Senin, 17 September 2012

Membangun Peradaban dengan Buku (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Lampung Post, edisi Sabtu, 15 September 2012)


Peradaban sebuah bangsa akan tumbuh berkembang dengan didirikannya banyak perpustakaan. Bagaimana tidak? Perpustakaan yang menyajikan beraneka bahan bacaan akan menggenjot minat belajar dan laju keingintahuan (curiosity) masyarakat. Efek positifnya, angka kebodohan masyarakat bisa ditekan. Sedangkan tingkat kepandaian masyarakat akan menunjukkan grafik yang signifikan.
Buku-buku yang tersedia di perpustakaan merupakan jendela dunia yang mengantarkan para pembaca ke cakrawala pengetahuan tak berhingga, sehingga mereka mengetam apa yang sebelumnya tidak diketahui juga terlewatkan dalam kehidupan sehari-hari. Wawasan yang dimiliki seseorang akan bertambah seiring dengan semakin banyaknya buku yang dipelajari. Ide-ide cemerlang dan brilian akan lahir, karena apa yang ditawarkan dari buku-buku yang dibaca memengaruhi cara berpikir serta mengambil keputusan. Tak heran jika muncul negara-negara besar karena didorong oleh budaya membaca yang mengakar.
Sebagai contoh Jepang. Negara yang berjuluk Negeri Sakura tersebut mampu menyaingi Amerika Serikat atau Eropa berkat adanya minat membaca yang kuat. Kecanduan Jepang dalam membaca patut menjadi teladan bagi negara-negara lain. Tak jarang, di tempat-tempat umum orang-orang Jepang membawa buku, komik, koran atau majalah. Ketika bepergian, bekal utama yang diselipkan dalam koper atau tas ransel adalah bahan bacaan.
Boleh dibilang, tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa di antaranya bisa dicermati dari sedikit banyaknya para penggandrung buku dan perpustakaan di dalamnya.

Budaya Membaca dan Perpustakaan
Hubungan antara budaya membaca dan perpustakaan sangatlah erat. Membaca sebagai suatu cara atau kegiatan yang berguna untuk memperoleh informasi atau pengetahuan. Sedangkan perpustakaan sebagai tempat didapatkan media yang menghidangkan informasi atau pengetahuan tersebut. Keduanya—budaya membaca dan perpustakaan—merupakan kombinasi yang sulit terpisahkan. Sebab, kegiatan membaca memerlukan tempat yang didesain secara khusus agar para pembaca merasa nyaman, rileks, dan jauh dari gangguan. Begitu pula sebaliknya. Tanpa para pengunjung dengan budaya membaca yang tinggi, tentu perpustakaan akan kehilangan eksistensi serta fungsi alamiahnya.
Perpustakaan menjadi begitu urgen karena selain menyediakan banyak literatur, ia juga didaulat sebagai tempat yang memberikan nuansa penuh kedamaian. Itulah mengapa beberapa tokoh nasional menghabiskan waktu di dalamnya untuk menjemput ide, imajinasi, dan inspirasi yang tak henti. Sebut saja Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka senantiasa berusaha untuk mengakrabkan sekaligus merekatkan diri dengan perpustakaan.
Keempatnya memosisikan perpustakaan sebagai ruang yang sangat intim dengan urat nadi kehidupan. Ketika berjauhan dengannya, mereka merasakan kehilangan. Tanpanya, mereka akan merasakan penderitaan batin yang mendalam.

Mendirikan Perpustakaan Ideal
Untuk menyemarakkan perpustakaan sebagai pusat bergumulnya pecinta ilmu pengetahuan, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah. Harus ada langkah-langkah riil yang diambil secara terencana, teratur, dan berbasis tujuan. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan akan terealisasi dengan mudah. Bagaimanapun juga, proses atau tahapan yang dilalui dengan asal-asalan akan membuahkan penyesalan dan menuai hasil yang kurang memuaskan.
Pertama, menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pentingnya membaca dan mengunjungi perpustakaan sejak dini. Ini digencarkan dengan adanya sosialisasi aktif melalui seminar, lokakarya, juga forum-forum lain yang melibatkan masyarakat. Pun dengan penyebaran pamflet dan spanduk. Langkah ini untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa membaca memiliki banyak manfaat.
Kedua, memperhatikan perpustakaan yang sudah ada. Perpustakaan yang sepi pengunjung dan kurang mendapat tempat di hati masyarakat tidak perlu ditutup. Justru seharusnya diperbaiki dan dibenahi secara bertahap. Jangan sampai perpustakaan yang ada dibiarkan amburadul, tak terawat, kotor, dan tampak seram, yang menyebabkan masyarakat enggan berkunjung.
Ketiga, pembangunan perpustakaan yang digalakkan pemerintah secara besar-besaran disertai dengan melimpahnya bahan bacaan di dalamnya. Ini dinilai lebih bermanfaat daripada menghambur-hamburkan rupiah untuk memperluas pusat perbelanjaan ataupun sarana hiburan.
Berbeda halnya dengan alun-alun kota atau gedung DPR yang mewah, perpustakaan megah yang menampung ribuan bahkan jutaan referensi akan terhindar dari kesan pemborosan dan berlebihan. Hal tersebut justru menandakan bahwa pemerintah mempunyai respon yang cukup tinggi terhadap kemajuan masyarakatnya. Dengan pembangunan perpustakaan-perpustakaan baru, terdapat indikasi kuat yang menyebutkan bahwa pemerintah memperhatikan masa depan masyarakat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Beberapa abad silam, perpustakaan menjadi concern pemerintahan Islam. Perpustakaan selalu mendapatkan perhatian lebih dan prioritas utama dibanding sarana publik lainnya. Biaya besar sengaja dialokasikan demi mempercantik dan memperindah penampilan fisik perpustakaan. Selain itu, tentu koleksi bahan bacaannya ditambah dengan mendatangkan referensi dari luar atau dengan melakukan penerjemahan sejumlah referensi penting dan berharga.
Pada pengujung abad kedua Hijriah, perpustakaan-perpustakaan umum telah menjamur demikian banyaknya. Rasanya sulit untuk sekadar menaksir atau melakukan list terhadap jumlah perpustakaan sepanjang sejarah kekuasaan Islam. Hal ini disebabakan perpustakaan pernah sekian lama dijadikan simbol kebesaran, kebanggaan, dan tren pemerintahan Islam. Kota-kota yang pernah menjadi pusat kekuasaan Islam semisal Bagdad, Kairo, Damaskus, dan kordova sangatlah kaya dengan perpustakaan. Di antara perpustakaan-perpustakaan besar dalam sejarah Islam, yaitu (Daud Rasyid, 1998: 100-101)
Pertama, Darul Hikmah di Bagdad, didirikan Khalifah Harun Al-Rashid (149-193 H), yang kemudian dilanjutkan oleh putranya al-Makmun (170-218 H) dalam menyubsidi kitab dan memperkaya koleksinya.
Kedua, Khazanah Qurthuba, di kordova yang mengoleksi 400 ribu jilid buku (bahkan menurut kronik William Draber, jumlahnya sampai 600 ribu jilid).
Ketiga, Darul 'Ilm di Mesir yang berdiri pada masa Dinasti Fathimiyah (297-567 H). Perpustakaan ini sempat menjadi kebanggaan kaum muslimin karena jumlah kitab yang melimpah dan telah tersedianya beberapa sarana yang cukup memadai.
Hal terakhir yang perlu diemban, yaitu mempelajari lebih dalam profil perpustakaan-perpustakaan berkaliber dunia sekaligus menggali rahasia mengapa perpustakaan-perpustakaan tersebut merengkuh kesuksesan dan selalu dikenang sejarah. Kemudian yang terpenting adalah mengaplikasikannya pada perpustakaan yang akan dibangun ataupun yang hanya mengalami perombakan. Mulai dari manajemen, pelayanan, fasilitas, sirkulasi referensi, pemilihan tema bacaan, dan lain sebagainya.
Dengan dilaksanakannya langkah-langkah di atas, diharapkan lahir perpustakaan ideal yang mampu membangkitkan hasrat masyarakat untuk senantiasa menghiasi kehidupan dengan bergelimangnya pengetahuan, sehingga kelak timbul peradaban yang adiluhung dan gilang-gemilang.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar