Jumat, 30 Oktober 2015

Penulis dan Pseudonim (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Minggu Pagi" edisi 30 Oktober – 5 November 2015)

Demi menyelamatkan diri, Arthur Rimbaud pernah memanfaatkan nama palsu. Sebuah biografi karangan Graham Robb (2000) mengisahkan bagaimana Sastrawan Prancis yang pernah datang ke pulau Jawa pada 1876 tersebut berhasil melarikan diri dari disiplin militer Belanda. Kala menumpang kapal Inggris The Wandering Chief di bawah Captain Brown, sengaja ia menyematkan nama samaran Edwin Holmes.
Di samping tidak menumpang kapal Prancis, penulis yang lahir dari keluarga kelas menengah di Charleville tersebut juga tidak memilih nama bercorak Prancis. Hal ini dilakukan dengan maksud meloloskan diri dari penyergapan militer Belanda. Untungnya, pada 6 Desember 1876, usai berlayar hampir seratus hari dari Semarang, kapalnya tiba di Queenstown di pantai selatan Irlandia.
Dalam catatan sejarah, tidak selamanya penggunaan nama samaran memiliki alasan serupa: menghindari ancaman dan bahaya. Oleh para penulis, penyebutan nama samaran memang sengaja dimaksudkan untuk ditampilkan dalam karya mereka. Dalam jagat literasi, ini lumrah disebut dengan pseudonim.
Dimunculkannya pseudonim dalam sebuah karya dengan ataupun tanpa tendensi. Boleh jadi, ada beberapa faktor, motif, dan latar belakang mengapa para penulis terpaksa menyembunyikan identitas mereka, atau bahkan tanpa sebuah pretensi sekalipun. Betapa demi “menyelamatkan” anak ruhani (karya)—meminjam istilah Pramoediya Ananta Toer—penulis rela melabelinya dengan nama orang lain.
Saat menganggit karyanya yang revolusioner dan visioner Max Havelaar, Eduard Douwes Dekker (1820-1887) memilih nama samaran. Penulis Belanda yang dikenal luas lantaran novel satirisnya tersebut menggunakan nama Multatuli (bahasa latin) yang berarti “banyak yang sudah aku derita” sebagai bentuk kritik atas perlakuan kasar para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hinda-Belanda. Mengalami penderitaan berlarat-larat, betapa kaum pribumi menjadi budak di negeri sendiri.
Dengan nama ini, ia mengabadikan rekaman situasi sosial pada zamannya. Dari sinilah potret sosial dan semangat zaman dapat ditangkap oleh pembaca. Dengan caranya sendiri, ia menampakkan kegelisahan menghadapi problem kemanusiaan yang universal: kolonialisme dan imperialisme yang mencabik-cabik harga diri manusia.
Pemanfaatan pseudonim bagi sejumlah penulis kerap mendulang kesuksesan dan menghadirkan popularitas. Nyatanya, hal ini dialami oleh William Sydney Porter (1862-1910). Suatu hari, sambil merenungi kenapa sampai terseret ke hotel prodeo, ia menyadari bahwa satu-satunya hal yang dimiliki adalah melimpahnya waktu luang. Melihat bahwa masih beberapa tahun ia menjalani hukuman, tampaknya tak banyak yang bisa ia lakukan.
Di saat seperti inilah, Porter berpikir bagaimana ia dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ia lantas mulai menulis cerita pendek dalam jumlah banyak. Dengan berbagai pertimbangan, buah penanya itu dijual ke majalah dengan nama samaran O’ Henry. Saat tiba hari kebebasan, tanpa diduga, ia telah menjadi penulis cerpen paling masyhur di Amerika. Ternyata ia keluar dari penderitaan menuju kesuksesan. (Napoleon Hill, terj. Leinovar Bahfein, 2008: 269)
Lahir di Trieste pada 19 Desember 1861, EttoShmitz menggunakan nama samaran Italo Svevo saat mengarang novel, cerpen, drama dan berbagai tulisan lainnya. Ia memulai karirnya pada Februari 1880 dengan menulis naskah drama komedi berjudul Ariosto Governatore (Ariosto Sang Gubernur). Sementara itu, nama samarannya digunakan pertama kali dalam novel perdananya, Una Vita (Sebuah Kehidupan) terbitan tahun 1893.
Ketika mengarang cerita bersambung dalam harian L’Independente pada 1888, penulis Italia pertama yang tertarik pada teori psikoanalitik Freud tersebut pernah menggunakan nama samaran lain, E. Samigli. Kapasitasnya sebagai penulis yang diperhitungkan serta kualitas karya-karyanya yang tak diragukan, seperti Senilita (Ketuaan) dan L’acoscienza di Zeno (Kesadaran Zen) menandai awal kesadaran Italia modern. (Zainal Muttaqin, 2004: 28)
Di saat tertentu, pseudonim menghibahkan keberuntungan bagi penulis. Akan tetapi, di saat yang berbeda, pengaburan identitas justru menimbulkan polemik berkepanjangan. Hal ini antara lain bisa dilihat dari fakta bahwa sejumlah puisi Hamzah Fansuri menimbulkan kontroversi lantaran beberapa penyair paska-Hamzah menduplikasi syairnya. Bahkan, lebih dari itu, beberapa penyalin sengaja menambah, mengurangi, dan memperbarui syair-syairnya. Akibatnya, antara karya Hamzah dengan karya penyair lain sangat sukar dibedakan.
Keadaan di atas melahirkan dua aliran yang berlawanan. Di satu pihak, Doorenbos dan al-Attas memandang bahwa karya Hamzah berupa syair-syair anonim atau yang ditandatangani nama lain (nama samaran). Di lain pihak, Drewes dan sejumlah pakar lain membenarkan nama-nama penyair lain itu dan menganggap bahwa karya Hamzah Fansuri hanya terdiri atas syair-syair yang ditandatangani dalam bentuk sebuah bait akhir. Berdasarkan kesimpulan mereka, sejumlah syair yang bertanda tangan Abd al-Jamal adalah buah pena Hamzah Fansuri. Karena, setelah diadakan penelitian, nama ini diyakini sebagai nama samaran Hamzah Fansuri.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar