Minggu, 29 Juli 2012

Negeri Tanpa Perempuan (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Padang Ekspres" edisi Minggu, 29 Juli 2012)

Ini adalah persyaratan sangat berat bagi Raja Crob. Jika urung mendapatkan cairan ajaib itu, maka patut ia lenyapkan nyawa seluruh gadis yang berdiam di negerinya, guna menciduk darah terpendam dalam tubuh mereka dan menggelontorkannya pada sang istri—yang terbaring selama 9 atau 10 tahun.
Duduk tercenung di beranda istana, kepala Raja Crob merekam percakapannya tadi siang dengan Nermus:
“Jika Baginda ingin melihat permaisuri terbebas dari penyakitnya, maka Baginda layak menemui lima makhluk buruk rupa yang bercokol di gunung Yihho. Sebuah gunung yang belum suah dijamah manusia. Sekelilingnya dipenuhi ular dan kalajengking raksasa; siap melumat daging dan tulang manusia yang nekat mendekati gunung itu. Di sana sepi udara. Jadi, sesiapa yang bertandang dengan perbekalan udara kurang, maka ia akan dengan mudah berkalang tanah. Di tempat asing dan mengerikan itulah, hidup lima wanita dengan satu biji telinga. Guna sekadar menangkap suara, telinga itu mereka gunakan silih berganti.”
“Telinga itukah yang aku cari?”
“Bukan. Bukan, Baginda. Salah satu dari mereka mempunyai cairan luar biasa yang sanggup mengobati sakit permaisuri.”
“Jika gagal mendapatkannya?”
“Permaisuri tak bisa sembuh.”
“Selamanya?”
“Selamanya, Baginda. Atau….”
“Atau apa? Cepat katakan!”
“Baginda hendak melakukan apa saja demi kesembuhan Permaisuri?”
“Ya.”
“Jika tak berhasil melakukannya, maka satu-satunya cara yaitu dengan membunuh semua perawan yang ada di negeri ini. Cuma darah merekalah yang mampu mengganti keampuhan cairan itu.”
“Selain itu sungguh tak ada?”
“Sungguh, Baginda. Bila hamba berdusta, penggallah leher hamba. Tapi….”
“Apa lagi?”
“Setelah perawan di negeri ini habis, para istri dan janda tak akan menitiskan bayi perempuan. Demikianlah yang hamba gali dari kitab Meerhusia.
***
Demi menggayuh tujuan, genap Raja Crob mengirim 100 ksatria tangguh. Walakin, celakanya, nyawa mereka tumpah sia-sia sebelum mencapai kaki gunung Yihho. Ada yang kehabisan udara di hutan Lekku. Ada yang dada dan isi perutnya tercabik-cabik. Ada yang anggota tubuh satu dengan lainnya terpisah. Ada yang paha dan kepalanya luluh lantak dikeremus ular. Ada pula yang sekujur badannya gosong tersengat kalajengking.
Pungkasnya, terpaksa Raja Crob menitahkan Lehama. Jejaka yang tiada lain pun tiada bukan adalah putra kandungnya. Sebenarnya, kurang tepat jika dikatakan bahwa Raja Crob melempar tugas kepada bujangnya. Sebab, pangeran tampan berdagu lancip itulah yang memohon agar dianugerahi restu untuk memetik obat bagi sang ibu.
“Izinkan putramu ini mengabdi kepada bunda, Ayah.!” Kalam tersebut berulang-ulang meluncur dari katup mulut Lehama.
Raja Crob menelan gamang tatkala melayani permintaan putra semata wayangnya. Padahal, sesuai aturan kerajaan, ialah yang paling berhak mewarisi tahta, jika suatu saat Raja Crob tiada. “Bagaimana jika kau gugur, Anakku. Siapa yang bakal melanjutkan pemerintahan ayah. Sedang pamanmu, Nerl, pemuda dungu yang tak tahu-menahu urusan kerajaan. Saban hari kerjanya mabuk-mabukan, berburu kijang, dan bermain perempuan.” Batinnya memberontak.
Dengan berat hati, Raja Crob meloloskan desakan Lehama, setelah terlebih dahulu putranya itu mengancam hendak bunuh diri dengan membakar tubuh hidup-hidup.
Pada selembar pagi berselimut embun, Lehama bersiap menuntaskan hasrat. Dengan perbekalan udara melimpah, baju sakti buatan Verho, serta panah emas beracun yang dipesan dari daerah utara, Lehama akan menumpas kebengisan ular dan kalajengking raksasa di gunung Yihho serta membawa pulang barang istimewa yang selama ini dikejar-kejar para pendahulunya.
Melepas kepergian sang putra, netra raja berkaca-kaca. Betapa ia sedih bercampur bangga melihat keberanian Lehama. Keberanian yang dikantongi anak berusia 18 tahun. Keberanian yang raja sendiri barangkali tak punya.
***
Seluruh gadis sirna. Tiada lagi kelembutan. Tiada lagi orang bernyanyi tentang keindahan alam hingga mengantar burung hemi beterbangan riang di cakrawala. Betul-betul biadab. Atas perintah raja, prajurit-prajurit bertopeng hitam dan membagul pedang jangkap menghabisi mereka satu persatu. Tubuh mereka dibakar. Sedang darah mereka dikumpulkan lalu dicemplungkan dalam guci besar.
Rehum, tabib ulung dari Acalu, menggenggam tanggung jawab menjaga permaisuri dan mengembalikan kondisinya. Lanang sepuh berjenggot putih itu bertugas mendidihkan darah perawan dalam kuali dengan campuran ramuan yang diperlukan. Ia juga yang dengan tekun mengalirkannya ke lidah permaisuri.
Kurang lebih 13 bulan, permaisuri menenggak minuman asin dan sedikit asam itu. Secolek demi secolek, racun ganas yang disisipkan dalam makanannya beberapa tahun lalu meraib. Begitulah kekuasaan. Selalu saja terbit mereka yang bernafsu mengganyang kenyamanan di dalamnya. Neha, dayang istana, merupakan salah satunya. Nekat ia meracuni permaisuri dengan daun kulamayanu. Daun beripuh yang lekas mengakibatkan manusia menderita selebar umurnya. Tunai ia membuat permaisuri lumpuh, meski khatamnya harus menjemput ajal di tiang gantungan.
Memirsa istrinya mulai pulih, hati Raja Crob mengayuh gembira. Kegembiraan yang terkadang berbaur kesedihan jika teringat dengan meninggalnya Lehama.
Di sehelai malam yang ditentukan, raja mengundang segenap keluarga istana, ksatria, dan prajurit; guna merayakan kesehatan permaisuri. Domba panggang, kuda betina bakar, dan sup yemu menjadi menu utama dalam pesta mewah itu. Alangkah nikmatnya. Semua menghirup udara kebahagiaan yang berseliweran memenuhi ruang istana.
***
Bagi penduduk Fenn, perempuan ialah makhluk langka tiada duanya. Beberapa dari mereka gandrung bepergian ke negeri lain untuk mencerap sosoknya. Bagaimana tidak. Di negeri sendiri cuma ada satu tipe manusia: lelaki.
Demi membayar gejolak jiwa, rela mereka berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun merantau dengan bekal seadanya: roti kering, buah toung, serta air sekempit. Sebalik dari perantauan, lekas mereka ceritakan perjalanan yang begitu menyenangkan. Terlebih lagi—ini yang paling dinanti-nanti—keelokan serta kesempurnaan yang dikantongi perempuan. Betapa mereka tercekat sekaligus terbius dengan aroma yang berhembus dari pori-pori perempuan, rambut yang menjuntai anggun sepundak atau sepinggang, juga semburat cahaya yang muncrat dari dua bola matanya. Cahaya yang muskil mereka temukan dari turunan Adam.
Warita yang dilontarkan para pelancong merupakan hiburan tersendiri bagi sesiapa yang merindukan sosok perempuan. Lebih-lebih bagi pejantan yang belum berani meninggalkan kampung kelahiran maupun anak-anak di bawah umur 15 tahun. Mitos yang menjalar dari lisan ke lisan, bahwa lelaki kecil ringan terserang kegilaan bila nekat keluar dari negerinya. Tak ayal, salah satu angan mereka saat besar nanti yaitu bertembung dengan makhluk berjuluk perempuan.
Guna menyalurkan cinta dan kasih sayang, mayoritas penduduk Fenn memilih berbagi hati antara sesama jenis. Sudah barang tentu, dalam istiadat mereka, ini bukanlah hal yang najis. Dalam rumah-rumah biasa ditemui sepasang suami-istri berkelamin lelaki. Cara memperoleh keturunan? Mereka menyiasati dengan memanfaatkan rahim hewan ternak untuk menampung cairan sperma. Dalam jangka sekian bulan, kambing atau sapi atau kerbau tersebut akan melahirkan orok manusia berpadu binatang.
Beruntunglah bagi orang tua yang mendapati si jabang bayi berkepala manusia dengan anggota badan berwujud binatang. Dengan bentuk semisal ini, masih dimungkinkan mampu berbicara layaknya manusia. Buntungnya, jika orok keluar dengan kepala binatang, berperut manusia, dan sisanya berwujud binatang. Ataupun serata badan berwujud manusia sedang kepala berupa binatang. Maka orok tersebut mustahil sanggup berbahasa (manusia). Paling-paling, guna berkomunikasi dengan ayah-ibunya, ia mengandalkan lenguhan dan lenguhan.
Bagi yang disergap bosan, menyalurkan nafsu kepada hewan ternak merupakan alternatif terbaik. Tak heran, bila sapi-sapi yang merumput di bukit Bohire kerap bunting meski tak dialiri sperma oleh empunya.
***
Siang itu, menggelesot santai dekat bebatuan, Nerbu mengajarkan pelajaran berharga bagi sang cucu.
“Berkunjung ke padang Poriz dengan melempar kutukan: ‘laknat bagi sang raja’, adalah kebiasaan yang diwariskan nenek moyang. Kau tahu siapa yang dimaksud raja?”
“Siapa, Eyang?”
“Ialah raja ke-6 kita. Raja Crob namanya.”
“Kenapa orang-orang mengutuknya? Apa kesalahan yang diperbuat?”
“Ketahuilah, Cucuku! Di tangannyalah dulu semua perawan dibumihanguskan. Itulah mengapa kita selalu berbondong-bondong kemari tengah malam saat purnama memeluk bulan. Karena pada waktu tersebutlah, mereka dibunuh secara keji dan brutal.”
Sejak memafhumi peristiwa berdarah tersebut, nama keturunan penduduk Fenn disingkirkan dari huruf c, r, o, atau, b. Kenapa? Supaya kekejaman yang melekat pada diri Raja Crob enggan menular.
Punahnya perawan dua abad silam, nyatanya membuahkan ketidaknormalan dan kesengsaraan yang amat mendalam. Begitulah keadaan penduduk Fenn hingga sekarang. Sesungguhnya, kata-kata fenn sendiri berpunca dari bahasa kuno yang berarti perempuan. Aneh memang, negeri berstatus ‘perempuan’, namun tiada satu perempuan pun tinggal di dalamnya. Igauan anak-anak—berkepala manusia—ketika tidur dengan mengucap fenn inilah yang lantas menjadikan negeri mereka tersohor dengan sebutan itu.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar