Jumat, 14 Oktober 2016

Putusan MK dan Konfigurasi Politik Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Jum’at, 14 Oktober 2016)


Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa kepala desa boleh berasal dari luar desa. Ini merupakan salah satu dari 3 putusan lembaga pengawal marwah konstitusi tersebut mengenai tuntutan pembatalan Pasal 50 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagaimana diketahui, pasca terbitnya UU Desa, persyaratan menyebutkan bahwa sebelum mendaftarkan diri sebagai kepala desa, seseorang harus merupakan penduduk asli dan bermukim minimal 6 bulan di desa tersebut.
Terkabulnya judicial review oleh sejumlah pihak terhadap UU Desa tahun 2014 berlatar belakang bahwa persyaratan di atas telah menciderai prinsip demokrasi. Hak warga Indonesia dalam mengelola pemerintahan desa dikesampingkan. Peraturan perundang-undangan dianggap melakukan diskriminasi, sebab berpihak pada satu kelompok (penduduk asli) dan menihilkan keberadaan kelompok lain (warga luar desa). Dengan demikian, produk legislasi diyakini kurang adil dan netral dalam memperlakukan setiap warga negara. Munculnya perbedaan dikotomis lantaran ia cenderung memilah warga negara menjadi dua: “anak emas” dan “anak tiri”.
Seharusnya terbitnya pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak selalu dilihat dengan “pandangan lurus”. Di negeri ini, sudah tak terhitung banyaknya korban kecerobohan hakim (termasuk hakim MK) yang menilai suatu persoalan dengan “kaca mata kuda”. Padahal, dalam situasi tertentu, ia mesti dipandang dalam kaca mata sosial. Dalam konteks inilah, sosiologi hukum yang menampung sisi-sisi humanis dalam jagat hukum mendapati relevansinya.
Sosiologi hukum melihat bahwa diperbolehkannya seseorang yang berasal dari luar desa menjadi kepala desa berimplikasi serius.
Pertama, calon kepala desa yang kurang memiliki kesadaran berdesa dapat menghancurkan kehidupan desa secara perlahan. Hal ini dikarenakan, kebijakan yang dilahirkan tidak berangkat dari pengetahuan tentang desa, akan tetapi berpijak pada rasio an sich. Padahal, selama ini corak kehidupan desa bersifat unik dan genuine, sehingga tata kelola desa memerlukan penanganan dan keahlian khusus. Kebijakan tentang desa harus senantiasa didasarkan pada kearifan, kebajikan, dan local wisdom.
Kedua, dengan segebok uang, calon kepala desa yang juga pemodal mampu dengan leluasa membeli suara orang-orang kecil. Ketika berhasil menyelundup dalam ruang politik lokal dan memenangkannya, ia akan menancapkan kekuasaan dengan mengambil alih sumber-sumber ekonomi desa. Jika beberapa titik strategis dan aset lokal berpindah tangan, maka warga setempat seakan terusir dari tanah kelahiran. Untuk sekadar menikmati hasil tanah mereka tentu merasa kesulitan. Akhirnya, daripada menjadi penonton pasif lebih baik mereka menjadi buruh kasar dengan upah kecil.
Ketiga, muncul perubahan konfigurasi politik lokal. Dengan dibatalkannya Pasal 50 UU Desa tahun 2014, mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala desa boleh jadi bertambah. Orang-orang dari luar desa akan berbondong-bondong mengumumkan bahwa mereka siap menjadi pemimpin desa. Persaingan tidak hanya berlangsung antara warga setempat namun juga warga luar desa yang menginginkan kehormatan dan kewibawaan. Peluang eksplorasi kemampuan dan kreativitas warga menyempit. Imbasnya, otonomi desa kurang memiliki arti.
Belum lagi masyarakat yang bercorak pandang pragmatis akan merasa diuntungkan, sebab uang sogok kian melimpah seiring dengan bertambahnya calon kepala desa. Saat pilihan semakin banyak, mereka cenderung abai terhadap pertimbangan logis. Mereka hanya berpikir berapa rupiah yang mereka kantongi pada waktu Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) diselenggarakan. Bagi mereka, pesta demokrasi desa merupakan sarana mempertebal isi dompet.
Padahal, dikukuhkannya penduduk asli sebagai calon kepala desa dalam peraturan perundang-undangan bukan tanpa alasan. Ketentuan ini berdasarkan pertimbangan logis dan matang. Terhadap desa, mereka dianggap memiliki ikatan batin yang kuat. Mereka benar-benar mengetahui sejarah desa dengan segala keistimewaanya. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka dibekali dengan akar pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk kehidupan desa. Mereka hafal di luar kepala mengenai tradisi dan ekologi desa.
Jika orang luar dipaksakan menduduki kursi kekuasaan desa, maka kepercayaan warga setempat diragukan. Sejak berabad-abad silam, mereka dipimpin oleh penduduk asli. Selain memegang kekuasaan formal tertinggi pada tingkat lokal, kepala desa dianggap sebagai “bapak” yang selalu menjadi pengayom siapa saja yang membutuhkan perlindungan (Latief, 2000).

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar