Selasa, 04 Agustus 2015

Absolutisme Judi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Selasa, 4 Agustus 2015)

Akhir-akhir ini, kasus-kasus perjudian, seperti judi online, toto gelap (togel), judi bola, remi, dan sabung ayam, mengalami peningkatan cukup signifikan. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah kasus perjudian pada 2013 menyentuh 580 kasus sedangkan pada 2014 naik menjadi 1.100 kasus atau sebesar 89,65 persen.
Menyikapi keadaan, aparat kepolisian ‘blusukan’ mengobrak judi dan menangkap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Akibat ulah mereka, para penjudi harus merasakan pengapnya udara bui.
Fenomena ini menyentil telinga batin kita yang acap kali abai terhadap problematika sosial. Kita, yang terlanjur mengidap penyakit egosentrisme tahap akut, menganggap remeh dengan mengatakan bahwa maraknya perjudian di negeri ini disebabkan rendahnya moralitas masyarakat. Padahal, dari kasus-kasus perjudian, bisa diambil hipotesa bahwa ketimpangan sosial yang melanda masyarakat menjadi motif mengapa orang berjudi.
Perjuangan hidup yang begitu keras membuat orang-orang kecil berpikir mengambil jalan pintas dengan mempertaruhkan uang di meja judi. Hal ini tentu saja berbeda dengan orang kaya dimana berjudi sebagai bagian dari gaya hidup, atau orang Tionghoa yang menggelar fantan, sik-po, pai-kao, dan mahyong demi berburu kesenangan dan kegiatan bersama keluarga (Dawis, 2010).
Judi adalah permainan di mana hasilnya ditentukan oleh kebetulan. Unsur spekulatif inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa judi digandrungi oleh sebagian orang. Ketidakpastian judi menyebabkan orang untuk selalu mencoba. Ada harap-harap cemas yang selalu menyertai saat berjudi. Ada semacam garansi bahwa suatu saat seorang penjudi mampu mewujudkan mimpi yang tak terbeli.
Anehnya, kenisbian judi menjadi kepastian bagi si penjudi. Di sinilah tercipta oposisi biner antara relativitas judi dan keyakinan penjudi yang absolut. Sehingga, meskipun tidak menjamin kepastian, penjudi yakin bahwa judi menjanjikan harapan tentang keberuntungan yang suatu saat akan diketam.
Bagi orang yang hidupnya dilingkupi kabut pesimisme, judi merupakan alternatif paling logis. Judi menjadi jawaban bagi orang-orang bernasib buruk. Judi merepresentasikan ikhtiar bagi mereka yang bergulat dengan permasalahan klise: ekonomi. Dengan berjudi, target yang ingin digapai yaitu peningkatan taraf hidup. Dalam konteks inilah judi memainkan arti penting usaha seseorang dalam meningkatkan status sosialnya. Dengan demikian, seorang penjudi selalu merasa benar, sebab memanggul cita-cita mulia. Barang tentu hal ini bertolak belakang dengan pandangan Sigmund Freud, di mana penjudi adalah masokhis yang diliputi rasa bersalah dan ingin menghukum dirinya.
Meskipun bagi sebagian orang, fenomena perjudian merupakan fatalisme (hampa norma) dan nihilisme (ketiadaan makna), tetapi bagi penjudi, berjudi adalah kegiatan mulia. Apalagi, judi pernah mendapat pengakuan dari pemerintah. Mengutip buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi (2009: 176), bahwa dulu marak perjudian Hwa Hwe. Ketentuan dalam judi ini yaitu pembeli kupon bernomor yang sesuai dengan nomor yang diumumkan berhak atas sejumlah uang. Pajak judi seperti ini menjadi salah satu sumber dana pembangunan DKI Jakarta.
Saat ini, penjudi semakin bersemangat lantaran banyak aparat kepolisian ikut terlibat, bahkan asyik masyuk, di meja judi. Sehingga, seseorang yang terjerumus dalam komunitas perjudian akan merasa betah. Motivasinya meningkat dan uang taruhan pun berlipat. Keikutsertaan polisi dalam berjudi mengukuhkan legalitas bagi bandar judi untuk menggelar aktivitas perjudian.
Penjudi menemukan pembenaran ketika mendapati banyak anggota legislatif rela menggadaikan harga diri demi syahwat politik. Undang-undang yang seharusnya mencerminkan kepentingan rakyat justru diselewengkan sesuai pesanan pemodal dan partai politik. Sudah tak terhitung berapa anggota DPR yang merasakan pengapnya udara bui karena terlibat kasus korupsi. Asalkan menerima uang, mereka tidak peduli walaupun martabat harus dikorbankan. Sikap hedonistis telah menjadikan makhluk ‘pemuja kursi’ tersebut nekat berjudi: mempertaruhkan kehormatan Ibu Pertiwi.
Ditambah lagi dengan menjamurnya aksi selebratikal para artis yang mengumbar kemewahan. Demi popularitas belaka, mereka rela merogoh miliaran rupiah untuk operasi plastik, mobil mewah, bahkan asuransi kecantikan. Pertaruhan gengsi merupakan hal lumrah bagi siapa saja yang ingin langgeng di jagat keartisan. Egoisme yang dipupuk telah melupakan bahwa di balik keglamoran ada penderitaan: korban longsor di Banjarnegara, korban kezaliman Lapindo di Sidoarjo, serta korban miras oplosan di Garut. Perjudian harga diri dan gengsi sudah menjadi keniscayaan bagi anggota legislatif dan artis.
Dalam hal taruhan, antara anggota legislatif, artis, dan penjudi terdapat persamaan. Hanya saja, penjudi cenderung dianggap kalah oleh keadaan. Sekalipun seseorang menang di meja judi, sebenarnya ia tetap kalah dalam realitas kehidupan. Ia tidak sanggup memenangkan persaingan yang berlangsung, baik sosial maupun finansial. Karena itulah, saat menang togel, misalnya, seseorang berusaha menghibur diri. Di hadapan kolega judi, ia bisa mendongak ke atas, meski di tengah masyarakat ia terbiasa menundukkan kepala serendah-rendahnya. 

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar