Selasa, 03 September 2013

Darah di Punggung Kiai Maksum dan Perjalanan Menuju Hakikat (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Cahaya Nabawiy" edisi September 2013)


Surya baru bangun dari dengkurnya. Udara masih mematung di sudut desa. Kerumunan embun bersiap melesat ke angkasa. Suara serak basah Kiai Maksum tersaring nyaring disokong mikropon surau renta. Seperti biasa, sehabis jama’ah shubuh, ia membacakan kitab Nashaih al-‘Ibad di hadapan para warga.
Bermodal pengetahuan agama mendalam—karena usia mondoknya bertahun-tahun, didukung pula dengan pengalaman selaku tangan kanan kiainya tatkala belajar di sebuah pesantren di Jombang, Kiai Maksum dipercaya untuk melempar petuah dan wejangan dalam segala problematika kehidupan, lebih-lebih terkait ihwal agama. Bahkan, orang-orang yang berasal dari desa sebelah pun turut bersoal. Tentang waktu paling tepat untuk nikahlah, hari terbaik untuk mengkhitan anaklah, pun kiat paling mujarab bagi yang bosan mandul. Juga pernah ada seseorang memohon doa Kiai Maksum agar gatal yang dipelihara kabur tunggang-langgang. Itulah mengapa, di ruang tamu lelaki yang selalu memegang tasbih itu sama sekali tak teronggok kursi-meja. Hamparan karpet dirasa lebih nyaman guna menyambut kedatangan para tamu—sejak fajar mendarat, hingga senja menguap.
***
“Wahai Kakak, kenapa kau tak sudi berjamaah denganku? Padahal, sudah dua belas tahun para warga menjadi makmumku.”
“Maaf. Bukan maksud meremehkanmu. Aku cuma kurang mantap jika kau menjadi imam.”
“Maksudmu?”
“Ya. Aku terus ragu-ragu ketika beribadah di belakangmu.”
Ucapan Kang Sadik terang saja membuat Kiai Maksum marah. Dua lembar telinganya mendidih. Bisa-bisanya lelaki yang berumur delapan tahun lebih tua darinya itu berujar demikian. Padahal, semua orang mafhum, bahwa Kiai Maksum dikenal khusyu’ dalam beribadah, istiqamah menebar ilmu syari’at, serta teguh menyebarkan Islam.
Terdesak keadaan, Kiai Maksum melaporkan kepada sang bunda perihal tingkah laku kakaknya. Sungguh, telah lama ia bertahan menutupi isi hatinya, demi meracik keharmonisan antar saudara. Akan tetapi, nyatanya, geram yang ia tumpuk kian menggunung dan enggan lagi ditampung. Barangkali dengan mendedahkan hal tersebut, perasaannya bakal lebih tenang. Syukur-syukur wanita yang menetaskannya ke dunia itu bersedia menghibahkan solusi terbaik.
“Baiklah, aku akan ngobrol dengan kakakmu.”
“Terima kasih, Ibu.”
***
Usai shalat dluha, Mak Romlah teringat dengan janjinya kemarin. Sebab itulah, memakai klompen kesayangannya, ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah reot di ujung jalan. Meski dinding dirakit dari anyaman bambu, rumah itu, rumah mungil bercat putih tulang itu terlihat rapi dan amat bersih. Bunga sepatu yang merekah di pelatarannya menambah nyaman setiap orang yang memandang.
Belum sampai mengetuk pintu, Kang Sadik tahu kalau perempuan berambut uban yang membawa ubi rebus itu adalah ibunya. Segesit kilat, ia mempersilakannya masuk.
“Wahai, anakku.” Menggelesot di atas tikar daun pandan, dengan suara agak tertahan, raut muka Mak Romlah mulai serius, setelah sebelumnya berbicara ngalor-ngidul dan sesekali bercanda.
“Ya, Ibu.”
“Selama ini, kau tak pernah berjamaah dengan Asum?”
Sejak balita, Kiai Maksum dipanggil dengan Asum oleh Mak Romlah dan saudara-saudaranya.
“Benar, Ibu.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Asum?”
Alhamdulillah baik-baik saja.”
“Apa Asum punya salah kepadamu?”
“Sungguh, ia tak bersalah sedikit pun.”
“Lalu mengapa ketika berada di musholla, kau lebih suka menanti orang lain untuk kau ajak berjamaah, setelah jamaah Asum buyar?”
“Emm…. Shalat Dik Asum penuh dengan darah.”
Buah cakap Kang Sadik tak lekas membuat Mak Romlah paham. Malah, beragam pertanyaan baru membuntang di kepalanya. Sebetulnya, ia masih bingung dengan jawaban yang dicetuskan Kang Sadik. Ingin sekali ia menggali lebih dalam apa yang tersembunyi dari pernyataan sulungnya itu. Akan tetapi, karena suara adzan dzuhur berkumandang, enggan ia lanjutkan pembicaraan. Hendak ia bersiap-siap guna menunaikan shalat berjamaah.
***
“Kau bilang, shalatku penuh dengan darah. Apa maksudmu?”
Dengan nada lantang, Kiai Maksum menghunjamkan pertanyaan pada Kang Sadik.
“Tenanglah dulu, Dik Asum.”
“Kau pasti iri denganku. Itu kan yang membuatmu malas berjamaah dengan adikmu ini?”
Astaghfirullah…”
“Sudahlah, aku sudah muak dengan kelakuanmu!”
“Baiklah, akan kujelaskan.”
Kang Sadik menghirup nafas dalam-dalam. Sepemakan sirih kemudian, ia melanjutkan, “dari dulu aku ingin sekali berjamaah denganmu, Dik Asum. Akan tetapi, darah di punggungmu itu yang menyebabkanku urung.”
“Darah? Darah apa?”
“Ya, Dik Asum. Para perempuan di desa ini rajin bertanya tentang darah haid, bukan?”
“Benar. Hampir tiap hari ada saja yang bertanya tentang darah haid. Maklum. Pengetahuan mereka tentang haid sangatlah minim. Apalagi, sebagian besar dari mereka belum pernah mempelajarinya. Jadilah mereka bersuci asal-asalan. Padahal tidak semudah itu. Semua ada  ilmunya. Begitulah urusan haid. Urusan rentan, namun sering kali disepelekan. Makanya, akhir-akhir ini aku rajin menelaah kembali kitab Risalat al-Mahid.
“Darah itulah yang membikin shalatmu kurang khusyu’. Di saat menghadap Tuhan, kau masih terngiang dengan satu-dua pertanyaan yang belum kau selesaikan, sehingga punggungmu penuh dengan darah.”
“Ya, Allah. Jadi shalatku selama ini….”
Belum sempat Kang Sadik menyambung, lidah Kiai Maksum terlebih dulu menyulam pertanyaan.
“Dari siapa kau belajar, Kakak?”
“Dari…….”
***
Assalamu’alaikum.
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
“Mohon maaf. Apa benar Bapak yang bernama Ngatmo?”
“Benar. Ada keperluan apa ya?”
“Bolehkah aku belajar kepada Bapak?”
“Belajar apa?”
Kening tukang tambal ban itu bergelombang, seakan memperlihatkan kebingungan.
“Belajar ilmu hakikat.”
“Ilmu hakikat? Wah, ada-ada saja! Kalau disuruh menambal ban bocor aku bisa.”
“Sudilah Bapak menerimaku sebagai murid.”
Kiai maksum merunduk dan mencium kaki Pak Ngatmo. Lelaki berbaju kumal itu menyuruhnya bangun. Dan, dari katup mulutnya menyembul kata-kata, “baiklah. Setiap pagi kau harus ke sini.”
“Terima kasih. Terima kasih.”
Sepulang dari tempat mangkal Pak Ngatmo, wajah Kiai Maksum berseri-seri. Senyum simpul menggelantung di sejenjang bibirnya. Barangkali, sekali lagi barangkali, tiada hari yang lebih indah ketimbang hari itu. Benar. Hari di mana ia diangkat murid oleh seseorang yang genap menularkan ilmu hakikat kepada kakaknya.
Malamnya, ia membayangkan pelajaran apa yang akan diterima esok hari. Sungguh, ia tak sabar ingin segera mengetamnya. Ah, tentulah ilmu itu berbeda dengan ilmu-ilmu yang tunai digumuli. Lelaki yang dulu gemar berburu belut itu sangat bergembira, bagaikan anak TK yang akan bertembung dengan guru menggambarnya di kelas.
***
Pagi dirubung mendung itu, Kiai Maksum membersihkan selingkar tempat Pak Ngatmo beroperasi. Betapa menjijikkan! Kotoran burung dan kelelawar tergeletak di sana-sini. Basah dan lengket. Adapun sapu lidi yang disediakan ternyata tak mampu mencongkelnya.
“Maaf, Pak. Kotoran-kotoran ini susah sekali dihilangkan. Bagaimana ya caranya?”
“Terserah. Kayaknya memakai tangan lebih mudah.”
Menggunakan tangan telanjang? Sungguh ini merupakan cobaan berat di hari pertama Kiai Maksum menimba ilmu. Akankah kiai yang disanjung-sanjung itu meletakkan begitu saja kehormatan sekaligus wibawanya? Nafsunya meraung-raung, memberontak. Batinnya dengan enteng memekik: “Apa kau bakal mengorbankan nama kebesaranmu, Maksum?”
Ah, untungnya, nurani Kiai Maksum lebih tangguh, sehingga secepatnya ia buang jauh-jauh pikiran negatif yang berseliweran di otaknya. Ia pun memunguti kotoran-kotoran itu dengan tangannya. Dengan jari-jarinya. Berbekal semangat membabibuta, akhirnya loka di mana Pak Ngatmo mengais rejeki itu bersih, meski membutuhkan waktu agak lama. Betul-betul tiada kotoran secolek pun. Kiai Maksum bernafas lega. Pastilah, serejang lagi, guru barunya itu akan mendermakan ilmu hakikat.
“Pekerjaanmu sudah selesai, Maksum?”
Alhamdulillah, Pak.”
“Kau boleh pulang sekarang.”
Pulang? Apa ada yang salah dengan ucapan itu? Meskipun agak kecewa, Kiai Maksum menuruti dawuh gurunya. Bisa jadi, ilmu itu akan diturunkan besok. Begitulah batinnya menghibur.
Esoknya, pagi benar Kiai Maksum tiba di tempat Pak Ngatmo. Tanpa aba-aba, ia melaksanakan kembali titah gurunya kemarin. Ya. Melenyapkan kotoran-kotoran burung dan kelelawar. Semangatnya menggebu, karena di hari itu, ilmu hakikat yang disebut-sebut kakaknya bakal ia dapatkan.
Melendeh di betis pohon mangga, ia mengusap peluh yang merembes dari kulitnya. Pekerjaannya rampung. Sepasang netranya memandangi Pak Ngatmo yang tengah memegangi roda motor. Dan, hingga siang bertandang, ia tetap sigap sambil menanti kalau-kalau Pak Ngatmo memanggilnya.
“Maksum.”
Benar. Pak Ngatmo memanggil.
“Ya, Pak.”
“Pekerjaanmu hari ini lebih cepat. Kau boleh pulang.”
Kiai Maksum betul-betul tidak mengerti dengan maksud Pak Ngatmo. Saat gundah itulah, ia menimbang-nimbang: apa ada yang salah? O, ya. Hari ini kan hari Selasa. Boleh jadi, ilmu hakikat hanya dapat diunduh pada hari Rabu. Hari ketika cahaya diciptakan oleh Tuhan.
Gairah belajar Kiai Maksum terancam luntur. Hampir saja ia patah arang. Perkiraannya meleset. Jangkap di hari keempat, belum tersua tanda-tanda Pak Ngatmo akan mengajarnya. Malah, tugasnya berganda. Selain membersihkan kotoran, ia juga diserahi membuka dan menutup tempat tambal ban Pak Ngatmo. Praktis, ia harus berangkat lebih pagi, dan pulang menjelang malam.
Meski cara membimbing Pak Ngatmo agak nyeleneh, Kiai Maksum tetap bersikukuh, bahkan kian percaya kepadanya. Atas dasar itulah, saban hari ia mematuhi perintah gurunya itu, walaupun secara kasat mata, ilmu hakikat yang ia cari belum juga ditularkan. Ia yakin, bahwa kepatuhan kepada guru merupakan hal utama dalam menjemput ilmu.
Bertahun-tahun Kiai Maksum mengabdikan diri kepada Pak Ngatmo. Dan, di sore itu, ia dipersilakan mampir ke rumah. Wajah Kiai Maksum begitu semringah. Naga-naganya, waktu yang diidam-idamkan itu khatamnya tiba juga.
Sesudah berbasa-basi, Pak Ngatmo mengulurkan maksud, “Maksum. Kau berhasil melaksanakan perintahku dengan tulus. Besok kau tak usah ke tempatku lagi. Cukup sampai di sini kau belajar kepadaku.”
***
Kiai Humaidi duduk dilingkari para santri. Mereka tampak anteng memungut penjelasan sebiji kitab tersohor. Ya. Kitab tebal anggitan almarhum Kiai Maksum yang dikaji oleh para muslim seantero dunia. Banyak penelitian berkesimpulan bahwa kitab tersebut dikarang oleh seorang ‘allamah, sehingga apa yang ditulis sanggup menembus ruang dan masa. Bahkan, hingga ratusan tahun ke depan, kitab fenomenal itu diperkirakan akan senantiasa dipelajari oleh mereka yang menghajatkan kesempurnaan diri.

Yogyakarta, 2012
Keterangan:
Cerpen ini diolah dari biografi Imam Ghozali

Catatan:
Nashaih al-‘Ibad         : Kitab karangan Ibnu Hajar al-Asqolani, diberi syarah oleh Syekh Nawawi al-Bantani, berisi tentang nasihat-nasihat bagi para hamba
Risalat al-Mahid          : Kitab susunan  Syekh Muhammad Ardani, memuat tuntunan bagi para wanita dalam masalah haid
‘Allamah                     : Seseorang berpengetahuan luar biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar