Selasa, 09 April 2013

Mumun (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Bali Post” edisi Minggu, 7 April 2013)


/Satu/
Sambil memasang muka memelas, Muntiah menyodorkan bungkus plastik berukuran tanggung ke pengendara motor atau pengemudi mobil atau pasangan muda-mudi yang hendak memilin asmara atau orang yang sedang mengejar kerja, ketika mereka menunggu lampu hijau menyala. Tak lupa Muntiah menembangkan lagu dangdut koplo kesukaannya, setelah mengintip beberapa keping uang kertas atau logam, tergolek di dalam wadah permen bekas tadi. Melanting sebuah lagu tanpa menjangkapi dengan gerakan badan, bisa dipastikan ada yang kurang. Karenanya, ia pun menggerakkan jemari dengan gemulai, menunjukkan goyang ngebor yang aduhai, memesona, hingga mengundang pujian dan bunyi ‘ckckckck’ dari lidah para penonton, terutama kaum lelaki.
Begitulah kebiasaan Muntiah setiap hari. Ia melakukannya dengan suka hati, meskipun pengemis-pengemis lain diam-diam mulai membencinya. Bagaimana tidak? Hasil kerja Muntiah selalu di atas rata-rata; lebih banyak dan barang tentu mengungguli pendapatan pengemis paling senior sekalipun. Bisa dua, bahkan empat kali lipat. Adapun Muntiah tidak ambil pusing. Terlanjur ia memutuskan untuk tidak merubah cara bagaimana ia memancing rupiah. Dalam otaknya tertanam keyakinan bahwa Tuhan telah menggariskan nasib setiap manusia. Dan, urusan rizki termasuk dalam lingkaran kepastian yang mustahil dirubah, meski berbekal beragam usaha.
Tidak semua pengemis menaruh dengki pada Muntiah. Di antara sekian yang menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain di trotoar, kolong jembatan, atau selingkar lampu merah, ada yang merasa diuntungkan. Kalian tahu? Sinok. Ialah perempuan bersanggul uban yang dengan terang-terangan mendukung Muntiah untuk terus menyalurkan bakat dan kreatifitas. Itu bukanlah hal yang janggal. Karena, tiada lain tiada bukan, ialah makhluk yang menetaskan Muntiah dan membebaskannya dari kungkungan rahim. Karena, lagi, ialah pengemis yang pensiun dini, sebab pekerjaannya telah digantikan oleh sang buah hati.
Sinok tidak butuh sebutir pun alasan guna menghentikan perilaku anaknya. Juga dalih untuk menyumpat mulut teman-temannya yang nyinyir, cerewet, gemar menghembuskan gunjingan pada gadis yang dadanya mulai terbentuk itu. Orang-orang atau bahkan setiap yang bernafas boleh mencemooh Muntiah. Sejalan dengan itu pula, ia juga berhak membiarkan anaknya mendapat apa yang ingin diraih, meski dengan jalan terkutuk sekalipun.   
Pagi itu, belum genap satu jam bekerja, Muntiah sudah menyeka dan mengeringkan keringat. Bersama ibunya, ia menghitung uang yang berhasil dikumpulkan. Para pengemis lain bergerombol, membentuk lingkaran kecil di samping kantor polisi. Dengan sinis mereka memandang Muntiah dari kejauhan.
“Lihat! Tuyul dari Bandung itu merampas penghasilan kita.” Hartati membuka pembicaraan. Seusai merayapi ujung rambut hingga ujung kaki Muntiah, sepasang matanya berkedip cepat. Dan, ia mendengus. Sebal.
“Iya, ya. Coba dia gak datang ke Jogja. Pasti pendapatan kita gak banyak berkurang.” Dewi menyambung. Seraya mencoba menimbang kadar kegeraman Hartati, keningnya berkerut.
“Dengar-dengar….” Karsih menyahut, “satpol PP di Bandung lebih galak ketimbang Jogja. Makanya si Mumun pilih ngemis di sini.” Kalau sedang kesal, ia suka memanggil bebuyutannya dengan Mumun; nama pocong di sinetron salah satu televisi swasta.
“Ssssttt… kita berkumpul bukan lagi-lagi untuk menggunjing. Itu kan sudah sering kita lakukan. Kali ini kita bakal buat perhitungan sama perempuan kemarin sore itu!” Suara Darmi cukup keras, memporakporandakan kalimat-kalimat pengejek yang tengah dirancang Kartiyem, Dasimah, dan Warni.
Lantas perempuan yang memosisikan diri selaku pemimpin tersebut melanjutkan, “perempuan tengik! Sialan! Siapa namanya?”
“Muntiah” Lima perempuan berteriak bersamaan.
“Mumun!!” masih memendam bara dendam, Karsih bersuara lebih lantang.
Mengerti apa yang dimaksud perempuan berambut pendek dan berbicara berapi-api itu, Wardah menyambut, “baik. Apa rencanamu?”

/Dua/
Dari mulut ke mulut, orang-orang, khususnya para sopir dan kenek bus, mengetahui bahwa di Jalan Cik Ditiro, terdapat artis cantik yang mengobral suara untuk siapa saja yang mengulurkan uang. Tak ayal, kemerduan suara, goyangan yang rancak dan seronok, kegenitan, kelincahan, serta hal apa saja seputar artis tersebut menjadi tema pembicaraan di terminal, warung, juga tempat nongkrong. Tiba-tiba para lelaki mendapatkan kembali semangat yang lama menghilang, lantaran menemukan bahan perbincangan yang menarik untuk dikaji lebih dalam, demi mengusir bosan, melupakan perselisihan dengan istri yang makin hari makin tajam, juga sekadar menyeduh hiburan.
Pembicaraan mengenai artis itu seakan tiada habisnya, bahkan selalu diperbarui dengan berbagai data menarik tentang dirinya. Bagi yang sudah bertemu langsung, ia akan menguatkan desas-desus yang menyebar dengan bermacam-macam narasi dan argumentasi. Sementara itu, bagi yang belum pernah, akan dibawanya wajah sang artis serta senyum manisnya serta tubuh sensualnya ke alam mimpi. Sampai-sampai ketika mereka mengigau memanggil nama Mumun, para istri menaruh curiga kalau-kalau suami mereka menyimpan kanca wingking di tempat bekerja.
Keingintahuan para sopir bus beserta keneknya membuat kekacauan di sepanjang jalan Yogyakarta. Pasalnya, akhir-akhir ini, mereka kerap menyalahi jalur bus yang telah ditetapkan. Demi mengetahui artis yang dimaksud, mereka bahkan rela untuk sementara kehilangan penumpang. Namun demikian, pengorbanan mereka berimbang dengan hasil yang diketam. Selepas mengetahui wajah serta penampilan artis idaman, mereka menjadi lebih gigih dalam bekerja, rajin memberi kehangatan kepada istri sejak mega berganti muka hingga fajar mendarat di pagi buta. Bagaimana pun juga, di satu sisi kehadiran sang artis sanggup meningkatkan gairah para kepala rumah tangga dalam memenuhi nafkah lahir dan batin istri tercinta, tapi di sisi lain, juga memperkeruh suasana, karena banyak pengguna transportasi umum kebingungan memilih bus yang mau ditumpangi. Alhasil, mau tidak mau pemerintah disibukkan dengan tugas baru: menjinakkan orang-orang yang selama ini turut membantu mendongkrak pemasukan daerah dan jumlah wisatawan dari mancanegara.

/Tiga/
Mumun berputar-putar laksana gasing. Seakan tiada pernah kehabisan tenaga, ia meliuk-liukkan lengan dan leher. Sekali dua ia menekuk lututnya. Melihat penonton kian berjibun, tampak ia begitu bersemangat. Jalan Cik Ditiro sesak, berjejalan para sopir, kenek, juga bus dari berbagai jurusan. Walaupun seluruh personil polisi lalu lintas dikerahkan, rupanya mereka tetap tidak berdaya memecah kerumunan. Anehnya, tiap kali peluit ditiupkan, pendatang baru malah berdatangan, seperti mendapat undangan.
Hadirin berbaris rapi. Mereka rela menguras isi dompet, demi melihat aksi dan atraksi artis idola. Begitulah. Setiap kali Mumun menyumbang satu lagu, setiap itu pula mereka melemparkan rupiah dari saku masing-masing. Pun, ibarat ronggeng, Mumun mendapatkan bayaran ketika mampu membuat orang di depannya mengulum ujung jakun, sebab tatapan mata yang garang atau gerakan erotis dari pangkal pinggulnya. Sebagai bonusnya, perempuan berjanggut lancip tersebut akan mencubit pipi siapa saja yang merelakan uang seratus ribu untuk dilempar di bawah kaki Mumun.  
Jam tujuh malam. Kerumunan membubarkan diri dengan tertib. Tanpa aba-aba dan perintah. Tanpa perlu menggerutu sebagaimana ketika menonton konser dangdut koplo di lapangan Kridosono. Mereka benar-benar memperoleh kepuasan. Tentulah mereka akan menularkan kepuasan itu kepada istri di rumah.
Bersama komplotan, Darmi mendekati Mumun. Karena mereka sama-sama pengemis, tiada seorang pun, termasuk polisi, curiga terhadap tingkah laku segerombolan perempuan berkerut pipi itu. Juga seumpama kalian berada di lokasi, mungkin hanya bertanya-tanya kenapa mereka berjalan terburu-buru, seolah menghindari kejaran satpol PP.
Dengan sigap, mereka menarik Mumun ke bawah pohon beringin besar. Gelap, mereka leluasa membungkam mulut Mumun dengan plester hitam, mengikat kedua tangan dan kakinya, serta memasukkannya ke karung besar yang telah disiapkan. Menggunakan becak Parno, suami Wardah, mereka membawa Mumun ke mulut Kali Code. Dan, segesit kilat, disaksikan angin malam, mereka bersama-sama menceburkannya ke aliran sungai yang sangat deras.

/Empat/
Pemerintah kelabakan. Rencana gagal berantakan. Padahal, andai saja sang artis, Mumun, masih memelihara nyawa, pastilah setiap minggu malam ia dihadirkan di depan kantor wali kota. Guna bernyanyi, bergoyang, menghibur para sopir dan kenek bus, juga semua lelaki yang mengaku kehilangan nafsu bekerja dan hasrat bercinta.

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar