Kamis, 13 Desember 2018

Sekolah Desa dalam Logika “Balas Budi” (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Kamis, 13 Desember 2018)


Sejumlah murid SDN 4 Randurejo, Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah, terpaksa belajar di dalam kelas tanpa plafon. Empat ruangan sekolah yang dibangun sejak tahun 1976 tersebut terlihat rusak parah dengan dinding rapuh dan genting bocor. Semangat anak-anak menuntut ilmu sedikit terganggu lantaran gedung sekolah kerap dilanda banjir saat turun hujan. Apa yang dialami oleh siswa dan siswi SDN 4 Randurejo menunjukkan minimnya kepedulian pemerintah daerah setempat terhadap eksistensi lembaga pendidikan, terutama di lingkungan akar rumput (grass root).
Fenomena di atas mengingatkan publik terhadap “sekolah desa” pada masa kolonialisme Belanda yang bercorak ambivalen dan kontradiktif. Lahirnya sekolah desa sebenarnya turut meningkatkan taraf pendidikan masyarakat sekaligus menurunkan tingkat kebodohan mereka. Akan tetapi, kehadirannya juga seolah menunjukkan bahwa kaum kolonial memiliki pamrih dan sekadar ingin menampilkan citra positif di hadapan rakyat jajahan.

Pendidikan Rakyat
Dahulu kala, usaha mewujudkan pendidikan bagi rakyat jelata kerap mengalami hambatan. Tak heran jika akses pengetahuan dan keilmuan bagi orang-orang kecil sangat sulit. Logika kolonialisme menggariskan bahwa pihak yang kalah dalam perang mesti mengalami penjajahan, termasuk dalam bidang pendidikan. Itulah mengapa, selain mengalami penindasan fisik, orang-orang berstrata sosial rendah juga mengalami penindasan moril dan psikologis. Dalam rangka mempertahankan status quo, penguasa kolonial gencar melakukan pembodohan sistemik.
Bermacam siasat ditempuh supaya fasilitas pendidikan tidak dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Hanya mereka yang dekat dengan penguasa serta orang-orang kaya yang bisa menikmati sarana pendidikan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan Belanda yang mengagendakan “pembodohan massal” tampaknya mendapat tantangan dari berbagai pihak. Itulah mengapa, wacana pendirian “sekolah kelas dua” bagi golongan bawah sempat bergulir.
Pada tahun 1907, van Heutsz berhasil memperoleh solusi atas permasalahan terdahulu. Sekolah-sekolah desa (desascholen atau volksscholen) bakal dibuka. Meski menerima suntikan berupa bantuan pemerintah seperlunya, sebagian besar biaya lembaga pendidikan ini ditanggung oleh penduduk desa. Sebagaimana berbagai perbaikan Etis lainnya, pemerintah menggariskan apa yang baik bagi rakyat Indonesia sekaligus memutuskan jumlah yang harus mereka bayar. Di samping masa studi tiga tahun, mata pelajarannya juga ditetapkan.
Sekolah-sekolah tersebut membekali siswa dengan keterampilan dasar membaca, berhitung, serta keterampilan praktis yang disampaikan melalui bahasa daerah. Ditentukan pula pungutan uang sekolah. Wacana tentang sekolah desa ternyata kurang direspons oleh desa-desa. Hal ini membuat pemerintah kolonial mulai menempuh perintah halus, semacam “desakan lembut” dari atas sebagai ciri pendekatan pihak Belanda dalam upaya mencapai kesejahteraan desa.
Buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008: 344) menyebutkan bahwa pada tahun 1912, ada 2.500 lebih sekolah desa yang telah berdiri. Pada tahun 1930-an, terdapat kira-kira 9.600 sekolah dan lebih dari 40% anak-anak Indonesia berumur 6 hingga 9 tahun belajar di dalamnya selama beberapa waktu. Mayoritas tergabung dalam sekolah-sekolah desa milik pemerintah, meski dengan kondisi terpaksa.
Dalam rangka meningkatkan jenjang pendidikan para murid, pada tahun 1915 didirikan Inlandsche Vervolgscholen, “sekolah lanjutan pribumi”. Pada tahun 1908, Sekolah Kelas Dua bermetamorfosa menjadi Standaardscholen, “sekolah standar” yang kemudian dikhususkan bagi mereka yang menggeluti perdagangan atau meninggalkan kehidupan desa. Adapun sekolah desa diperuntukkan bagi orang-orang yang bertahan dalam lingkungan desa.

Problematika Sosial
Realitas historis di atas menggambarkan bahwa diselenggarakannya sekolah desa bukan tanpa biaya. Pada masa kekuasaan Belanda, tampaknya kebijakan pendidikan gratis cukup sulit direalisasikan. Artinya, implementasi pendidikan bagi rakyat kecil senantiasa mengandalkan uluran penduduk desa. Logika “balas budi” bagi pihak yang terjajah ternyata masih menyisakan anomali.
Di satu sisi, lantaran ingin membuka akses pendidikan bagi bangsa Indonesia secara merata, apa yang diupayakan oleh pemerintah Belanda bernilai positif. Bagaimanapun, pendidikan bukan hanya milik orang berstrata sosial tinggi, melainkan juga orang-orang kecil dengan penderitaan luar biasa. Namun, di sisi lain, dampak negatif lebih menonjol. Dalam praktiknya, kebaikan tersebut rupanya meniscayakan paksaan dan intimidasi. 
Lahirnya sekolah-sekolah yang mengambil orang-orang kecil sebagai anak didiknya ternyata tidak lantas mengatasi masalah-masalah sosial. Muncul ketimpangan antara orang miskin yang berpendidikan ala kadarnya dengan orang kaya yang mampu mengakses sekolah berkualitas lebih baik. Kesenjangan semakin terasa ketika ada pemilahan antara sekolah golongan bawah, sekolah golongan menengah, dan sekolah golongan elite.
Kebijakan pemerintah kolonial tentang pendirian sekolah desa genap mengokohkan pondasi ditetapkannya lapisan sosial yang kerap menimbulkan kecurigaan dan kebencian. Salah satunya, kaum Tionghoa memiliki akses lebih mudah dalam bidang pendidikan. Orang-orang Cina bisa tergabung dalam sekolah standar, yang secara teoritis dianggap sebagai sekolah ‘golongan menengah’, yaitu lembaga pendidikan yang terletak antara sekolah desa golongan bawah dan sekolah Kelas Satu golongan elite.
Namun demikian, ditinjau dari sistem pendidikannya, sekolah-sekolah tersebut terbukti melenceng. Saat muncul berbagai dampak depresi setelah tahun 1930, sekolah-sekolah tersebut akhirnya bertransformasi menjadi sekolah-sekolah desa bersama dengan Vervolgscolen. (M.C. Ricklefs, 2008: 344-345).

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar