Rabu, 13 Februari 2019

Kiai dalam Logika Kepemimpinan Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bhirawa" edisi Kamis, 27 Desember 2018)


Lantaran diduga mencabuli santrinya, seorang kiai di Desa Kasilir, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember digeruduk 50 orang. Massa menuntut pertanggungjawabannya setelah mengetahui bahwa si santri genap mengandung 4 bulan. Apabila dugaan tersebut benar, maka tentu apa yang diperbuat telah menjatuhkan kehormatan, kewibawaan, serta kharisma kiai.
Bagi masyarakat perdesaan, ulama atau kiai adalah sosok yang dimuliakan, dihormati serta dianggap mempunyai banyak kontribusi. Sejak dahulu hingga sekarang, orang desa senantiasa mengakui eksistensi kiai. Betapa khazanah peradaban negeri ini genap diwarnai dengan posisi dan fungsi kiai dalam ruang publik. Fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin dikukuhkan dengan hadirnya kiai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penentang Kolonialisme
Hengkangnya penguasa kolonial dari bumi pertiwi berutang budi pada kiai. Sikap, perilaku, serta sepak terjang kiai merupakan ancaman nyata bagi penjajah Belanda dalam ikhtiar menyelundupkan misi kolonialisme. Hasrat menundukkan, menguasai, serta mengeruk kekayaan Nusantara memperoleh tantangan serius dari kiai. Dengan berbagai cara, kiai menebarkan bibit-bibit perlawanan rakyat, supaya tiang kolonialisme di negeri ini roboh. Nafsu berkuasa kaum kolonial ternyata diimbangi dengan militansi kebangsaan yang ditunjukkan oleh kiai.
Perlawanan yang tersusun secara rapi pertama kali tercipta pada penghujung abad ke-19. Pada tahun 1895, berdasarkan catatan Kuntowijoyo, pihak Belanda kerap mencurigai Kiai Semantri atau Kiai Lanceng yang diduga menghembuskan perasaan anti kolonial kepada penduduk desa Prajan, subdistrik Darmacamplong, Sampang, Madura.
Kecurigaan menjadi alasan pemerintah Belanda menugaskan sejumlah orang untuk beberapa kali menangkapnya, meskipun akhirnya menerima kenyataan pahit. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat desa nekat mengulurkan perlindungan terhadap Kiai Semantri sekaligus mengusir utusan Belanda tersebut. (Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko [peny.], 2008: 446).

Patriotisme dan Nasionalisme
Tumbuhnya jiwa patriotisme di negeri ini tak luput dari getolnya kiai dalam meniupkan semangat perjuangan pada generasi muda. Bagaimanapun, rasa cinta terhadap tanah air mesti dibuktikan dengan jiwa dan raga. Demi menegakkan martabat dan harga diri negara (nation), kiai mewariskan nilai, prinsip, serta etos mulia. Upaya mempertahankan kedaulatan negara dari cabikan musuh diwujudkan melalui konsep nasionalisme. Selain peneguhan jatidiri dan identitas kebangsaan, harapannya agar ikatan kebersamaan dalam diri setiap warga negara senantiasa terpelihara.
Patriotisme dan nasionalisme semakin menggema ketika Resolusi Jihad terbit. Mengutip buku Traditionalist Muslims in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, Factional Conflict and The Search for a New Discourse karangan Martin van Bruinessen (1999: 60), imbas Resolusi Jihad cukup terasa di Jawa Timur. Keluarnya resolusi ini direspons secara langsung dengan pembentukan pasukan non-reguler bernama Sabilillah.
Pada 10 November 1945, kaum muda NU terlibat aktif dalam pemberontakan massal. Mengenakan jimat pemberian kiai desa, mereka melancarkan perlawanan terhadap tentara Inggris yang mendarat di Surabaya. Secara tidak langsung kiai desa berandil besar dalam memompa motivasi para pejuang dan memantik heroisme Arek-arek Suroboyo. Berdasarkan pengamatan Martin, aksi menggerakkan massa di medan juang juga tak terlepas dari sumbangsih kiai. Sebelum menyampaikan “pidato perjuangan” dalam salah satu siaran radio, Bung Tomo ternyata terlebih dahulu mengunduh nasehat Kiai Hasyim Asy’ari.

Figur Sentral
Kiai menduduki peran sentral dalam kehidupan sehari-hari. Terutama bagi para pengikut Nahdlatul Ulama (NU), kiai dinilai memiliki kharisma, kewibawaan, serta kepribadian luar biasa. Kaum nahdliyin dikenal sebagai kelompok masyarakat yang sangat tergantung pada kepemimpinan “kiai panutan”. Menyitir pernyataan Masdar F. Mas’udi, “Mereka bergantung pada kiai, bukan saja saat hendak memilih jalan (ibadah) untuk menuju Tuhannya, melainkan juga saat memilih jalan (politik) untuk membangun dunianya, membangun masyarakat dan negaranya”. (Khamami Zada dan A. Fawaid Syadzili [ed.], 2010: 9).
Kiai memenuhi unsur kepemimpinan lokal yang senantiasa mengantongi kepercayaan publik. Dalam banyak hal, orang desa bersandar dan berpegang teguh kepadanya. Pandangan-pandangannya seolah selalu dinanti dalam merespons beragam problematika kehidupan. Merujuk Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, kepemimpinan komunitas Islam di wilayah perdesaan biasanya berasal dari elite agama, yaitu guru, haji, dan kiai.
Penulis buku ini, Kuntowijoyo (2008: 205) mensinyalir bahwa meskipun bercorak informal, kepemimpinan elite agama mesti bisa mengurusi pendidikan agama, melaksanakan ritual-ritual keagamaan, serta memberikan pelayanan sosial, semisal melontarkan petuah, menempuh arbitrase dalam perselisihan sosial, bahkan mengobati orang sakit. Mereka juga merupakan simbol solidaritas sekaligus pembela kepentingan umat.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar