Minggu, 24 Mei 2015

Perempuan yang Menghindari Perpisahan (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Cempaka" edisi 23-30 Mei 2015)

Membuka jendela, Prita meloncat keluar. Ia ingin menghindari perkawinannya dengan Aldo yang direncanakan besok malam. Bagaimana pun juga, mengabadikan ikatan cinta dengan lelaki penyejuk hatinya selama empat tahun tersebut merupakan impian yang sebentar lagi menjelma kenyataan. Juga bencana paling besar yang akan menimpanya.
Bencana paling besar?
Benar. Di satu sisi, menikah dengan lelaki yang sangat dicintai pastilah menghadirkan kegembiraan luar biasa. Akan tetapi, di sisi lain, juga menghibahkan penderitaan berlarat-larat. Prita menyadari bahwa rasa cintanya kepada Aldo ibarat surya, tak pernah lelah mengirim butir-butir cahaya ke hamparan semesta. Begitu pula sebaliknya. Aldo mencintai Prita begitu tulus, bak biru samudra yang selalu memesona, meski ribuan tahun ditampar gelombang.
Besarnya cinta Prita dan tulusnya hati Aldo merupakan dua kekuatan dahsyat, yang apabila digabungkan nantinya melahirkan kesetiaan. Kesetiaan yang tiada lagi diragukan kualitas dan kuantitasnya. Kesetiaan yang dapat membimbing rumah tangga menuju keluarga yang makmur dan sejahtera. Namun, dengan kekuatan tersebut, Prita justru mengkhawatirkan munculnya ketidaksiapan menghadapi perpisahan. Jikalau diberi tawaran, ia lebih memilih digergaji lehernya daripada harus berpisah dengan orang yang telah memberi kehangatan dalam hidupnya.
Prita meyakini bahwa derita perpisahan melebihi rasa sakit yang dibawa tumor paling ganas sekalipun. Oleh sebab itulah, sekuat tenaga ia berusaha untuk menyingkirkan tubuhnya dari aroma perpisahan. Sedini mungkin.
***
“Bagaimana, anak kita, Ma.?”
“Entahlah, Pa.” Mata Bu Ineke menerawang ke luar. Lantas dengan bibir bergetar, ia melanjutkan, “dari tadi, orang-orang yang kita tugaskan mencarinya selalu bilang kalau Prita belum ditemukan.”
“Sabar ya, Ma.”
“Iya… Tapi bagaimana dengan reaksi besan dan para undangan nanti malam, Pa?”
“Itulah masalahnya. Dari tadi Papa juga cemas, Ma.”
“Aku tak habis pikir….” Ini kali suara Bu Ineke tampak berat. Sangat berat. Sepertinya pita suaranya terikat dari dalam. Beberapa detik mengumpulkan kekuatan, ia menyambung kalimat yang sempat terputus, “mengapa Prita bisa senekat itu. Padahal, ia kan cinta mati pada Aldo.”
Ah, itu perkiraan mama saja. Bisa jadi….”
“Bisa jadi apa, Pa?” Suara Bu Ineke melengking tinggi. Darahnya mulai memanjat ubun-ubun.
“Bisa jadi Prita gak suka Aldo.”
“Papa ini memang gak pernah mau mengerti perasaan anaknya. Setiap hari cuma sibuk dengan urusan kantor. Prita benar-benar mencintai Aldo, Pa!”
Menutup katup mulutnya, Bu Ineke meninggalkan ruang tamu. Sepasang pipinya banjir oleh air mata.
Pak Kelvin merasa bersalah. Sungguh. Seharusnya ia menghalau lidahnya untuk berkata demikian. Seharusnya ia memeluk sang istri, mengusap rambutnya, sambil mengingatkan untuk terus membaca istighfar.
***
“Bagaimana tidurnya semalam, Prit. Nyenyak?”
“Wah, aku gak bisa Tidur, Ren.”
“Kamu pasti memikirkan acara perkawinanmu nanti malam.”
Hooh, Ren.”
Bagi Prita, Reni adalah sahabat terbaik yang ia punya. Seperti memiliki indra keenam, perempuan yang duduk sebangku di SMA dengannya tersebut tidak pernah keliru saat menebak isi hatinya.
“Sudahlah, Prit. Tiada guna kau bersembunyi seperti ini. Menjauhkan diri dari realitas bukanlah solusi terbaik. Lagi pula, perpisahan memang diciptakan mengiringi pertemuan. Sebagaimana kematian yang hadir setelah kehidupan. Bukankah dulu Ustadz Furqan mengatakan demikian?”
“Terus, aku harus bagaimana?”
“Pulanglah, Prit. Papa dan mamamu sudah menunggu. Kasihan mereka.”
Gak mau. Aku di sini saja!”
“Ayolah. Itu sama saja dengan menyakiti perasaan banyak orang. Ingat, Prit. Kalau perkawinanmu batal, yang sakit hati bukan cuma Aldo dan calon mertuamu. Tapi, juga semua tamu yang hadir.”
Diam, Prita memandangi Reni. Ia membenarkan perkataan sahabatnya. Tapi, pikirannya belum bisa bersepakat dengan satu kata, perpisahan.
“Kau harus menunjukkan bahwa Prita adalah perempuan yang gigih. Bukan cengeng dan ringkih.”
Prita masih saja diam.
“Apa perlu aku mengantarmu sekarang?”
Segesit kilat, Prita menjawab, “aku mau pulang. Tapi, ada syaratnya.”
***
“Hei, itu Prita datang, Pa!”
Tergopoh-gopoh, Bu Ineke berlari ke teras. Ia bermaksud meminta maaf, jika penyebab kabur Prita, putri satu-satunya itu, adalah dirinya. Adapun Pak Kelvin, hanya mengenakan kaos dalam, membuntuti dari belakang.
Di luar dugaan, rupanya perkiraan keduanya meleset. Ternyata perempuan yang berdiri di depan rumah adalah Reni. Bajunya mirip sekali dengan baju yang dipakai Prita sewaktu melarikan diri dari rumah. Bulir-bulir kekecewaan menghinggapi raut muka Bu Ineke dan suaminya.
Menguatkan diri agar tidak jatuh lunglai, atau bahkan pingsan, Bu Ineke segera menghampiri Reni. Kemudian tanpa basa-basi, perempuan paruh baya tersebut langsung bersoal mengenai keberadaan Prita.
“Nak Reni. Tahu di mana Prita sekarang? Semalam ia kabur dari rumah. Padahal, Nak Reni tahu sendiri, kalau hari ini adalah hari perkawinannya.”
Belum ada isyarat bahwa Reni akan menjawab, Bu Ineke melanjutkan, “apa Prita belum siap ya?”
“Sudah siap kok. Ibu gak perlu khawatir. Itu, anaknya ada di mobil.”
Prita keluar dengan menyunggingkan senyum.
Bu Ineke terheran-heran, melihat Prita muncul dengan baju merah tua bermotif bunga mawar. Rasanya, Prita belum pernah memakai baju itu sebelumnya. Sama sekali belum pernah.
Berpikir beberapa jenak, Bu Ineke baru ingat, bahwa sebulan lalu, Reni pernah menghadiri pesta ulang tahun Prita dengan baju indah itu. Ya, baju yang kini menempel di tubuh anak kesayangannya itu.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar