Senin, 24 Agustus 2015

Presiden yang Pengertian (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Senin, 24 Agustus 2015)

Kepada DPR, Presiden Jokowi menyodorkan 786 Pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk disetujui menjadi KUHP. Dari ratusan pasal tersebut, terselip pasal mengenai penghinaan Presiden, yaitu Pasal 263 ayat 1 dan Pasal 264 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama lima tahun atau dikenai denda.
Mengutip pendapat Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (2015), pasal penghinaan Presiden merupakan warisan feodalisme yang menganggap pemimpin negara sebagai simbol negara. Padahal, ketika mendapat penghinaan, Presiden bisa melapor ke aparat kepolisian sebagai individu, bukan sebagai institusi.
Jimly juga mengatakan bahwa pembatalan pasal tersebut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 mendapat pujian. Dalam special report, Dewan HAM PBB menilai Indonesia lebih maju dibanding sejumlah negara lain, termasuk negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda.
Di mayoritas negara Dunia Ketiga, dimana kehidupan ekonominya bercorak agrikultur, budaya feodal mendapat tempat. Fenomena ini turut menumbuhkan jamur-jamur kolonialisme. Kekuatan kolonialisme telah memperalat para penganut feodalisme untuk memuluskan praktek penjajahan.
Aldino (2014) mensinyalir para elit priyayi dimanfaatkan sebagai piranti kekuasaan untuk melakukan penindasan kepada mereka yang lemah. Ketimpangan sosial muncul dari serangan kekuatan kolonialisme dan feodalisme, sehingga membagi masyarakat dalam beberapa kluster atas kepemilikan modal.

Bayang-bayang Feodalisme
Hal di atas bertolak belakang dengan sistem demokrasi modern yang menegasikan kultur feodalistik-konservatif. Hubungan-hubungan paternalistik yang feodal dalam masyarakat mendapat gugatan. Dalam corak kehidupan demokratis, nilai dan prinsip feodalisme yang sudah berusia ribuan tahun dianggap kurang rasional, sehingga hak-hak istimewa kaum feodal, termasuk Presiden, harus dikritik.
Elit-elit kolonial bersama kaum feodal dibekali hak istimewa dalam kehidupan sosial. Adapun masyarakat biasa hanya dapat menikmati akses yang sangat terbatas. Sistem sosial semacam ini menjadikan masyarakat Indonesia memiliki ‘mentalitas inlander’ yang pasrah terhadap keadaan dan ‘mentalitas amtenar’ yang gila kehormatan dan mengagungkan kredo ‘asal bapak senang’.
Kedua mentalitas ini merumuskan bahwa kepatuhan merupakan tolok ukur moralitas. Hegemonisasi kuasa dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dapat melahirkan segala bentuk ketidakadilan berupa fanatisme dan kesetiaan membabibuta.
Atas dasar inilah, pasal penghinaan Presiden harus dihapus. Presiden merupakan institusi yang ritus kehidupannya tidak lepas dari bayang-bayang feodalisme. Dipertahankannya nilai dan prinsip feodalisme dalam regulasi pemerintah berimplikasi serius terhadap ruang sosial masyarakat di mana keluhuran dan keadiluhungan menjadi acuan utama. Sistem yang diproduksi oleh nilai-nilai kehormatan dan kewibawaan telah memantapkan “garis darah biru” sebagai trah kekuasaan.
Logika feodal telah berhasil mengidentifikasi bahwa kemuliaan dan citra kebesaran seseorang diperoleh melalui “kasta tinggi” yang menutup rapat-rapat kesempatan bagi masyarakat kecil. Logika ini cenderung driskiminatif dan rasialis, sebab dibebani watak kolonial yang eksploitatif. Akses kesejahteraan dan kemakmuran lebih berpihak pada orang-orang yang dekat dengan Presiden dibanding mereka yang jauh dari kursi kekuasaan.

Pemimpin Berkualitas Pengertian
Beberapa pakar berpandangan bahwa kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Pemimpin muncul dari kemampuan dan keterampilannya memecahkan beragam permasalahan, meski dalam keadaan tertekan.
Dalam “The 21 Indispensable Qualities of a Leader” disebutkan bahwa pemimpin besar mempunyai 21 kualitas (Maxwell, 2000). Di antara ke-21 kualitas itu adalah pengertian. Ia merupakan kemampuan seorang pemimpin menemukan akar persoalan berdasarkan intuisi serta nalar. Pengertian merupakan kualitas paling urgen bagi pemimpin manapun yang ingin memaksimalkan tugas dan tanggung jawabnya. Pengertian akan membantu mengerjakan hal-hal penting, yaitu:
Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin besar harus bisa mengatasi kekacauan serta kerumitan yang luar biasa setiap harinya. Seorang presiden tak akan mampu mengumpulkan informasi yang cukup untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari segalanya. Sehingga ia harus mengandalkan pengertian yang memungkinkan seorang presiden melihat sebagian persoalan, melengkapinya secara intuitif, dan menemukan inti persoalannya.
Mengetahui akar permasalahan merupakan kunci sukses seorang pemimpin. Ketika seorang presiden bisa menggabungkan antara intuisi dan nalarnya, maka bisa dipastikan ia akan menemukan akar persoalan dengan tepat. Dengan demikian, persoalan bangsa akan segera teratasi.
Kedua, meningkatkan kemampuan mengatasi persoalan. Presiden ibarat seorang dokter yang mampu mendeteksi penyakit bangsa sekaligus mengatasinya. Ia harus bisa mengobati penyakit tersebut semaksimal mungkin. Kondisi dan keadaan yang sering berubah menuntut seorang pemimpin mencari berbagai alternatif dalam memecahkan persoalan yang lebih kompleks.
Ketiga, mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada demi hasil maksimal. Seorang presiden yang bisa mendeteksi penyakit bangsa dan mengobatinya masih berkewajiban melihat perkembangan bangsa. Dengan demikian, ia harus mampu menilai apakah yang ia lakukan telah menambah daya vitalitas bangsa, atau masih terbelenggu dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi kinerja sangat penting, agar kesehatan dan stamina bangsa tetap senantiasa terjaga.
Maka, ketimbang terjebak pada modus penyalahgunaan institusi dan terjebak pada kultur feodalistik-konservatif, seorang Presiden lebih bijak jika menanggapi serangan pribadi sebagai “alarm” introspeksi diri demi mengembangkan kualitas pengertian.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar