Senin, 03 Agustus 2015

Mengelola Ekonomi Kerakyatan (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 3 Agustus 2015)

Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menemukan gejala-gejala kemerosotan omzet dalam setahun terakhir. Menjamurnya toko modern mengakibatkan pasar tradisional kelimpungan bahkan gulung tikar (Koran Jakarta, 27/07). Padahal, di samping sarana kota dan fasilitas umum, pasar tradisional juga sangat karena merupakan salah satu mata rantai perekonomian rakyat tumpuan masyarakat kecil.
Pasar tradisional juga sebagai pranata sosial yang merawat kohesi dan harmoni sosial antar komunitas dan terbukti mampu menyangga dinamika sosio-kultural masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Di sinilah pasar tradisional berperan meredam konflik beragam kepentingan. Berlangsungnya peleburan masyarakat lintas kelas dan etnik bisa dilihat dalam mekanisme pasar tradisional.
Inilah yang menjadi pembeda dengan pasar modern sebagaimana rumusan Cyril S Belshaw. Faktor nonekonomi mempunyai peran penting dalam pasar tradisional. Sedangkan dalam pasar modern, ekonomi adalah satu-satunya faktor keberhasilan. Adanya harga yang sudah dipatok (fixed price) mengindikasikan hubungan aktor-aktor yang terlibat bersifat mekanis, bukan lagi humanis (Bre Redana, 2015).
Namun demikian, sebagai produk kebudayaan, pasar tradisional terdesak laju modernitas. Gempuran pasar retail modern sebagai alarm terbukanya keran liberalisasi ekonomi mengakibatkan tersingkirnya pasar tradisional. Perdagangan tanpa moralitas (commerce without morality) memunculkan egoisme pelaku-pelaku bisnis yang hanya menghamba uang dan keuntungan semata. Akibatnya, usaha kecil menengah (UKM) tergencet pedagang besar, preman, rentenir, serta jaringan pemasok produk berskala besar. Hal ini menjadi penanda lahirnya peradaban baru yang cenderung pragmatis-kapitalis.
Keberadaan pasar tradisional tidak mungkin dipisahkan dari PKL. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Dalam jagat urban, pasar tradisional bak oase di tengah keringnya peradaban manusia. Di samping barang-barang yang ditawarkan memiliki ciri khas tersendiri, interaksi sosial-budaya juga melandasi setiap relasi jual-beli.
Menyitir Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja (1977), pasar adalah pranata ekonomi sekaligus cara hidup yang memuat beberapa aspek sekaligus. Sebagai entitas dengan fungsi dan tanggung jawab kompleks, pasar tradisional tidak sekadar menopang fondasi ekonomi kerakyatan dengan mempertemukan penjual dan pembeli.
Dia menjadi “melting pot” serta lokus perjumpaan aneka warna budaya. Di dalamnya melebur beragam corak mata pencaharian, religi, serta sistem sosial kemasyarakatan. Sehingga dia mempunyai makna, identitas, dan sejarah. Pasar lebih berkarakter dan unik dibanding yang modern karena cenderung seragam.

Dilema
Hadirnya PKL di kota-kota besar selalu menampilkan sebuah dilema. Di satu sisi, mereka menawarkan komoditas dengan harga terjangkau. Bisa dibayangkan jika mereka tidak ada. Masyarakat harus mengeluarkan banyak uang untuk sekadar mengganjal perut. Biaya hidup di kota lebih tinggi, sehingga menghasilkan efek berantai yang menyentuh semua pemangku kepentingan (Imanuel More Ghale, 2014).
Di sisi lain, ketertiban dan kenyamanan publik terganggu. Keberadaan PKL identik dengan gejolak sosial dan kriminalitas. Tak heran, publik menaruh sinisme terhadap PKL karena dianggap sebagai biang keladi munculnya problematika perkotaan, seperti polusi suara, kemacetan lalu lintas, amburadulnya ruang publik, serta minimnya keindahan.
Sisi terakhir inilah yang menjadikan upaya penataan dan penertiban ruang kota di sejumlah daerah kerap diwarnai bentrok fisik antara PKL dan Satpol PP. Ruang kota terbukti tak berpihak pada PKL, sektor informal, dan kaum miskin kota. Mereka kerap digusur,  relokasi, hingga kriminalisasi. Dalam ruang kota, dominasi kelas pemodal begitu kentara. Kepentingan ekonomi kelas ini terjamin, sebab sejumlah kota besar di Indonesia lebih sibuk membangun mal daripada menata pasar tradisional.
Fenomena membludaknya PKL bisa dipahami dari konteks perencanaan tata kota yang belum mengalokasikan lebih banyak ruang bagi orang-orang dengan skill dan pendidikan kurang mumpuni. Bagi penganut konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, mengintegrasikan orang-orang yang tergolong unskilled worker, sebab miskin ekonomi dan kapabilitas, dalam sektor formal merupakan ikhtiar “pembusukan ruang publik”. Itulah mengapa, hingga hari ini, transformasi informalitas masyarakat urban belum berhasil diwujudkan.
Padahal, berkembangnya PKL dan sektor informal tidak terlepas dari peran pemerintah daerah yang bersedia menata, membina, dan mengintegrasikan sektor informal ke dalam kebijakan ruang kota yang visioner dan komprehensif. Bahkan, dengan komitmen yang kuat, PKL sebenarnya bisa ditampilkan sebagai identitas kota, potensi ekonomi, serta daya tarik wisatawan.
Pemberdayaan PKL merupakan upaya peningkatan akses rakyat atas pembangunan di perkotaan. Pemerintah daerah yang memberikan perhatian terhadap keberlangsungan PKL tidak hanya memupuk kepercayaan terhadap pemimpin dan birokrat, melainkan juga menumbuhkan kemampuan rakyat kecil sebagai warga. Dengan demikian, produktifitas masyarakat bisa berkembang.
Eksistensi pasar tradisional dan PKL sebagai aset perekonomian bangsa perlu didukung dan dipertahankan agar terhindar dari gejala-gejala eksklusivisme. Aktor-aktor yang bergerak di pasar tradisional tidak boleh menyalahkan perilaku konsumen yang memilih pasar retail modern dengan penampilan lebih bersih, pelayanan lebih prima, dan tempat yang lebih nyaman. Maka, demi menggait konsumen, daya tarik pasar tradisional perlu diperkuat.
Revitalisasi fisik pasar tradisional merupakan kebutuhan mendesak. Modus bertahan yang cenderung konvensional dan kurang responsif terhadap perkembangan zaman di antara faktor mengapa pasar tradisional semakin ditinggalkan. Yang perlu dicatat, revitalisasi harus disertai target dan prosedur yang benar. Mengingat, akhir-akhir ini, revitalisasi justru dijadikan modus ’bancakan’ proyek beberapa oknum. Meroketnya harga los baru membuat tak terjangkau pedagang kecil. Belum lagi pembakaran pasar yang dilakukan secara sengaja supaya para pedagang tradisional tergusur dan mal bisa didirikan tanpa halangan.
Lokasi dan waktu kegiatan pedagang kaki lima (PKL) juga perlu diatur sebagai bagian dari strategi penguatan ekonomi. Setiap pemerintah daerah menyusun data jumlah PKL dan peta sebaran mereka guna didistribusikan ke dalam pasar tradisional. Jika langkah ini berhasil, selain menjadi ruang publik di mana masyarakat berkumpul dan bertransaksi, pasar tradisional dapat menyediakan lapangan kerja yang besar. Kota yang ramah bersedia menampung dan menggali potensi PKL. Kekuatan dan partisipasi mereka selalu dibutuhkan dalam pengelolaan kota. Negara harus mampu mengelola perekonomian rakyat ini.

Bojonegoro, 2015

1 komentar:

  1. Jakarta, Aktual.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengucapkan selamat kepada Said Aqil Siradj yang kembali terpilih menjadi Ketum PBNU.

    Menurut JK, Selain memiliki pengalaman yang luas, Said Aqil dinilai sebagai sosok yang baik, sehingga dinilai pantas memimpin kembali PBNU.

    “Saya kira pak Said Aqil kan punya pengalaman, orang baik. Jadi ulama, NU kan kebangkitan ulama otomatis. Ulama, pantaslah sebagai ketuanya dipilih lagi,” kata JK, di Jakarta, Kamis (6/8).


    BACA SELENGKAPNYA DI :
    JK: Said Aqil Siradj Pantas Dipilih Kembali

    BalasHapus