Senin, 24 September 2012

Ekspedisi ke Pulau Kematian (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Minggu Pagi" edisi 21-28 September 2012)


Angin hitam menampar gunung dan bebukitan. Debu-debu membuntingi udara. Rumputan hijau beralih rupa mendedahkan rona menakutkan. Burung-burung gagak berdengking memekakkan telinga. Benar-benar di luar dugaan! Negeri yang beberapa dasawarsa memeluk kesejahteraan itu, kini dirundung kekacauan.
Kekisruhan luar biasa bergulir di Bulma. Darah tumpah di sana-sini. Begitu mudah nyawa terapung sia-sia. Sehingga, dalam waktu singkat, muncullah janda-janda yang ditinggal mati para suami. Janin-janin lahir tanpa melihat sang ayah. Begitulah, jika seorang pemimpin yang diagung-agungkan tiba-tiba mangkat. Mangkat tanpa meninggalkan sepucuk wasiat.
Jangkap dua tahun ini, perebutan kekuasaan antar keturunan raja menerbitkan pertempuran dahsyat di berbagai tempat. Tiada lain yang menjadi tujuan, kecuali sekadar mewujudkan hasrat untuk mewarisi kekuasaan. Maka, menghabisi sesama saudara merupakan hal yang diperbolehkan, meski ajaran leluhur sepenuhnya melarang. Rumo, Karumis, dan Vigro—dengan pasukan pendukungnya masing-masing—menabuh genderang perang satu sama lain. Mereka bertiga laksana singa; hendak menunjukkan siapa yang lebih pantas menjelma raja diraja bagi belantara singgasana.
***
Di selembar pagi yang agak muram, seorang renta menggelesot di beranda rumah. Pandangannya tajam menghunjam ke angkasa. Jemarinya menggelatuk riuh di atas tanah. Dari gerak-geriknya, tampaklah ia tengah memikirkan sesuatu. Ialah Honcu, lelaki berhidung bengkok yang mengkhawatirkan nasib rakyat Bulma.  
Usai menimbang pikiran, Honcu bermaksud mengumpulkan beberapa orang. Sesepuh yang pernah menjadi penasihat raja ketika pemerintahannya sedang gilang-gemilang itu layak mengambil tindakan. Situasi kian menjepit. Kalau tak lekas ditangani, tentu akan membuat tanah kelahirannya luluh lantak. Bukanlah Honcu, jika ia membiarkan perseteruan antara ketiga putra raja itu berlarat-larat. Naga-naganya, moncongnya bosan menegur mereka untuk berdamai. Usahanya nihil. Tiga pangeran bersaudara itu menolaknya mentah-mentah. Bahkan, jika masih berbulat nekat melontarkan nasihat, ia terancam hukum pancung.
Seraya mengendap-endap, bertembunglah orang-orang kepercayaannya di Hutan Remu. Honcu menyambut kedatangan mereka dan segera mengutarakan apa yang sudah lama dikubur dalam-dalam.
“Kawanku sekalian. Akhir-akhir ini, aku bersua dengan raja dalam mimpi. Keningnya yang bergelombang dengan netra yang berkaca-kaca menunjukkan bahwa ia sangat sedih. Baru kali itu aku melihatnya begitu tersiksa dengan kesedihan. Saking sedihnya, ketika aku melontarkan pertanyaan, tak sepatah katapun mengalir dari lidahnya.”
Honcu menghirup nafas dalam-dalam. Serejang kemudian, ia melanjutkan, “barangkali kesedihan raja melebihi kesedihan yang kurasakan.”
Orang-orang yang berdiri di depannya mematung, menyimak setiap bulir kata yang berhembus dari katup mulutnya.
“Aku merasa berdosa. Amat berdosa.” Sekonyong-konyong pipi Honcu basah tertusuk air mata.
“Juga kami, Honcu.” Salah seorang dari mereka—entah siapa—menyambung.
“Tentu kalian paham dengan maksud pertemuan ini.”
“Ya. Paham sekali malah.” Jawab mereka serentak.
Empat hari empat malam, orang-orang jangkung besar itu membicarakan rencana yang paling tepat guna membungkam keadaan. Sayangnya, menentukan keputusan bersama bukanlah urusan sepele. Betapa kata sepakat memang sukar didapat. Ya. Dalam otak mereka teronggok rencana-rencana yang berbeda disertai alasan yang sama-sama kuat.
Pada hari terakhir, Honcu mengangkat suara. Saat usulnya diulurkan, orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut mengangguk diam, tanda mereka setuju.
***
Usai menggelar rembuk bersama, pada khatamnya, orang-orang itu terpaksa mengikuti masukan Honcu. Ini memang keputusan pahit yang harus diketam: berlayar menuju Pulau Kematian.
Berbekal peta dari Juyi, berangkatlah sebelas orang dalam rangka menemukan tempat di mana ditampung arwah-arwah manusia. Ya. Mereka akan menjemput arwah raja, membagul pulang, lantas memasukkan ke jasad raja yang diawetkan dalam piramida. Dengan begitu, Bulma akan diperintah sang raja seperti sedia kala.
Entahlah! Akankah mereka mengunyah keberhasilan, ataukah justru tersesat di tempat yang belum suah mereka injak. Dalam riwayat manusia, rasanya, baru itu kali ada ekspedisi ke Pulau Kematian. Pulau yang selama ini dicerna dari cerita nenek moyang. Pulau yang sama sekali enggan terbersit dalam bayangan, namun sangat diyakini keberadaannya.
Sungguh, tiada pernah tersembul dalam benak orang-orang sebelumnya untuk bertandang ke sana. Maklumlah. Bagi sebagian besar orang, berziarah ke Pulau Kematian merupakan sebuah kebodohan. Kebodohan? Benar. Berkunjung ke loka mengerikan tersebut sama saja dengan menjemput kematian itu sendiri.
Di hari-hari pertama, perahu yang mereka tunggangi meluncur tenang. Meski berusia tua, nyatanya perahu tersebut jauh dari mengecewakan. Harapan kokoh menjulang di hati beberapa manusia yang berada di dalamnya. Sepuluh orang sebagai awak. Dan, satu orang—siapa lagi kalau bukan Honcu—bertindak selaku nahkoda. 
Setiba di Samudra Harmes, mereka tercengang. Apa yang didengar dari kakek-nenek mereka semenjak balita betul adanya: lautan kuning keemasan dengan ombak yang indah dan tiupan angin yang teduh. Mencerap itu semua, Zahel kurang terima. Ia ingin membuktikan satu lagi ciri yang sempat dibocorkan ayahnya sebelum tiada.
“Manis. Airnya manis! Ini memang samudra yang ada di dongeng itu.”
Lelaki itu… lelaki dengan alis kepak camar itu memekik riang, setelah meneguk air hasil gayuhannya dengan batok kelapa yang ia kaitkan dengan sebatang kayu. Anehnya, di tengah samudra sarat keelokan tersebut terdapat daratan sempit yang menampung ribuan tengkorak, membuat dada mereka berdesir dan penasaran. Adakah tumpukan mayat itu orang-orang yang berburu harta karun namun kehabisan bekal? Ataukah warga setempat yang dibantai oleh komplotan perompak? Ataukah serupa dengan mereka yang ingin pergi ke Pulau Kematian? Serta masih banyak lagi atau-atau yang lain.
Hingga hari keduapuluh tujuh mereka mampu bertahan hidup, dengan keadaan cukup memprihatinkan. Bukan sekadar lapar yang merajalela, melainkan juga kepiluan yang kian hari kian menganga. Entah sampai kapan mereka terus berlayar. Adapun peta pemberian Juyi, sebagai modal utama, buru-buru kabur bersama angin puting beliung yang menyerang mereka suatu malam. Untung saja, perahu sederhana yang mereka anggap rumah sementara itu tak terpelanting, meski beberapa bagian rusak berat.
Di hari keduapuluh delapan, kesulitan menumpuk. Bukan cuma makanan. Untuk minum saja, mereka kesusahan. Pelayaran yang diperkirakan menelan waktu paling lama dua minggu tersebut mau tidak mau memicu mereka berhemat, walaupun pada akhirnya mereka tetap saja kekeringan bekal. Hal ini diperparah dengan samudra yang sedang mereka lalui menghidangkan air amis, menyebabkan semua orang yang meminumnya muntah—sekebal apa pun orang itu. Bagaimanapun, penyesalan meruap di kemudian hari. Andai saja, sekali lagi andai saja dapat balik ke Samudra Harmes, niscaya mereka akan menjadikan airnya sebagai cadangan minuman. Sungguh, dugaan mereka bertutur, bahwa beberapa samudra yang bakal dilalui mengantongi ciri yang mirip dengan samudra indah tersebut. Celakanya, realita berkata sebaliknya.
Terang saja, harapan menemukan Pulau Kematian menciut. Daya semangat lumpuh. Keraguan mereka membuntang kala memergoki Brosut meregang nyawa, usai melawan luka hebat sebab tertimpa tiang perahu yang roboh diterjang badai. Dalam kondisi demikian, beberapa awak mulai memperlihatkan kegeraman. Di antara mereka yaitu Pirmol. Dengan geraham mengencang, ia membuka pembicaraan.
“Akan kau bawa ke mana kami, hai orang tua?”
“Sabarlah, Saudara! Sebentar lagi kita akan sampai.”
“Di manakah Pulau Kematian itu?”
“Percayalah! Kita akan lekas sampai di sana.”
“Sampai, sesudah kami semua mati satu per satu?”
Honcu terdiam. Kurang bijaksana, jika orang yang terlilit amarah dihadapi juga dengan kemarahan.
Di hari ke sekian, benarlah apa yang dikatakan lelaki berdada bidang itu. Dari kesebelas orang, dua yang tersisa: Pirmol dan Honcu. Mereka berdua lebih laik bertahan hidup ketimbang lainnya. Ketahanan fisik Pirmol memang tiada duanya. Tak ayal, kerap ia diminta menjadi pengawal ketika para pejabat istana hendak bepergian jauh. Adapun Honcu, keteguhan hati dan kepercayaan dirilah yang menerapnya sanggup bersikukuh.
Malam semakin tua. Hujan merangkak. Petir memancangkan tombaknya. Tubuh Pirmol menggigil. Butuh sebutir keajaiban untuk menghindarkannya dari maut. Di saat-saat terakhirnya, ia berpesan kepada Honcu.
“Jika Pulau Kematian itu berhasil kau temukan. Tolong sampaikan salam hormat kami kepada raja.”
Dengan gugurnya Pirmol, genaplah sepuluh orang menjemput ajal, sebelum dapat bertatap muka dengan raja di Pulau Kematian.
Layaknya serigala, Honcu meraung sekeras-kerasnya. Ingin sekali ia memberontak, tapi kepada siapa. Tanpa disadari, bibir perahu menyentuh daratan. Ia bergegas melemparkan sauh. Semangatnya pulih seketika. Dan, sebongkah kebahagiaan bertunas di pundaknya.
“Inilah Pulau Kematian!”
Honcu melihat banyak arwah berkeliaran. Namun, tak satu arwah pun dikenal. Jikalau mengetahui identitas salah satu dari mereka, pastilah ia bersoal tentang pengalaman bermukim di pulau berbau darah tersebut.
Honcu berlari ke sana kemari; berteriak, memanggil-manggil nama raja. Akan tetapi, tiada yang menyahut. Adapun para arwah malah berkerumun, memandanginya keheranan.
Seharian Honcu melacak di mana arwah raja bersarang. Sayang sekali, tak ia pungut tanda-tanda keberadaannya. Kelelahan, ia pun bersandar pada pohon besar berdaun di tanah serta akarnya menggantung di udara. Ketika itulah, ia melihat sesosok menyerupai dirinya tergeletak di perahunya.
Honcu mengguncang-guncangkan kepala, seakan ingin mengatakan bahwa manusia yang berada di perahu itulah dirinya yang sebenarnya. Ia baru ingat, bahwa ketika Pirmol menghirup nafas penutup, sepemakan sirih kemudian ia juga menyusul, angslup ke alam keabadian.
Dalam kegalauan yang membabibuta, ia dikagetkan dengan derap langkah dari arah belakang. Arwah berwajah tampan mendekat, memeluk Honcu begitu hangat.
“Tabik bagi Baginda.” Sambil sesenggukan, Honcu mengecup kaki raja.
“Bangunlah!”
“Seribu maaf, Baginda. Hamba terlanjur mati, sebelum membawa arwah Baginda kembali.”
Raja tersenyum. Sedang pertempuran ketiga pangeran di Bulma masih terus berlangsung.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar