Selasa, 08 November 2016

Muharram dan Tamsil Bulan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Koran Merapi” edisi Jumat, 4 November 2016)


Dalam kalender Hijriyah, Muharram merupakan bulan pertama. Khalifah Umar bin Khattab menetapkan Muharram sebagai permulaan tahun Hijriyah. Kalender Hijriyah digunakan oleh umat Islam, terutama dalam penentuan waktu ibadah dan hari-hari penting. Berbeda dengan kalender Masehi yang memanfaatkan peredaran matahari sebagai acuannya, kalender yang penyebutannya berdasarkan peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah tersebut menggunakan peredaran bulan.
Maka, seolah ada yang kurang jika kita membicarakan Muharram tanpa menyebut bulan. Itulah mengapa, dalam menggelar perayaan tahun baru Islam terdapat upaya memberikan legitimasi terhadap eksistensi bulan.

Sumber Sejarah
Sebelum muncul banyak sarana hiburan, nenek moyang kita gemar bercengkerama di halaman rumah. Di atas tikar, mereka mendongakkan kepala sambil memandangi bulan. Ikatan kekeluargaan, jalinan kekerabatan, dan interaksi sosial pada masa lampau dikukuhkan oleh cahaya bulan. Berjalannya kehidupan manusia “berutang budi” pada keindahan bulan. Harmonisme, toleransi, dan gotong-royong tercipta karena adanya bulan.
Bulan menyajikan suasana damai dan menyejukkan. Cahaya yang berpendar ke segala penjuru semesta memberikan kegembiraan dan ketenangan hati. Di samping menyimpan kehendak, harapan dan semangat manusia menghadapi hari esok, ia juga menghadirkan kehebatan, kebijaksanaan, serta kesempurnaan Tuhan.
Ketika kehidupan manusia masih dilingkupi mitos dan tahayul, hadirnya bulan merupakan pemandangan luar biasa. Ia menampilkan “hiburan purba” yang menyentuh perasaan dan sisi-sisi humanis paling dalam. Sayangnya, setelah televisi, radio, tape recorder, gawai, dan jaringan internet memenuhi rumah-rumah di perkotaan dan perdesaan, bulan semakin ditinggalkan. Tiada lagi anak kecil yang menghabiskan waktu di luar rumah untuk sekadar menengok bulan.
Bulan juga berperan sebagai sumber sejarah. Bagi para pakar, bulan turut memuluskan aksi penggalian sejarah. Bulan memupuk optimisme dalam menyibak tabir kehidupan. Masuknya agama Islam ke India ditandai dengan peristiwa terbelahnya bulan. Suatu malam, Raja Valiyathampuram dari Kodungallur di Central Kerala bersama istrinya berada di atas istana. Tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan fakta bahwa bulan terbelah menjadi dua bagian. Melalui informasi para pengembara dan pedagang mancanegara, sang raja akhirnya mengetahui bahwa peristiwa langka tersebut merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Setelah melihat kejadian tersebut, hatinya bergetar hebat. Sang raja lekas membagikan harta kerajaaan dan mengangkat putranya menjadi gubernur. Ia juga menyerahkan tanahnya kepada para pemimpin lokal sebagai jaminan atas kesejahteraan singgasana. Tak lama kemudian sang raja menghadap Rasulullah SAW.
Pada awal abad ke-7, seseorang yang merupakan keturunan dari Raja Cheraman Perumal tersebut memeluk Islam dengan disaksikan oleh Abu Bakar dan berganti nama menjadi Tajuddin. Penggunaan nama ini sebagai bentuk “revolusi mental” dalam dirinya sekaligus lambang hijrahnya pada kebenaran. Sayangnya, sang raja menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan pulang ke India dan dimakamkan di tepi Laut Arab.

Pemantik Imajinasi
Bulan menampilkan sejuta keindahan. Tak heran jika banyak karya sastra, baik puisi, cerpen, maupun novel, memuat kata “bulan”. Penyair Sitor Situmorang dalam puisinya yang masyhur “Malam Lebaran” menulis Bulan di Atas Kuburan. Adapun cerpenis Is Mujiarso mengekalkan kumpulan cerpennya dalam buku bertajuk “Rahasia Bulan” (GPU, 2006).
Para sastrawan dan penulis menjadikan bulan sebagai tamsil atas kebaikan, kecantikan, dan kesempurnaan. Cahayanya yang dipantulkan ke muka bumi membuat manusia menangkap representasi indahnya Tuhan. Dalam taraf tertentu, bulan menjanjikan kreativitas, daya berpikir, dan geliat berkarya bagi manusia.
Dalam bulan terkandung kekuatan besar yang tak boleh diremehkan. Itulah mengapa, bagi para penyair, sering kali bulan menjadi pemantik atas lahirnya sejumlah karya sastra yang bernas dan orisinal. Semisal Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin “meminjam” bulan untuk puisi-puisinya.
Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.
Dari puisi “Baju Bulan” (GPU, 2013) di atas, terselip pesan serta kritik sosial yang pedas. Dalam kelakarnya tersemat ekspresi, interpretasi, dan filosofi mendalam tentang kehidupan. Saat mengabadikan baris-baris kata pada puisi, tersemat upaya yang sungguh-sungguh dalam memaknai kehidupan. Tidak sekadar main-main atau bahkan menertawakan kehidupan itu sendiri. Hal ini mengantarkan puisi-puisinya memungut label nakal sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling yang dangkal dan asal-asalan.
Lebih dari itu, dengan memakai kata “bulan”, Jokpin mampu memoles puisi dengan tampilan eksklusif sekaligus merakyat. Karyanya bermodal alur bahasa sederhana serta balutan kalimat yang mudah dipahami. Ritual trial and error yang genap dijalani dalam durasi waktu cukup lama ternyata menghasilkan karya eksotis, yang mengandung nilai estetika tiada tara. Cara berpikirnya yang ketat turut membentuk puisi berkarakter, unik, dan tidak cengeng. Melalui berbagai eksperimen estetis, ia mampu mengawal puisi menjelma karya yang adiluhung.
Metafora yang disajikan pun terasa sangat berbeda, bahkan ganjil, bila dibandingkan dengan puisi-puisi pada umumnya. Jokpin menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan metafora-metafora baru dan segar. Ia mengatasi kejenuhan pembaca terhadap mainstream sastra yang berkembang. Puisinya merupakan wujud nyata dari konsep budaya tanding yang dianggap mampu bertahan menghadapi perubahan zaman. Dalam karyanya terdapat konsep perlawanan kultural terhadap tatanan yang sudah mapan.

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar