Jumat, 21 Oktober 2016

Buku yang Menjauhi Mainstream (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Jumat, 21 Oktober 2016)


Akhir-akhir ini, muncul kecenderungan bahwa penulis ingin mengantongi pengabsahan publik literasi dengan menyelipkan International Standard Book Number (ISBN), prolog, epilog, serta endorsement pada bukunya, sehingga membuat visualitas karya lebih prestisius.
Atribut-atribut di atas dipercaya mampu merefleksikan testimoni dan justifikasi mengenai kualitas buku ataupun kapasitas penulis. Legalitas pakar dan pendapat public figure turut mengukuhkan kecemerlangan tulisan. Untuk disebut “baik”, sebuah karya harus mengantongi stempel otoritas literal. Padahal, dilekatkannya sebuah atribut adalah dalam rangka mengemas karya serta mendongkrak “daya jual” penulisnya.

Otonomi Pembaca
Penerbit Bilik Literasi mendasarkan pemikiran bahwa penghakiman, penilaian, dan penentuan kualitas karya tidak berangkat dari “omong kosong” pakar dan public figure, melainkan para pembaca. Di sini, para pembaca diposisikan sebagai pribadi otonom dengan otoritas penuh. Mereka dibekali hak untuk mengamini apa yang termuat dalam buku atau bahkan menolaknya. Dengan demikian, hadirnya Buku Seri Sejinah (Cuilan [Bandung Mawardi], Guru dan Berguru [M. Fauzi Sukri], Melulu Buku [Setyaningsih], dan Sembarang di Persimpangan [Mutimmatun Nadhifah]) seolah menyebarkan pemeo, “Buku yang baik hanya bisa diraba oleh pembaca yang baik.”
Terbitnya buku ini menyimpan ikhtiar menjauhi mainstream. Tanpa ISBN, prolog, epilog, serta endorsement, ia hadir menyapa pembaca. Jika sejumlah buku berlomba memajang tulisan dengan riwayat pemuatan di beberapa media, sebagian besar esai dalam buku ini justru belum pernah “nangkring” di majalah, surat kabar, dan media cetak lainnya. Mitos, efek formalitas, serta konvensi dalam jagat literasi sengaja ditabrak. Ia sebagai antitesis “standar baku” karya cetak, terutama buku. Boleh dibilang, dalam batas tertentu, ia menawarkan konsensus baru bagi publik literasi.
Berbeda dengan para penulis lainnya, baik Bandung, Fauzi, Setyaningsih maupun Mutimmatun sungguh telaten memungut sejumlah arsip “tempo doeloe”. Di antaranya Medan Prijaji edisi 5 Februari 1910, Aneka Olahraga No.21 edisi 15 Agustus 1964, Pemberita Makassar edisi 16 Desember 1935, Kadjawen No. 29-30 edisi 15 April 1941, Baoesastra Melajoe-Djawa (1916), Pandji Poestaka (1940), dan Sedjarah Pendidikan Indonesia (1956).
Demi menjaga orisinalitas tulisan, kalimat-kalimat dalam ejaan lama sengaja dihindarkan dari pembakuan. Barang tentu di samping memperkuat data, hal ini dilakukan dengan maksud mendatangkan kembali situasi dan kondisi masa silam. Berbekal kliping koran, majalah, serta buku usang, mereka berupaya menghidangkan nostalgia bagi pembaca.

Melawan Arus
Sebagaimana bidang industri lainnya, logika pasar juga berlaku dalam jagat perbukuan. Para pelakunya dituntut memahami hasrat dan selera konsumen. Anehnya, Penerbit Bilik Literasi justru melawan arus dengan meluncurkan Buku Seri Sejinah dengan desain dan cover yang “norak”. Meskipun demikian, buku ini sanggup menyajikan sejumlah tulisan yang bernas dan berkualitas. Orisinalitas gagasan di dalamnya barang tentu “mengenyangkan” pembaca. Itulah mengapa, kehadirannya yang bercorak anti-mainstream tak layak dicurigai, melainkan justru diapresiasi. 
Emosionalitas dalam esai-esai buku ini menguraikan kekuatan individu para penulis. Kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual berandil besar membentuk bangunan tulisan mereka. Kapasitas Bandung, Fauzi, Setyaningsih dan Mutimmatun dalam berkarya terutama didukung kekhasan esai mereka. Kuatnya karakter buah pena para penulis ini barangkali diperoleh dari kekayaan pengalaman hidup, bacaan yang luas, dan lingkungan pergaulan yang beragam.
Apa yang dituangkan dalam karya para penulis Bilik Literasi merupakan bayangan kepribadian mereka. Hal ini tidak perlu digugat, mengingat yang terpenting dari sebuah esai yaitu cara pandang penulis dalam mengemukakan persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri. Arthur Christoper Benson (dalam Arief Budiman, 2006: 233) menyebutkan, tak perlu motivasi filosofis, intelektual, religius, ataupun humoristis dalam menulis esai. Seorang esais berkarya sesuai apa yang hidup dalam diri, perasaan, serta pikirannya. 
Sastra merupakan titik singgung yang mempertemukan karakter tulisan mereka. Meskipun menitikberatkan pada bidang kajian yang berbeda, sastra tetap mereka baca dengan seksama. Itulah mengapa, esai-esai yang mereka tulis terasa halus. Ini sebagai pembelajaran bagi esais-esais lainnya, betapa untuk menulis esai yang estetis, mereka tidak boleh mengabaikan sastra. Di samping itu, tulisan-tulisan para penulis Bilik Literasi begitu antusias memperjuangkan eksistensi dan kontinuitas literasi. Dalam esai-esai mereka tersimpan etos literasi yang mengandung ruh perlawanan terhadap menjamurnya budaya pop (popular culture) berciri simbolis, atributif, materialistis, juga serba-artifisial.
Karya yang bernas mampu meneguhkan eksistensi, meski nihil pengakuan (recognition), penghormatan (tribute), dan perayaan (celebration). Di sinilah letak Buku Seri Sejinah dalam kancah literasi Indonesia. Ia tak perlu dipuji, karena sanggup menumbuhkan motivasi dan impuls bagi diri sendiri. Sayangnya, kenikmatan pembaca harus terkontaminasi saat menemukan beberapa halaman “cacat”, antara lain 12, 16, 17, 19, 21, 30, 31, 38, dan 55 (Cuilan); 14, 18, 23, 25, 27, 39, 40, dan 41 (Melulu Buku); 13, 27, 36, 39, 54, 56, dan 63 (Guru dan Berguru). Ditambah lagi, daftar isi yang kurang sesuai dengan halaman buku (Sembarang di Persimpangan).


Bojonegoro, 2015

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, mhon maaf saya ingin membeli buku seri sejinah dg jdul melulu buku dan cuilan. Mungkin pak multazam luthfy kenal link yg bs saya hbungi untuk pmesanan buku tersebut?

    BalasHapus