Minggu, 16 Oktober 2016

Mitos Hari Pengemis (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Lampung Post” edisi Minggu, 16 Oktober 2016)

 

Bertahun-tahun lamanya aku dipanggil Bejo. Ya, Bejo. Nama yang cukup sederhana dan merakyat bukan? Jauh dari kesan pejabat ataupun konglomerat, hehehe…. Entah bagaimana awalnya nama yang kerap juga disandang penjual baju bekas, pawang ular, atau jagal kerbau itu tiba-tiba menempel pada tubuhku. Orang-orang memanggilku demikian barangkali bertujuan supaya aku terhindar dari kesialan serta senantiasa dilimpahi keberuntungan. Tanpa bermaksud mengelak, aku pun menerima saja panggilan tersebut dengan suka rela. Bahkan, merasa lebih nyaman daripada seumpama dipanggil dengan nama asliku, yang hingga sekarang tiada lagi aku mengingatnya.
Sesuai sebutanku, nasibku juga lumayan beruntung. Pokoknya, lebih beruntung ketimbang koruptor yang dirundung bingung sebab diincar KPK. Atau pedagang kaki lima, pengamen, anak jalanan, serta pengemis yang sering diburu Satpol PP yang dikenal bengis dan gemar menendang bokong sesiapa yang melawan. Sedangkan aku memilih diam di tempat, sambil pura-pura menangis sesenggukan, sehingga mereka kasihan dan membiarkanku kembali melakukan kegiatan meminta-minta seperti sediakala.
Aku bersyukur terlahir ke dunia dalam keadaan tidak sempurna. Aku patut berterima kasih kepada almarhum ibu, yang meski menghasilkanku dari hubungan gelap dengan tukang ojek di perempatan, nyatanya ia kurang tega menggugurkanku ketika hamil. Atau membuangku saja di selokan setelah satu jam melahirkan. Atau menceburkanku ke sumur berkedalaman lima puluh meter yang dihuni gerombolan jin dan para lelembut lain. Aku dirawat sebagaimana layaknya bayi yang terlahir dari keluarga baik-baik. Walaupun dengan sisa kasih sayang, yang bila ditakar sekadar pas-pasan. 
Berkali-kali teman-teman mengutarakan kedengkian. Mengapa, mengapa tidak mereka saja yang dianugerahi kekurangan sepertiku. Ya, kekurangan yang ringan membuat setiap orang melanting kasihan, menerogoh rupiah di dompet, serta melemparkannya ke kaleng di depanku. Kekurangan yang menjadi pemicu kenapa jumlah penghasilanku dalam sebulan bisa berpuluh kali lipat dibanding gaji PNS golongan 4 A sekalipun. 
Sebenarnya ketika berada dalam kandungan, sama sekali aku tidak meminta kepada Tuhan agar diberi kondisi fisik seperti ini: berhidung serupa colokan listrik, berlengan melengkung dengan jari-jari keriting, serta memiliki satu kaki kecil yang hampir-hampir tak berfungsi karena tak mampu digunakan berjalan atau sekadar menyangga badan. Atau merengek agar dihujani rizki melimpah; tiga rumah megah dilengkapi lima mobil mewah. Atau dua istri cantik yang masih muda sekaligus mengundang selera. Atau anak-anak yang imut, sehat, juga jauh dari cacat. Akan tetapi, kenikmatan-kenikmatan itu mendatangi diriku dengan senang hati. Dan, kalian tahu? Inilah yang membuatku dihormati dan disegani oleh para pengemis lain. Sampai-sampai hingga beberapa periode aku dikukuhkan menjadi ketua paguyuban pengemis. Jabatan paling strategis dalam jagat kepengemisan.
Dalam jangka waktu lumayan lama aku menganggap bahwa jabatan bergengsi tersebut merupakan faktor utama mengapa martabatku bisa meningkat, kewibawaanku berlipat-lipat. Benar. Tidak hanya para pengemis yang mengelu-elukan namaku. Komplotan preman beserta penjahat jalanan juga menghidangkan penghormatan luar biasa. Mereka suka mengundangku dalam acara-acara besar. Bahkan, tidak sekali dua aku dipercaya untuk memberikan sambutan. Aku pun menikmati ketenaranku yang kian hari kian menanjak. Atas dasar itulah, selaku hamba beriman, tak jarang aku mengadakan syukuran dan menggelar hajatan dengan mengundang para tetangga serta teman-teman, layaknya petani tebu yang sebentar lagi naik haji.
Namun, akhir-akhir ini pikiranku sering terganggu. Aku merasakan ada persekongkolan busuk yang ingin membabat habis kebahagiaanku. Begitulah. Di setiap kekuasaan rentan timbul rongrongan.
Firasatku teruji. Pertama-tama, upaya keji untuk menghabisiku nyatanya bukan berasal dari luar. Kemplung, lelaki yang setiap hari bertugas menjaga rumahku, berkhianat. Tega-teganya ia menaruh racun kadal dalam secangkir kopi yang sedianya kuminum sebelum berangkat ke alun-alun (meskipun sudah kaya raya, aku tetap bersikeras menggeluti pekerjaan sebagai pengemis. Sadar, kalau namaku menjadi besar karena mengemis. Aku berteguh hati, bahwa sampai mati, aku pasti tetap mengharap recehan dari kaum dermawan. Moto hidup yang selalu kupegang yaitu: aku terlahir sebagai pengemis, harus mati sebagai pengemis).
Aku mati? Tidak!
Keberuntungan memang masih berpihak. Belum sempat aku menyeruput, Sumi, pembantuku yang dulu juga pengemis, merasa ragu kalau kopi buatannya genap bercampur gula. Akhirnya, ia minta ijin untuk mencicipi sesendok saja. Sepenggalah kemudian, dengan tubuh gemetaran ia ambruk lalu kejang-kejang. Dari mulutnya keluar buih menjijikkan.
Setelah kematian Sumi, aku makin waspada. Jagrak, lelaki yang setia menjadi suruhanku dan mustahil berkhianat, mengantongi perintah untuk mengendus setiap gerak-gerik mencurigakan. Orang-orang yang dikira berbahaya segera dilenyapkan. Termasuk Supri, Gaplek, Margo; mereka yang lebih suka menjilat ketimbang menjadi sahabat. Tidak hanya itu. Guna memperketat keamanan diri, aku menyewa lusinan bodyguard paling kuat. Puluhan kaki tangan juga kutempatkan di beberapa lokasi. Aku menaksir bahwa masih banyak lagi berbagai usaha lain untuk membunuhku.
Dan, benar. Ateng, sekretaris paguyuban pengemis, terbukti menyewa jasa tiga pembunuh bayaran untuk mengirimku ke neraka. Pemuda tampan yang cukup lihai dalam mengurus administrasi paguyuban serta aktif merekrut anggota itulah yang sebenarnya kugadang-gadang menggantikan posisiku kelak ketika aku sudah lengser. Untungnya, lagi-lagi Jagrak mencium gelagatnya. Tiga pembunuh bayaran tersebut mampu diatasi dengan mudah. Lebih dari itu, ia bertindak tepat dengan balik mengirim belasan anak buahnya untuk melibas Ateng dengan terlebih dahulu menyiksanya perlahan-lahan. Bagaimana pun juga, pembelot haruslah menerima ganjaran setimpal. Ditambah lagi pengkhianatan-pengkhianatan yang melibatkan Bodong, Klewer, dan Gino; teman-teman seperjuangan yang menapaki karir mengemis dari nol. Juga upaya-upaya serupa lainnya yang tak mungkin kusebutkan satu per satu.
Melihat kondisi sedemikian akut, aku mengambil tindakan. Di segelintir petang, aku sengaja mengumpulkan semua pengemis se-Jakarta. Termasuk mereka yang rutin kudrop ke luar kota, semisal Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terus terang, itu kali berang terlanjur memanjat ubun-ubun dan tak sanggup lagi kubendung. Diperparah dengan jiwa yang begitu tertekan, hingga tak mampu kutahan, mirip Soeharto yang pusing tujuh keliling menghadapi ulah demonstran pada 1998. Pada pertemuan singkat tersebut, aku menanyakan adakah sebagian dari mereka menginginkan tampuk kekuasaan yang sedang kugenggam. Kalau ya, aku bersedia meletakkannya saat itu juga. Toh, aku mulai bosan dengan intrik serta politik sejumlah anak buah yang kurang tahu balas budi. Padahal, rasanya aku sudah berbuat amat baik kepada mereka. Bayangkan! Semenjak didapuk selaku pemimpin, aku langsung menghapus peraturan paguyuban yang mewajibkan untuk menyetor lima persen dari hasil keringat mereka. Mereka boleh memperkaya diri, asalkan beroperasi di kawasan-kawasan masing-masing. Selain itu, aku rajin membuka lowongan pengemis baru. Aku berani menjanjikan kepada kaum pengangguran berupa penghasilan jutaan serta garansi kesehatan. Berbondong-bondonglah ribuan pendaftar, guna mengadu nasib sebagai pengemis. Imbasnya, beberapa jalur yang biasa digunakan untuk beroperasi penuh. Alternatifnya, mereka kukirim ke Surabaya, Malang, juga kota-kota besar di luar Jawa; zona-zona yang berpotensi untuk dikeruk rupiahnya. Barang tentu sebelumnya aku jangkap menjalin kerjasama dengan dedengkot mafia pengemis di daerah asal. (Asal kalian pahami. Oleh beberapa peneliti, program ini dinilai lebih manjur dan realistis daripada program pemerintah yang bernafsu mengentaskan kemiskinan namun ujung-ujungnya cuma menghabiskan anggaran). 
Di luar dugaan, mereka malah membisu. Jadilah pertanyaanku mengawang di udara. Benar-benar munafik! Aku mengumpat tiada henti. Padahal, di belakangku mereka beramai-ramai mencoba menikamku. Janggalnya, di depanku mereka tersenyum dan bermuka lembut. Tanpa pikir panjang, pertemuan yang lebih mirip monolog itu kubuyarkan. Aku sudah muak dengan kepura-puraan!
Berminggu-minggu otakku dilanda stres. Aku lebih tepat dikatakan mayat hidup daripada manusia. Wajahku pucat pasi, kehilangan semangat. Tapi, aku masih mujur sebab memiliki Leni dan Rina, dua pendamping hidup yang sangat mengerti tentang keluh kesahku. Keduanya menyarankanku istirahat total. Adapun semua urusan paguyuban alangkah baiknya diserahkan kepada Jagrak. Berbekal beragam pertimbangan, aku menurut. Mirip karyawan mengambil cuti, sementara aku berhenti memikirkan masalah-masalah yang ada. Australia kupilih sebagai loka di mana aku menghibur diri. 
Goblok! Aku tertipu. Sungguh. Sepulang dari luar negeri, aku sadar bahwa kedudukanku telah dimanfaatkan. Jagrak, Leni, dan Rina—orang-orang yang lebih kupercaya daripada diriku sendiri—ternyata lebih licik. Merekalah yang kini leluasa mengendalikan ke mana paguyuban akan diarahkan. Orang-orang yang selama ini kubayar mahal untuk melindungiku juga disetir. Dan, entah kalian percaya atau tidak, jika di sini, di rumahku sendiri, aku dibantai habis-habisan. Aku dikuliti seperti seekor sapi sehabis disembelih. Dua mataku dicungkil. Sepasang telinga dan hidungku diiris. Tubuhku dipisahkan menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Setelah itu ditusuk layaknya sate kambing yang dijual keliling oleh Pak Diran. Lantas mereka mengadakan pesta dengan menjadikan daging dan tulangku sebagai menu utama. Bumbu dan kecap dicampur ke dalam tubuhku untuk dibakar. Semua yang hadir memakanku dengan lahap, hingga tiada bersisa.
Tapi, tak mengapa. Meskipun pada akhirnya aku harus mati mengenaskan, namun aku boleh berbangga. Ingat! Sejak peristiwa tragis itu, hari kematianku diabadikan sebagai hari pengemis se-Indonesia.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar