Rabu, 13 Februari 2019

Nasib Desa di Tahun Politik (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Sabtu, 22 Desember 2018)



Menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, desa layaknya pasar yang sangat ramai. Tersedia banyak barang dagangan bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Sebagai calon pembeli, orang desa tak bosan-bosannya menerima berbagai tawaran yang cukup menggiurkan.
Kaum elite politik yang memosisikan diri selaku penjual membujuk, menggiring, atau sekadar meyakinkan orang desa untuk memborong barang dagangannya. Dengan bermacam intrik, upaya merebut atensi masyarakat bakal terus digencarkan selama transaksi belum genap berjalan.

Zoon Politicon
Saat seseorang menukarkan kepercayaan dengan apa yang tersaji di hadapannya inilah elite politik bertepuk dada. Bagaimanapun, mereka merasa berhasil melancarkan misinya. Di sinilah proses jual beli kerap berlangsung kurang transparan dan tidak berimbang lantaran konsumen seringkali dirugikan. Adanya alasan-alasan tertentu membuat elite politik enggan memberitahukan kondisi komoditas sebenarnya. Kiat menyembunyikan fakta dilakukan dengan menyajikan beraneka bentuk manipulasi.
Padahal, saat itulah kejujuran, integritas, serta harga diri manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dipertaruhkan. Apabila nekat mengorbankannya, mereka benar-benar jauh dari label mulia, bahkan layak dicap hina. Sehingga, transaksi yang semestinya menjadi domain kedua belah pihak atas dasar “suka sama suka” cenderung berada di bawah kendali penjual. Imbasnya, orang desa menjadi korban penipuan karena kualitas barang dagangan tidak sesuai dengan harga yang dibandrol.
Sejak lama, desa menjadi lapak strategis untuk menampilkan komoditas dalam bungkus program-program jangka pendek, menengah, atau panjang. Kepentingan-kepentingan politik dikemas cukup menawan dalam aktivitas-aktivitas seremonial yang mampu memancing simpati publik. Aksi sosial digelar demi menggaet dukungan penuh dari tokoh setempat, stakeholder, kawula muda, serta pihak lainnya. Motif-motif individu dihidangkan melalui wajah-wajah sejuk, bijak, alim, santun, sederhana, dermawan, serta Pancasilais. Untuk menampilkan karakter sesuai yang diinginkan, beberapa topeng telah disiapkan.

Citra Positif
Desa menampung ambisi-ambisi temporer orang-orang yang bernafsu mengeruk keuntungan sesaat. Desa dipenuhi dengan keinginan-keinginan materialistis mereka yang merindukan kebesaran dan kemuliaan bercorak artifisial. Betapa impian dan cita-cita dangkal tentang kehidupan digantungkan pada desa. Demi meraih tujuan ini, orang desa sengaja disilaukan dengan berbagai penampilan meyakinkan, tetapi sesungguhnya menyesatkan.
Oleh elite politik, usaha menampakkan citra positif ditempuh dengan memasang baliho, spanduk, serta poster di sejumlah titik dan sudut desa. Kiat memancing perhatian khalayak dilakukan dengan mengumbar slogan dalam beberapa kegiatan formal maupun informal. Desa menjadi ajang pertarungan politik berbiaya murah dengan hasil memuaskan. Mereka yang bertarung di atas gelanggang politik menilai orang desa mudah dikelabui lantaran tingkat pendidikan mereka lebih rendah dibanding orang kota.
Dalam taraf tertentu, kampanye yang sukses selalu melibatkan desa. Janji-jani politik senantiasa menjadikan orang desa selaku obyeknya. Waktu kampanye digunakan sebaik mungkin oleh elite politik untuk blusukan ke wilayah terpencil serta jauh dari berbagai kebisingan. Keberhasilan para calon pemimpin dan pemegang jabatan publik menebar image antara lain dikarenakan mereka mampu mendekati sekaligus mempengaruhi orang desa.
Siapa saja yang bermukim di wilayah pedalaman menjadi sarana tercapainya hasrat berkuasa. Mengaku sebagai pembela hak-hak warga desa, elite politik giat menebar pesona demi meraup suara. Celakanya, setelah elite politik menduduki kursi kekuasaan, orang desa segera dilupakan dan kembali mengakrabi penderitaan. Untuk ke sekian kalinya warga desa menjadi korban manisnya janji politik yang terlanjur diobral.

Sikap Kritis
Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan lima tahun sekali seharusnya menjadikan orang desa semakin dewasa. Jangan sampai pengalaman-pengalaman buruk sebelumnya kembali dialami oleh rakyat kecil dalam momentum serupa. Satu periode kepemimpinan atau masa jabatan presiden dan anggota legislatif semestinya memberikan waktu yang lebih dari cukup bagi orang desa untuk mengevaluasi pilihannya.
Dalam konteks inilah, pertimbangan matang tentang siapa yang berhak dipercaya pada ajang demokrasi tersebut merupakan keniscayaan. Orang desa dituntut untuk selalu berpikir kritis dan reflektif tentang siapa yang layak menjadi nahkoda negeri ini. Jangan sampai pilihan jatuh kepada para perompak yang bukannya mendatangkan keselamatan, namun justru menabur benih-benih kesengsaraan.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar