Senin, 08 Mei 2017

Literasi Perdesaan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Rakyat Sultra" edisi Rabu, 3 Mei 2017)


Maraknya gerakan literasi dalam dekade-dekade terakhir didukung oleh keteduhan, kenyamanan, dan kedamaian desa. Tak heran jika selama ini banyak pengarang melampiaskan “hasratnya” dengan bermukim di desa. Ditemani hijau pohon dan kicau burung, sejumlah buku berhasil ditulis. Bagi mereka, inspirasi bersemi di tanah perdesaan. Motivasi berkarya tumbuh bersama padi dan rumput ilalang.  
Buku sebagai produk pemikiran manusia tidak terlepas dari tempat di mana pengarang berproses. Bagaimanapun, lingkungan menyumbang andil atas lahirnya sebuah buku. Lingkungan sebagai unsur ekstrinsik karya secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau struktur tulisan. Hal ini dikarenakan, otak bawah sadar pengarang senantiasa terpaut dengan apa yang ada di sekelilingnya. Maka, dalam menganalisa sebuah karya, selain subjektivitas, keyakinan, pandangan hidup, dan psikologi pengarang, lingkungan juga tak bisa dinihilkan. Para kritikus sastra menilai, urgensi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam karya mempunyai kadar serupa.
Barang tentu suasana desa yang guyub menyumbang corak dan warna buku. Boleh dibilang, terdapat perbedaan antara buku yang ditulis dalam iklim perkotaan dan buku yang digarap di wilayah perdesaan. Buku yang dirampungkan dalam situasi bising memiliki karakter berbeda dibanding yang diselesaikan dalam kondisi tenang. Suatu kewajaran jika khalayak pembaca yang peka mampu memilah “buku urban” dan “buku rural”. Sebab mengenali “aroma” tulisan, mereka dapat menemukan baik ciri khas maupun distingsi keduanya.
Para pembaca yang kritis sanggup menerka, andai Linus Suryadi Agustinus lahir di tengah kota, boleh jadi tokoh fiktifnya dalam Pengakuan Pariyem bukan perempuan dari desa dengan deretan pegunungan tandus di sekitarnya. Jika keluarganya bukan petani Jawa, bisa dipastikan ia kesulitan mengeksplorasi dunia batin perempuan Jawa dalam novelnya. Mereka juga bisa menyimpulkan, lantaran sastrawan legendaris itu menghabiskan masa kecil di desa Jawa, maka mitologi, prinsip, dan keyakinan orang Jawa genap membekas pada proses kreatifnya.
Dalam Sastra, Psikologi, dan Masyarakat, Darmanto Yt (1985) menyebutkan bahwa ragam penciptaan tidak hanya bersumber pada personalitas para seniman, namun juga lingkungan serta dinamika proses diri manusia dengan lingkungan tersebut. Ia menegaskan, “Integritas dan identitas seorang seniman yang menjadi sumber keunikannya ditentukan oleh proses-proses sejarah yang menyangkut interaksi antara struktur dalam dengan struktur lingkungannya.”

Visualisasi Desa
Dalam kadar tertentu, buku memuat gambaran dan rekaan tentang desa. Di dalamnya terkandung ikhtiar pengarang menuturkan karakteristik perdesaan. Pengarang berusaha menciptakan suatu ikon demi merefleksikan kehidupan di desa. Hal ini penting, mengingat setiap pembaca menangkap makna melalui tanda-tanda. Dengan menyajikan kosakata tertentu, pengarang seintens mungkin berkomunikasi dengan pembaca.   
Oleh beberapa pengarang, singkong dipilih terutama dalam rangka menggambarkan keadaan fisik desa. Betapa imajinasi singkong menghiasi sejumlah karya sastra. Singkong sebagai citra perdesaan dikekalkan Ahmad Tohari dalam masterpiece-nya. Kerapnya sastrawan penerima penghargaan dari Radio Nederlands Wereldomroep itu menyebut singkong dalam Ronggeng Dukuh Paruk memang menunjukkan setting tempat cerita berada di pedalaman, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.
Lihatlah ketika Rasus, tokoh dalam ceritanya, sibuk berebut singkong dengan beberapa temannya setelah dijebol ramai-ramai dengan bantuan air kencing. Simak juga saat orang-orang upahan Pak Sentika mengangkut singkong dari Alaswangkal ke pangkalan di tepi jalan besar. Atau ketika lelaki gunung bercawat yang bergerombol di dekat pikulan singkong, menikmati kecantikan Srintil yang sedang memijat betisnya. Singkong yang mudah ditemukan di tanah kelahiran Tohari, Banyumas, meneguhkan unsur lokalitas karyanya.
Lebih dari itu, singkong juga merupakan representasi penderitaan sekaligus perjuangan orang desa. Kesenjangan sosial di negeri ini disimbolkan dengan singkong. Dalam “Sajak Transmigran”, F. Rahardi berteriak lantang: sepuluh tahun masih makan singkong/ duapuluh tahun makin singkong/ dan limapuluh tahun kemudian/ transmigran beruban/ sakit-sakitan/ mati/ lalu dikubur di ladang singkong//.
Walaupun identik dengan imaji perdesaan, singkong diposisikan Rahardi selaku medium penyampai pesan. Singkong sebagai manifestasi kebebasan berekspresi dituangkan penyair, cerpenis sekaligus novelis yang drop out SMA itu dalam buku bertajuk Kentrung Itelile: Kumpulan Cerpen Manusia Singkong (1993).

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar