Rabu, 02 November 2016

Membangun Kemandirian Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Rabu, 2 November 2016)

Koran Jakarta edisi 31 Oktober 2016 menurunkan tulisan Ir Sumaryono, MM berjudul “Memberdayakan Ekonomi Desa.” Di antara pekerjaan rumah terbesar pemerintah, mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Sayang, sampai hari ini, belum ada terobosan berarti. Atas dasar inilah, ditawarkan konsep ekonomi rakyat yang dipinjam dari gagasan Sumodiningrat sebagai “cara membangun dari, oleh, dan untuk rakyat.” Mulai dari diri sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam upaya mewujudkan ekonomi rakyat, penulis tidak menyebutkan langkah konkret. Jadi, mestinya tidak hanya teoritis, namun juga praktis. Demi melengkapi tulisan tersebut, kolom ini disajikan. Konsep ekonomi rakyat meniscayakan aspirasi, daya cipta, dan potensi masyarakat perdesaan. Sejak dini, orang desa harus berani menentukan dan memperjuangkan nasib. Dalam berbagai momentum, mereka dapat menyampaikan inisiatif, gagasan, dan prakarsa. Dengan demikian, masyarakat tidak terjebak pada status quo. Progresivitas masyarakat ditunjukkan dengan kemampuan menyelesaikan beragam permasalahan.
Mentalitas dibentuk dalam rangka membentuk karakter dan tidak bergantung pada bantuan. Kemandirian sebagai salah satu tanda masyarakat modern memudahkan mengambil keputusan. Kedewasaan berpikir membuat kebutuhan terlindungi. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan hidup tidak lantas mengesampingkan tanggung jawab sosial.
Mereka tetap berkewajiban memegang teguh “hasrat kolektif.” Dengan bekerja bersama, kolektivitas orang desa tetap terpelihara berdasar prinsip gotong-royong. Keintiman, kedekatan, serta keakraban lahir dari suasana informal. Orang desa tidak memerlukan situasi resmi atau formal demi mengekalkan jalinan persahabatan dan kekerabatan.
Ilustrasi keberhasilan pemerintah desa membangun kemandirian terlihat dalam “Desa Idiot” Karangpatihan, Balong, Ponorogo, Jatim. Musim paceklik membuat warga terhimpit ekonomi. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Upaya pemerintah desa dalam meningkatkan kesejahteraan mendirikan Balai Latihan Kerja guna meningkatkan keterampilan warga. Inisiatornya Kepala Desa Karangpatihan Eko Mulyadi.
Eko Mulyadi mampu meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan membuat kebijakan, memberdayakan, serta mengubah image “Desa Idiot” menjadi “Desa Mandiri.” Kreativitas, ketekunan, dan kegigihan Eko Mulyadi membungkam orang-orang yang selama ini merendahkan desanya. Di antara pemimpin lokal dia sanggup menularkan motivasi kepada warga. Terpuruknya ekonomi desa tidak membuatnya patah semangat. Dia berusaha sekuat tenaga membangkitkan masyarakat dengan mengganti pesimisme menjadi optimisme.
Eko Mulyadi mengidentifikasi masalah infrastruktur, persepsi masyarakat, ketergantungan pada bantuan, dan keterampilan. Ini menjadi landasan merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi, kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan.
Pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi masalah yang meliputi permasalahan dalam kapasitas SDM, prioritas, mental masyarakat dan sumber daya. Pemerintah desa lalu meningkatkan kapasitas masyarakat, kualitas BLK, serta mengembangkan jaringan. Strategi perubahan citra desa idiot menjadi desa mandiri dengan mengubah persesi masyarakat tentang keterbelakangan mental dan meningkatkan kemandirian desa.

Dana Desa
Kemandirian warga terwujud karena  kedaulatan pemerintahan desa. Penopangnya sumber daya material dan manusia. Kesuksesan program-program desa sering kali bergantung pada pendapatan dan upaya maksimal. Kemajuan sejumlah desa dilatarbelakangi besaran anggaran perangkat desa dan ikhtiar memanfaatkannya dengan baik. Tak sedikit desa yang ingin maju dan berkembang, terkendala dana dan lemahnya manajerial.
Kemandirian pemerintahan desa tecermin pada kemampuan membiayai kegiatan. Kebijakan desa bisa terwujud lantaran adanya sumber dana dan daya. Sebuah penelitian menyebutkan, kemandirian desa sulit terwujud karena keterbatasan jenis dan hasil sumber daya.
Dalam konteks inilah, dana desa sangat urgen. Bagi masyarakat perdesaan, pengucuran dana merupakan kabar gembira untuk mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kucuran dana desa cukup tajam dari 20,7 triliun rupiah (2015) menjadi 113 triliun rupiah (2016). Tapi, sistem distribusinya perlu diperbaiki karena kurang merata, sehingga memicu ketimpangan pendapatan antarpenduduk desa.
Bagong Suyanto (2015) mengungkapkan,  beragam kebijakan pemerintah lebih bersifat meritokratis. Dalam tataran praktis, keputusan-keputusan pemerintah terlihat adil dan kompetitif bagi semua. Padahal,  kenyataannya, hanya kelompok elite yang diuntungkan. Jika ini terus terjadi, elitisme membuat jurang ketimpangan semakin dalam.
Akhir-akhir ini, terdapat kecenderungan para pemimpin lokal Sumatera Barat mengubah bentuk nagari ke pemerintahan desa agar memudahkan terserapnya dana desa. Padahal, nagari terbukti mampu memperkuat identitas lokal di hadapan budaya global yang begitu dominan. Maka, rencana pemberangusan nagari demi memperoleh kucuran dana desa patut disayangkan.
Agar dana desa dapat dimanfaatkan maksimal, perlu dilakukan beberapa langkah. Pemerintah menginisiasi perubahan struktur masyarakat. Dalam pandangan Bagong, pemerataan kesejahteraan dan kompetisi yang adil hanya bisa terwujud bila struktur masyarakat diubah. Struktur masyarakat yang menggambarkan piramida dengan orang miskin berada di lapisan terbawah mesti dirombak dalam bentuk belah ketupat, di mana golongan menengah sebagai mayoritas.
Pemerintah mempermudah prosedur pencairan dana desa dengan segera menerbitkan peraturan perundang-undangan terbaru. Hingga kini, banyak desa belum menerima dana  karena tertahan di tingkat kabupaten. Birokratisasi telah mempersulit masyarakat perdesaan menjemput hak mereka. Alur dan langkah  ribet membuat pemerintah desa enggan berurusan dengan pemerintah lebih tinggi.
Pemerintah harus berprinsip, pertanggungjawaban dana desa bukan prioritas utama. Dalam upaya membangun Indonesia dari pinggiran, pemerintah semestinya lebih menitikberatkan pada pemanfaatan dana desa daripada mempertanyakan penggunaan dana tersebut. Pemerintah dituntut memiliki kepercayaan besar terhadap orang-orang desa. Dengan demikian, kedewasaan dan kepercayaan kembali tumbuh.
Bagaimanapun, terserapnya dana desa selama ini terganjal  kekhawatiran kepala desa beserta aparaturnya. Besarnya dana desa belum diimbangi  hasrat memanfaatkannya sebagai pembangkit perekonomian perdesaan. Mereka takut  suatu saat KPK mempermasalahkannya. Banyak pihak mencemaskan lahirnya “raja-raja kecil” dan koruptor di desa. Mereka bisa saja menghabiskan dana desa demi kepentingan pribadi dan golongan.
Pemerintah memaksimalkan peran pendamping desa yang wajib mengawal kepala desa beserta aparaturnya dalam membelanjakan anggaran. Mereka bertugas membantu penyusunan laporan keuangan dana desa serta penggunaannya. Pendamping desa dipercaya memfasilitasi aparatur agar dana dibelanjakan sesuai keperluan dan tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar