dalam tabungannya, bagaimana pun juga, mengharuskan Ruby untuk berhemat. Itulah mengapa, guna merebahkan badan juga menghindarkan diri dari gigitan angin malam, terpaksa Ruby beberapa kali menyewa motel murah. Bahkan, sempat juga ia tidur di trotoar dan halaman depan toko. Atau jika beruntung, ia bisa menumpang di rumah orang tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
Dalam kenyataannya, pilihan ‘minggat’ sebagai solusi paling tepat bagi Ruby untuk melupakan Stine, tidak pernah terbukti. Di waktu malam, ketika ia berbaring sendirian di penginapan, ternyata ia begitu merindukan sosok Stine. Bayangan Stine seolah selalu hadir di depannya. Ruby teringat saat ia sering duduk di kedai, sambil menunggu Stine pulang dari kantor. Sesampainya lelaki penggemar berat kopi tersebut di kedai, mereka berdua akan berbincang tentang pelbagai hal, baik fakta maupun sekadar rekaan imajinasi belaka. Bagi Ruby, Stine adalah pemuda istimewa. Selain karena ia adalah teman di antara sedikit teman yang dimiliki Ruby, ia juga dianggap mampu mengimbangi pengetahuannya tentang profil sastrawan-sastrawan besar beserta karya-karya mereka.
Dalam perjalanan yang melelahkan itu, Ruby kerap bertanya dalam hati, mengapa hanya gara-gara patah hati, ia nekat melakukan hal konyol yang baru pertama kali ia lakukan sepanjang hidupnya. Stine, pemuda tampan yang menjadi sahabat terbaiknya selama dua tahun merupakan satu-satunya alasan kepergiannya meninggalkan rutinitasnya sebagai penulis. Sebelumnya, sama sekali ia tidak menyangka bahwa penolakan Stine terhadap cintanya bakal berbuntut panjang seperti ini. Mengenai kekonyolan tindakan Ruby tersebut, seseorang berkata, “kau terlalu takut menghadapi kenyataan. Takut menerima kenyataan patah hatimu sendiri. Kau lalu memutuskan pergi. Melarikan diri. Mengepak pakaian. Menyiapkan kendaraan bobrok. Lalu, kau bersepeda. Keluyuran tanpa tujuan pasti. Kau sebenarnya sedang menyembuhkan rasa kagetmu. Tidakkah kau sadari itu?” (halaman 109)
Ruby percaya bahwa apa yang dikatakan oleh hati nuraninya sendiri ataupun orang lain perihal kekonyolannya memang benar adanya. Menghindari seseorang dengan cara kabur dari rumah dan melakukan petualangan tanpa tujuan adalah tindakan yang barangkali akan disalahkan oleh siapa pun. Akan tetapi, di luar dugaan, di tengah perjalanan, ia menemukan pelajaran yang begitu berharga. Ia menemukan sosok Pak Oto, Pak sam, dan Bu Ros, yang dengan kedewasaan masing-masing, mereka memberikan nasehat dan masukan untuk Ruby. Ia bertemu dengan Bili dan Sofi, sepasang kekasih yang nekat lari demi menyelamatkan bayi mereka. Bili mengerti bahwa ayah Sofi tidak pernah percaya dengan kemampuannya untuk membahagiakan Sofi. Meskipun demikian, Sofi begitu yakin bahwa Bili adalah lelaki baik-baik dan mau bertanggung jawab. Oleh sebab itulah, ketimbang tinggal di rumah dengan pelayanan ekstra mewah, Sofi lebih memilih hidup bersama Bili yang terbiasa menginap di kontrakan amburadul dan mirip kapal pecah. Ruby terkesima dengan Sofi yang mau sengsara demi mempertahankan cinta juga janin yang terbungkus dalam rahimnya. Begitu pula dengan Bili, yang meskipun telah menggasak sepeda Ruby, nyatanya uang yang dihasilkan dari barang curian itu digunakan untuk biaya bersalin Sofi. Dari keduanyalah, Ruby berkesimpulan bahwa penderitaan yang dialami dirinya belumlah sebanding. Juga dari keduanya, ia belajar bagaimana manusia harus tangguh dan tegas dalam memilih jalan hidup.
Pengalaman bertemu sejumlah orang dengan beragam karakter menyebabkan Ruby ingin mengabadikannya dalam sebuah karya. Atas dasar itulah, akhirnya ia memutuskan untuk menerbitkan buku dengan bahan-bahannya berasal dari diary. Berharap, dengan buku tersebut, baik ia maupun orang lain, dapat belajar tentang hakikat kehidupan dengan sebaik-baiknya. 
Penyebutan beberapa nama tokoh besar, seperti Ernesto Che Guevara—ikon perjuangan terutama dalam bidang pergerakan—, Goethe, Pablo Neruda, menunjukkan persinggungan penulis dengan buku-buku sejarah, seni, maupun sastra. Berbekal ketekunan dan kekhidmatan dalam menggali pesona serta keindahan karya-karya orang-orang besar, setidaknya penulis mengetam ribuan manfaat, sehingga menginspirasinya untuk melahirkan karya yang berbobot. Tentu, apa yang dipetik dari bacaan-bacaan tersebut, genap mempengaruhi bagaimana ia menyusun kata untuk dirangkai dalam sebuah kalimat, sehingga menjadi satu kesatuan dalam membentuk paragraf. Sebab yang dikarang adalah buku fiksi, maka tak ayal, kerapnya kata-kata yang muncul, bergelimang rupa karakter tokoh, cara merangkai plot, ataupun penggunaan metafora—secara langsung maupun tidak—telah berimbas pada bagaimana ia mengemas dan merampungkan karyanya.

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar