Selasa, 15 November 2016

Menyoal Alih Fungsi Lahan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Selasa, 15 November 2016)


Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) DIY sedang gencar membentengi eksistensi hutan rakyat dari ancaman alih fungsi lahan berupa pembangunan permukiman. Saat ini, luas hutan rakyat di DIY mencapai 74.000 hektar yang tersebar di Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo dan Sleman. Hutan rakyat dikelola melalui 1.700 kelompok tani dengan rata-rata kepemilikan sebesar 0,2 hektar.
Jika tidak dilakukan langkah strategis, dikhawatirkan beberapa tahun ke depan lahan hijau berubah fungsi menjadi area permukiman komersil. Apalagi, pengembang mulai melirik ke sejumlah lokasi untuk dijadikan perumahan. Dengan berbagai cara, beberapa titik ingin mereka jadikan sarana mengeruk keuntungan.

Ekses Negatif
Gencarnya alih fungsi lahan pertanian menimbulkan ekses negatif. Apa yang dilakukan pengembang menyebabkan terjadinya bencana alam dan merosotnya tanah sebagai sarana produksi pangan. Sulistyo (2016) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian merupakan keniscayaan. Salah satu penyebabnya yaitu laju pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal.
Dalam pandangan Sulistyo, lahan pertanian pangan harus benar-benar diproteksi agar tidak rentan dialihfungsikan untuk perkembangan industri. Muncul kekhawatiran bahwa arus modernisasi dan industrialisasi yang mengarah kepada daerah berkembang dimanfaatkan untuk investasi jangka panjang oleh para pemodal. Konsekuensinya, lahan pertanian terpaksa beralih fungsi.
Selain itu, ada keterkaitan antara proteksi lahan dengan upaya menjaga stabilitas dan ketahanan pangan. Luas lahan yang rawan alih fungsi harus benar-benar menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah DIY, apalagi jika lahan tersebut tergolong potensial dan produktif.
Di samping meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, terjadinya alih fungsi lahan juga disebabkan minimnya kesadaran bertani. Hal ini berimbas pada mudahnya masyarakat melepas lahan ke pengembang. Dahulu kala, mata pencaharian orang Indonesia rata-rata adalah bertani. Profesi ini digeluti karena pada waktu itu belum banyak pilihan pekerjaan. Kekayaan alam, demografi, dan kondisi lingkungan mengharuskan mereka mengolah tanah sebisa mungkin.
Saat globalisasi dan modernisasi menyentuh hingga wilayah pedalaman, pertanian semakin ditinggalkan. Selain karena munculnya berbagai alternatif berburu uang, anak muda lebih terobsesi untuk bekerja sebagai buruh kota. Mereka merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari kehidupan urban. Saat perasaan ini begitu menggebu, mereka mengalami apa yang disebut dengan “hasrat urban”. Gelimang cahaya perkotaan genap menyilaukan mata pemuda desa. Muncul kepuasan tersendiri ketika mereka melepaskan identitas kedesaan dan mulai disebut “orang kota”. Mereka ingin menjadi saksi atas kemajuan kota-kota besar berikut eksesnya.

Langkah Konkrit
Bagi mereka, berkutat pada tanah liat bukanlah pekerjaan yang membanggakan. Petani hanya cocok bagi orang-orang berumur dan remaja tanpa skill. Keputusan menjadi petani diambil ketika kondisi seseorang benar-benar terjepit. Sejak dini, dalam diri pemuda timbul kesadaran untuk “menjaga jarak” dari cangkul dan sabit. Kurikulum pendidikan membentuk seseorang kurang peka terhadap alam dan lingkungan. Buku-buku sekolah dan perguruan tinggi dirancang demi melahirkan generasi yang abai terhadap nasib tanah kelahiran.
Atas dasar inilah, harus ada langkah konkrit yang diambil Pemerintah Daerah DIY dalam rangka mempertahankan lahan pertanian yang masih tersisa. Generasi muda harus didorong untuk memiliki jiwa bertani. Bagaimanapun, di balik pertanian tersimpan keramahan, kesantunan, dan keharmonisan. Proses tanam dan panen meniscayakan adanya hubungan timbal balik antara pemilik tanah dan penggarap. Kultur pedesaan yang halus merupakan imbas dari kehidupan pertanian, di mana fondasinya genap dikokohkan nenek moyang berabad silam.
Di samping itu, guna membatasi penggunaan lahan dan meminimalisasi alih fungsi lahan pertanian, Pemerintah Daerah DIY bisa menerbitkan peraturan daerah (Perda). Melalui payung hukum ini, sekuat mungkin lahan yang ada dalam suatu wilayah dipertahankan dan dijauhkan dari tangan pengembang. Alih fungsi lahan semestinya berada dalam pengawasan ketat. Bilapun terpaksa dilakukan, jumlahnya harus selalu dibatasi.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar