Selasa, 25 Agustus 2015

Resolusi Konflik Desa Adat (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 25 Agustus 2015)

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendiskusikan beragam konflik untuk menemukan solusi atas problematika adat. Ini dilakukan dalam Festival Nusantara bertajuk "Merayakan Peradaban Matahari". Mereka bersepakat menjadikan adat Bali sebagai salah satu referensi.
Komunitas adat di Bali dianggap sebagai simbol toleransi dan kerukunan. Keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan di Bali tidak terlepas dari penghormatan masyarakat terhadap norma adat. Berlandaskan pada ajaran Tri Hita Karana, awig-awig menjadi pedoman warga Pulau Dewata sebagai implementasi teologi dalam relasi sosial. Demi mendatangkan kebahagiaan, masyarakat dianjurkan menjaga keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungan.
Dalam awig-awig dijelaskan adanya sanksi bagi mereka yang melanggar. Bagi warga Bali, Tri Dana merupakan konsep tiga sanksi bagi pelanggar. Mereka merasa malu karena menyalahi aturan. Hukuman lain dendan uang dan harus menyucikan diri dalam upacara ritual. Sanksi-sanksi diterapkan sesuai dengan dosa dan kesalahan.
Anom B Prasetyo (2012) menyatakan, realisasi awig-awig merupakan alternatif kebuntuan hukum positif. Kegagalan negara membangun kesejahteraan dan keamanan direspons positif oleh masyarakat dengan mensubtitusikannya dalam hukum adat.
Masyarakat Bali minim konflik karena kuatnya komitmen komunitas adat memegang teguh Pararam, sebuah aturan yang lahir atas kesepakatan masyarakat desa adat. Ini disusun dalam kondisi dan waktu tertentu guna merespon persoalan yang dihadapi. Kesepakatan tersebut dinilai mampu menjawab perkembangan zaman.

Urgensi Desa Adat
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui eksistensi desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang menggabungkan unsur-unsur genealogis dan teritorial. Sepanjang sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara.
Sebagai street level bureaucracy, desa adat dibekali hak asal-usul dan hak tradisional dalam mengatur kepentingan masyarakat dan wilayahnya. Hak adat yang selama ini dirampas mulai mendapat ruang. Maka, masyarakat hukum adat dapat memanfaatkannya sebagai modal pembangunan desa adat dan kawasan perdesaan.
Berbekal hak adat, desa adat dapat mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan memperkuat ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global. Dengan pengelolaan berbasis budaya lokal, desa adat bisa meningkatkan intensitas interaksi masyarakat dalam ikatan sosial yang harmonis.
Sayang, desa adat kerap diwarnai beragam konflik, seperti menjamurnya industri yang memangkas tanah penduduk, kaburnya batas wilayah antar desa, pemanfaatan lembaga musyawarah adat untuk kepentingan pribadi, klaim kepemilikan lahan oleh pihak swasta dan pemerintah. Kemudian rebutan dana desa, kapitalisasi warisan leluhur, involusi sumber-sumber ekonomi, kriminalisasi atas nama hukum, serta pelanggaran norma adat.
Maraknya konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, karena sebagai akumulasi peristiwa yang berlangsung sebelumnya. Mulai dari kurang seriusnya pemerintah daerah memfasilitasi program penguatan kapasitas lokal dalam kerangka tata kelola pemerintahan hingga klaim kebenaran masyarakat adat yang akhir-akhir ini semakin menguat. Boleh dibilang, beragam konflik di perdesaan seringkali disulut hal-hal sepele.
Selama ini, pemerintah daerah sebagai supra-desa, yang mestinya melindungi justru lebih berpihak pada penguasa dan pemodal. Kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif dan berdasar kepentingan sektoral, kelompok, agama, adat atau suku rentan memicu konflik horizontal. Pemerintah daerah juga cenderung melihat segala sesuatu dalam optik legal, tanpa memperhatikan aspek sosial. Padahal, di desa-desa adat, ikatan dan pergaulan masyarakat kerap berlandaskan kesadaran sosial. Hubungan emosionalitas terbangun dari rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
Klaim kebenaran muncul dari usaha setiap komunitas adat memperjuangkan hasrat dan kehendaknya. Desa adat menjadi kumpulan aneka suku di mana mereka mengklaim sebagai paling benar. Klaim ini diyakini sebagai kebenaran tunggal. Sayangnya, klaim yang merujuk pada mitos tersebut bersifat parsial. Di satu sisi, merupakan kebanggaan karena berkisah tentang keperkasaan diri. Namun di sisi lain, ia menjadi pemantik lahirnya disharmoni dan ketegangan sosial.
Jika konflik-konflik ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan kearifan lokal, keunikan, serta keragaman pada desa adat bukan menjadi “madu pembangunan”, melainkan “racun” yang dapat menghabisi nyawa perubahan. Kebinekaan yang semestinya menjadi kekayaan justru menjadi bahaya laten. Dampaknya, berbagai bentuk kekerasan lahir dalam dinamika konflik.
Konflik dan integrasi merupakan siklus dalam kehidupan bermasyarakat, tak terkecuali di desa adat. Konflik yang terkontrol dengan baik dapat menimbulkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang kurang sempurna rentan menghasilkan konflik. Konsep inilah yang harus dipahami dalam meredam letusan intensitas konflik masyarakat hukum adat.
Upaya integrasi sosial perlu guna menyelesaikan berbagai perselisihan secara damai. Untuk merealisasikannya, desa adat yang merupakan basis terkecil dan ”ujung tombak” otonomi mesti dibekali dengan kepiawaian meresolusi konflik. Masyarakat hukum adat diajak untuk mendeteksi konflik dan merancang strategi agar konflik tersebut tidak melebar (Robert Bala, 2014).
Sebagai solusi pencegahan dan penyelesaian konflik, simbol-simbol masyarakat adat juga harus dihargai. Misalnya, pamabakng di Dayak Kanayatn untuk mengakui kesalahan. Ini merupakan simbol kedaulatan hukum adat. Pamabakng menolak perilaku yang bertentangan dengan prinsip dan ajaran nenek moyang.
Pembahasan RUU Kebudayaan harus mendapat kawalan ketat. Panitia kerja (panja) seyogyanya menjaring masukan dari semua pihak, terutama akademisi dan budayawan. Kelak, lahirnya UU Kebudayaan tidak lantas memasung kreatifitas, tapi memberi keleluasaan berekspresi, seperti komunitas adat, masyarakat tradisi, dan penghayat kepercayaan.
RUU Kebudayaan dinilai memiliki daya tawar dan isu strategis. Legalitas kebudayaan diperlukan guna memayungi aturan-aturan lain yang segaris dan senafas. Undang-undang menjadi induk perundang-undangan lain yang lebih praktis. Maka, UU Kebudayaan akan menjadi cantolan bagi UU Cagar Budaya, UU Perfilman, dan UU Pariwisata.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar