Selasa, 30 Mei 2017

Demokrasi Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Senin, 29 Mei 2017)


Akhir-akhir ini, banyak desa disibukkan dengan hajatan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Dilaksanakannya Pilkades serentak menyusul penerbitan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 yang mengatur tentang prosedur, mekanisme dan rambu-rambu aturan Pilkades.
Di negeri ini, hingar-bingar panggung politik lokal tak jauh berbeda dengan dinamika politik nasional. Demi meraih kesuksesan dan memenangkan rivalitas, beberapa cara ditempuh calon kepala desa. Sayangnya, beberapa di antara mereka menerapkan “strategi busuk”. Mereka berusaha mendongkrak elektabilitas dan meraup banyak suara dengan bermodal uang.

Money Politic
Money politic merupakan strategi yang dilegalkan oleh mereka yang ingin memperoleh jabatan. Uang memberi jalan bagi siapa saja yang ingin melenggang dalam jagat politik. Orang-orang yang dibekali modal finansial dapat dengan mudah menggerakkan arus politik lokal. Dinamika politik seolah disetir oleh mereka yang berdompet. Momentum pemilihan kepala desa begitu dinantikan oleh orang-orang kecil terutama saat paceklik. Geliat demokrasi lokal disambut oleh mereka yang berada dalam kondisi ekonomi terjepit. Meroketnya prosentase rakyat miskin mencoblos berimbas pada suksesnya penyelenggaraan Pilkades. Boleh dibilang, terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.
Dengan getolnya persaingan calon kepala desa dalam membagikan uang, tentu mereka merasa diuntungkan. Sebab, hanya dengan berdiam di rumah, seseorang memperoleh uang tanpa perlu bekerja dan memeras keringat. Dorongan sosiologis dan ekonomis melatarbelakangi kesediaan orang-orang pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Keterlibatan mereka dalam hingar-bingar pesta demokrasi tidak didorong oleh keinginan mencari pemimpin yang ideal, melainkan kecenderungan mencari rupiah. Di sinilah terjadi pergeseran pelembagaan demokrasi ke ikhtiar pemerolehan materi. Pembelajaran politik bagi masyarakat yang menjadi tujuan penyelenggaraan Pilkades hanya pepesan kosong. Kemandirian dan kedewasaan berpikir rakyat diabaikan. Sistem pengangkatan pemimpin lokal dirusak oleh ulah para pemodal dan kaum kapital.
Namun demikian, tidak selamanya pemberi uang terbesar memperoleh kemenangan. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis. Pola pikir masyarakat bergeser dari tradisional ke modern. Cara berpikir rasional membimbing mereka dalam mengambil keputusan. Uang rupanya tidak dapat mengubah keteguhan hati dalam menjatuhkan pilihan. Meski telah menerima uang dari seorang calon, bisa jadi mereka enggan memilih calon tersebut atau bahkan sengaja abstain. Maka, di sejumlah desa, golput memperoleh pengikutnya. Sebagian masyarakat terlanjur beranggapan, nasib mereka tidak pernah berubah dengan bergantinya pemimpin. Pilkades seolah merepresentasikan rutinitas tanpa meninggalkan bekas.
Ada juga dermawan-dermawan dadakan yang turut menyokong keberhasilan calon kepala desa. Tanpa diminta mereka ikut mensukseskan kampanye. Mereka memberikan uang dan beragam keperluan rumah tangga kepada masyarakat demi terpilihnya seorang calon kepala desa. Mereka terutama berasal dari pihak yang tidak menyukai kepemimpinan kepala desa lama dan menghendaki perombakan struktur pemerintah desa. Akan tetapi, ada juga yang menggelontorkan uang dan sembako demi mengeruk keuntungan. Setelah mengeluarkan modal politik, mereka meminta seorang calon kepala desa untuk mengganti ongkos yang telah dikeluarkan.
Kepada yang terakhir, sering kali calon kepala desa merasa dirugikan. Pilkades seolah momentum untuk menjebak calon kepala desa dengan banyak utang dan problematika ekonomi. Sayangnya, menghadapi oknum semacam ini, calon kepala desa seakan tak berdaya. Ia menghadapi dilema. Mengganti semua modal politik yang dipinjamkan “dermawan gadungan” merupakan problematika baru sebab membutuhkan banyak uang. Akan tetapi, mengabaikan tuntutan mereka sama saja menodai kewibawaan diri sendiri. Ia tentu dianggap “kurang modal”, sehingga untuk mengganti ongkos politik lokal saja merasa keberatan atau bahkan tidak mampu. Sejumlah kasus menunjukkan calon kepala desa menyerah dengan mengikuti alur permainan mereka. Sedangkan kasus lain menggambarkan perlawanan calon kepala desa dengan mengatakan bahwa tanpa meminta bantuan, tanggung jawab mengganti apa yang genap dikeluarkan tidak berada di pundaknya.

Identitas Bangsa
Orang rela kehilangan uang, sawah, tanah, atau rumah sekalipun demi menduduki kursi kekuasaan desa yang memuat prestise. Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Padahal, ketika seseorang kalah bersaing, ia mengalami tekanan batin yang luar biasa. Mentalitas dan kepercayaan diri bisa merosot sedemikian rupa. Selain malu kepada tetangga dan sanak famili, ia juga mengalami kerugian material yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Parahnya, kekalahan ini kadang ditebus dengan kondisi kesehatan dan perekomian yang kian menurun. Beberapa dari mereka memilih transmigrasi, melakukan tindakan kriminal yang berujung bui, bahkan nekat bunuh diri.
Guna mencegah maraknya money politic, pemerintah, akademisi, serta NGO bekerja sama dalam membangun identitas bangsa. Masyarakat senantiasa dijauhkan dari pola pikir materialistis dan pragmatis. Rasionalitas selayaknya membimbing mereka dalam menentukan sikap dan perilaku. Sejak dini, mereka diajarkan untuk tidak bergantung pada dermawan dan politisi busuk. Keberangkatan mereka menuju TPS bukan berdasarkan pamrih namun atas panggilan nurani.
Masyarakat diberikan pemahaman bahwa panggung politik lokal harus dijauhkan dari gejala money politic. Pilkades sebagai sarana memilih pemimpin harus bersih dari uang. Arus politik seharusnya bersifat bottom-up. Masyarakat mengumpulkan donasi bagi siapa saja yang maju dalam Pilkades. Dengan demikian, dinamika politik lokal tidak digerakkan dari atas melainkan dari bawah. Masyarakat berperan sebagai aktor politik daripada objek politik.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar