Kamis, 07 Februari 2013

Kaligrafi Kematian (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Cahaya Nabawiy" edisi Februari 2013)


Aku menelan ludah. Glek. Berulang kali tenggorokan menampung cairan pahit dan kecut itu karena seharian lidah tak terjamah kopi, es teh, atau minuman lain yang biasanya kutenggak di tengah perjalanan. Berkeliling ke beberapa kampung rupanya tak menyulap dompetku berseri-seri, enggan membuat kantongku terisi. Lambung yang kerap menerima limpahan makanan dari orang-orang yang menaruh kasihan, hari ini mengalami kekeringan dan hampir saja gersang.
Punggungku sudah melengkung. Tulang-belulangku genap berteriak, kelelahan. Aaaarggh!
Entah. Sekali lagi entah. Apakah wajahku berubah menyeramkan, hingga orang-orang begitu takut berpapasan denganku. Bahkan, beberapa di antara mereka terbirit-birit, lintang pukang, ketika memergoki jidatku yang lebar, meski dari kejauhan. Sampai-sampai, untuk menjangkau tempat dengan jarak yang tak begitu jauh, ada yang nekat berputar, mencari jalan alternatif yang sesungguhnya malah lebih banyak menghabiskan langkah. Pokoknya, berbagai upaya dilakukan guna menghindari sosok kurus jangkung dengan jenggot yang lecek; aku.
Salah, bila seseorang—lelaki atau perempuan—menyebutku genderuwo. Bukan, bukan! Aku ini penebar ketakutan. Aih, kuralat. Sebetulnya aku hanyalah seorang penjual. Tepatnya, penjual kaligrafi.
Penjual kaligrafi?
Benar. Jangkap tujuh tahun aku menawarkan tulisan arab bermacam bentuk dan variasi, berbahan kaca dan cat warna-warni dengan pigura yang ukirannya lebih bagus dan wah ketimbang garapan orang Jepara sekalipun. Ke tiap rumah, aku menyodorkan kaligrafi buah tanganku sendiri dengan bibir tersungging, agar tuan rumah mau berbasa-basi dengan sekadar melihat-lihat, atau meraba-raba, atau mencocokkan harganya. Maksudku, mencocokkan harga dengan kebutuhannya yang suka mengasapi bibir dengan cerutu termahal, juga istrinya yang rajin bersolek memakai kosmetik impor, juga anak-anaknya yang mulai masuk perguruan tinggi dan minta uang jajan lebih. Syukur-syukur, kalau berkenan membeli. Lebih syukur lagi, jika membeli tanpa melalui proses tawar-menawar. Itu artinya, aku bisa mengantongi untung lumayan, tanpa sibuk mengobral ludah; bersusah-payah menjelaskan berapa rupiah yang wajib kurogoh demi melahirkan satu karya.
Dibanding dengan yang lain, aku tergolong penjual kaligrafi yang tahan banting. Ah, aku malas mengada-ada. Jika kurang percaya, tanya saja Ridlo atau Hadi atau Hakim atau Muayat atau Fadli atau Muhtadun atau Qomaruddin, yang dulu bersama-sama denganku rutin menjinjing delapan hingga sembilan kaligrafi dalam sehari untuk ditukar uang. Mereka sepertiku juga; membuat kaligrafi lalu menjemput sendiri para pembeli dengan mengedarkan “barang jualan” ke berbagai tempat. Bila boleh memberitahu, kami adalah jebolan salah satu pesantren salaf di kota mungil di Jawa Timur yang mengajarkan kaligrafi kepada para santri. Maklum, karena tak punya keterampilan lain, kami memanfaatkan bekal tersebut guna menyambung hidup.
Sebentar, sebentar. Untuk lelaki terakhir, siapa tadi? O, ya, Qomaruddin. Maaf, maaf! Kau mesti pergi ke kuburan di pinggir sawah Mas Kariman yang terkenal angker, kalau bernafsu membuktikan seberapa akurat ocehanku ini. Benar. Kau harus menggoyang-goyang nisan berpahatkan huruf qof, mim, ra’, alif, lam, dal, ya’, dan nun seraya bertanya dustakah kalimat yang telah kuracaukan. Karena, kau tahu? Pemuda yang seminggu lagi melangsungkan pernikahan dengan anak Pak Lurah itu menghembuskan nafas pungkasan, tepat ketika menenteng kaligrafi di kolong pohon nangka, di suatu malam celaka. Malam yang mengantarnya lekas minggat dari dunia, lantaran penyakit bengek yang terlampau akut.
Selain Qomaruddin, teman-teman lain memilih mundur dari profesi yang kuanggap mulia ini dengan alasan serupa. Mereka bosan berlama-lama menggantungkan hidup dari hasil menjajakan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, karena pendapatan sebulan cuma cukup buat menebus sabun di toko Mbok Kinah. “Jaman sudah beda”. Itulah kata-kata terakhir yang sempat dihembuskan mulut Muayat kala berpamitan padaku untuk mengundi nasib ke Jakarta. Adapun Ridlo, Hadi, Hakim, Fadli dan Muhtadun, lebih percaya bahwa rizki mereka mengendap di lumpur dan tanah. Jadilah kelimanya menggeluti hidup dengan bertani dan bercocok tanam.
Tahun ini, tahun beraut muka sangat muram ini, memang berbeda jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Barangkali kau merasa heran, jika aku berkecek bahwa dulu karya kami cukup laku di pasaran. Orang-orang amat tertarik membeli kaligrafi, meski dengan harga di atas rata-rata. Tak jarang kaligrafi yang kami tawarkan, ludes sebelum senja mengenakan celananya. Bahkan, saking larisnya, banyak di antara konglomerat rela membayar di muka, walaupun kaligrafi belum ada. Mereka sengaja melakukannya agar ketika tersedia, “barang pesanan” langsung diantar ke rumah mereka.
Kaligrafi, bagi mereka, bukan cuma berfungsi menghias dinding, melainkan juga sebagai pengingat.
Tunggu! Pengingat?
Yap. Dengan merenungi tulisan yang tertera di kaligrafi, niscaya mereka mudah mengingat mati. O, ya, dari tadi belum kujelaskan bahwa dalam berkarya, kami menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kematian. Itulah mengapa, ketika seseorang membaca karya kami, di atas alisnya terbentang ratusan mendung hitam, hingga sepasang pipinya siap menadah hujan paling lebat yang turun melewati lubang netra yang berkilat-kilat. Seraya menggerung-gerung, bertanya-tanya kepada diri sendiri kapan ia menjemput ajal, kapan ia mengakhiri hidup yang penuh tipudaya dan fatamorgana, juga kapan-kapan lain yang kurang pantas rasanya jika disebutkan satu persatu. Usai melempar pertanyaan dengan berbagai kapan itu, timbullah penyesalan mendalam terhadap dosa-dosa yang terlanjur ditumpuk di atas punggung, lalu muncullah komitmen memperbaiki diri dengan memperbanyak kebajikan.  
Seperti halnya saat Mujiono, penulis besar dengan buku-buku best seller-nya, membaca kaligrafi bertuliskan surat Al-Baqarah ayat 243: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: ‘matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” Dengan memegangi kepala, ia tersungkur sambil menyebut nama Tuhan. Sepulang dari rumahku, sebagian besar harta kekayaannya disumbangkan ke masjid-masjid dan panti asuhan.
Atau Rohmah, janda kembang yang menjadi rebutan sebab ketenarannya selaku pedagang karpet yang sukses, waktu membaca kaligrafi surat Ali ‘Imran ayat 145: Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” Karena terlalu menghayati, ia akhirnya tak sadarkan diri hingga tiga hari tiga malam. Setelah siuman, ia memberangkatkan dua ratus guru SD al-Kautsar untuk umroh ke Mekkah.
Juga yang terjadi di rumah Muhtadun. Suatu siang, lelaki buta hurufaku lupa siapa namanya—memandangi karya bercorak kuning keemasan dipadu warna hijau lumut dengan gambar masjid di tengahnya. Karena tertarik, ia meminta Muhtadun untuk melafalkan tulisan yang sedang dipolototinya. Tak keberatan, penyuka tembang jawa kuno itu melisankan dengan lirih surat An-Nisa’ ayat 78: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh….” Sekonyong-konyong lelaki gondrong bertato kura-kura di lengannya tadi gemetar tangan-kakinya, bergemelatuk gigi-giginya, mengigil dada bidangnya. Seketika itu juga, ia berjanji untuk menghapus kebiasaannya memalak di stasiun dan terminal.
Perlu kau ketahui, kami sengaja memang menggoreskan ayat-ayat yang berhubungan dengan kematian. Menurut kami, selain berburu rizki, kaligrafi juga dapat digunakan sebagai sarana berdakwah. Inilah yang mengakibatkan kami gemar sekali menuliskan surat Al-Baqarah ayat 94, An-Nahl ayat 70, Al-Anbiya’ ayat 35, Al-Mukminun ayat 23, Al-Qashash ayat 28, Al-Ankabut ayat 57, Al-Ahzab ayat 16, Az-Zumar ayat 30, Qaaf ayat 19, Ar-Rahman ayat 26, Al-Jumu’ah ayat 8, ‘Abasa ayat 21, dan At-Takatsur ayat 2. Anehnya, banyak orang yang justru membeli karya kami lantaran ingin mengingat mati. Mereka mengaku, bahwa dengan memajang kaligrafi kematian di rumah, perusahaan, atau kantor, tebersit kesadaran bahwa kelak mereka akan menuju kuburan; mereka akan meninggalkan segala kemewahan dan kenikmatan yang bersifat fana lagi sementara. Dan, mustahil mereka berwasiat agar emas, perak serta permata dimakamkan bersama tengkorak mereka.
Sayangnya, “jaman sudah beda”. Mungkin benar perkataan Muayat. Kini, orang-orang tidak lagi menaruh hati pada kaligrafi. Parahnya lagi, orang-orang mulai membenci tulisan arab yang mengabarkan kematian. Apa pasal? Dengan membeli kaligrafi kematian, barang tentu hal itu membuat karyawan malas bekerja, presiden takut berbuat semena-mena, pejabat berhenti melakukan korupsi, anggota dewan malu membelanjakan uang rakyat untuk berfoya-foya, hakim sungkan meloloskan para tersangka, menantu keder mengelabui mertua, sebab mereka semua bisa terus-terusan dihantui kematian.
Ah, sore merangkak senja. Sepemakan sirih lagi azan maghrib berkoar di mana-mana. Walau kaligrafi yang kupanggul tak terlego satu pun, baiknya aku bersiap-siap melangkah ke masjid terdekat.
Selepas menunaikan shalat berjama’ah, dengan khusyu’ aku akan memohon kepada Tuhan, agar batang umurku diperpanjang, ragaku selalu dianugerahi kesehatan, rizkiku senantiasa dilapangkan. Dan, ketika sudah benar-benar jutawan, aku bakal membangun toko terbesar dan termegah di kota ini. Toko yang menyediakan berbagai ragam kaligrafi indah. Kaligrafi yang bukan mengabarkan tentang kematian, agar aku leluasa memelihara kebahagiaan di dunia, tanpa direcoki pertanyaan berapa puluh tahun lagi Izra’il datang mencungkil ruhku dengan paksa.

Yogyakarta, 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar