Kamis, 18 April 2013

Sayembara Hobia dan Kegilaan Anaknya (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Joe Fiksi" edisi April 2013)


Hobia memasang siasat. Ia turun dari kamar dan menuju gudang senjata milik suaminya yang telah tiada. Di sana ia mengambil sebuah busur dan tabung berisi anak panah lalu membagulnya ke aula, loka di mana para pelamarnya berkumpul.
“Wahai, para pemburu cinta.” Lenguh Hobia. “Ini adalah busur milik Domus. Barang siapa di antara kalian mampu memasang tali busur ini dan melesatkan anak panah melewati tujuh belas lubang di ujung kampak yang disusun sejajar, maka ia berhak menggantikan posisi Domus.”
Ke tujuh pelamar Hobia berembuk. Mereka tengah memusyawarahkan siapa yang berhak mengambil bagian pertama kali. Binase, Joru, Obula, Guhor, Normuli, Suget, dan Paramican. Para ksatria itu hendak memperebutkan perempuan gilang-gemilang. Perempuan yang bersinar cerah layaknya mentari pagi. Perempuan yang bertutur kata kirana bagaikan embun yang menyentuh daun kasuari. Tubuhnya laksana pohon cemara. Bola netranya indah bak mata rusa. Rambutnya legam, tebal bergelombang. Hobia memang pantas menjelma buah bibir dan bahan obrolan yang enggan habisnya. Bila seorang lelaki menatap parasnya, niscaya jiwa lelaki itu akan gelisah dan membawa bayangannya dalam mimpi. Ya, perempuan yang meski pernah bersuami dan melahirkan titisan itu masih mengandung seribu pesona. Jikalau matahari tak terbit, cukuplah wajah Hobia yang menggantikannya. Bila rembulan malas menampakkan batang hidungnya, keelokan rona Hobia layak menyejukkan tanah Sutame.
Di antara para pelamar itu ada yang menarik untuk dicermati. Paramican; jejaka yang tak lain dan tak bukan adalah anak tunggal Hobia. Benar. Ialah hasil hubungan asmara perempuan cantik itu dengan Domus—yang jangkap berusia 18 tahun.  
“Kau mengkhianati leluhurmu, Ksatria.” Desis Binase, ketika menginjakkan kaki di pelataran rumah Hobia.
Paramican membisu. Lidahnya urung bergeser dari tempat semula. Ia tak tergoda secuil pun meladeni buah kalam ksatria berhidung bengkok itu. Selaku bujang satu-satunya Hobia, Paramican kurang tega melihat cinta ibunya diperebutkan oleh keenam lelaki yang riwayatnya belum genap ia ketahui. Sebelum berangkat menemui ajal, ayahnya melempar wasiat: “jagalah ibumu baik-baik, Anakku”. Dan, kini, ia bermaksud sepenuh hati menjalankan wasiat tersebut.
Meski Paramican menampung darah Domus—yang mashur dengan kepiawaiannya dalam memanah—, para ksatria itu sama sekali tak mengkhawatirkan kemampuannya.
“Bisa apa jejaka buntung itu?.” Obula membuka katup mulutnya.
“Anak malang. Gara-gara jadi taruhan Domus dalam perlombaan berburu serigala, ia yang harus menderita. Tangan kanannya ditebas oleh Trocus”. Sahut Normuli.
***
“Sudahlah. Daripada membuang waktu sia-sia, lebih baik kau urungkan niat, Paramican. Kami berenam yang beranggota badan sempurna kesulitan menembus lubang-lubang mungil itu. Apalagi kau, haha…”
Biji tutur Joru menyengat telinga Paramican.
“Tahukah kau, keturuan Domus yang dungu? Suget saja yang setiap senja menghunjamkan dua puluh satu panah ke paruh burung moyi dalam keadaan terbang, cuma tiga belas lubang yang dapat ia lalui.”
Imbuh Hugor seraya membusungkan dada.
Paramican mengernyitkan dahi. Matanya merah bara—tanda bahwa amarahnya memuncak. Ini kali, cercaan dua ksatria itu telah menggulung sendi-sendi etika hingga melampaui batas. Sebelumnya, jarang sekali ia mengunyah perkataan kasar sedemikian rupa, selain dari Protto, si lidah tajam. Kata-kata mereka menyayat perasaan Paramican. Dan kesabaran manusia tetap ada piasnya.
Sepamakan sirih kemudian, dengan merapatkan jemari, suara Paramican memecah udara: “Jika aku berhasil melakukan, apa yang bakal kalian berikan padaku?”
Guhor yang semenjak tadi berdiam diri, langsung mengulurkan jawaban meyakinkan: “Kepalaku yang akan kuserahkan!”
Jawaban yang terselip di luar purbasangka. Jawaban yang berhajat meremehkan  Paramican. Kelima ksatria tercengang dengan keputusan Guhor yang dinilai terlalu nekat. Namun, karena tertantang, akhirnya Binase, Joru, Obula, Normuli, juga Suget secara serentak meluncurkan madah. “Kepala kami juga, Paramican”.
Paramican mendengus. Betapa ia merasa dianggap lajang yang belum pernah menyentuh busur. Betapa ia diterka tiada mafhum tentang bagaimana mengalirkan anak panah pada sasaran. Betapa ia dijatuhkan serendah-rendahnya, sampai-sampai bagian tubuh terpenting keenam ksatria itu berani ditumbalkan.
“Kalian akan menyesal, Para Ksatria.”
Lantas ia tarik busur yang menggantung di lengan Suget. Dengan tangan kiri selaku pemegang busur dan gigi berperan mengawat anak panah, ia siap menunjukkan kebolehannya. Memorinya masih sangat kuat untuk sekadar merekam pesan sang ayah: “Dalam memanah, yang mesti diperhatikan hanyalah tempat di mana kau arahkan anak panahmu, Paramican. Bukan yang lain.”
Segesit kilat Paramican beraksi. Aksi memukau yang mengantar enam ksatria memungut janjinya. Aksi kegigihan Paramican dalam melibas kesombongan mereka. Benar. Tujuh belas lubang di ujung kampak yang disusun sejajar oleh ibunya berhasil ia terobos dengan satu anak panah.
***
“Kau wajib memenuhi janji, Anakku.”
“Tapi aku darah dagingmu, Ibu.”
“Seorang ksatria hendaklah memegang teguh kata-katanya.”
Sejak itulah, keguncangan melanda Sutame. Ikatan terlarang antara ibu dan anak menelurkan gunjingan luar biasa. Penduduk digemparkan dengan sesuatu yang sukar diterima logika. Moras, klan keluarga Hobia, mengutuk habis-habisan ulah melenceng sepasang ibu dan anak tersebut.
“Terlaknat kau, Hobia. Domus pasti marah dengan perbuatanmu. Tak sudi kami menganggap dirimu bagian dari klan suci ini.” Pekik Rosum, tetua klan Moras, kala menangkap urita memalukan itu dari Lohan.
Saban kali sepasang suami-istri—sekaligus anak-ibu—itu berjalan ke pasar Gire, orang-orang melambungkan umpatan: gares, muss, hebb; kata-kata keji yang ditujukan kepada mereka berdua. Kata-kata yang kalau diterjemahkan—meski kurang mewakili padanannya—adalah: anjing, tahi, dan sialan. Sebagian besar para pedagang serta-merta menutup toko mereka, sebab khawatir lekas mengantongi musibah kalau sampai Hobia dan Paramican mendekat. Sesuai mitos yang disebarkan oleh nenek moyang: “seorang anak yang mempersunting ibunya sama saja mendatangkan bencana selama dua puluh tahun bagi tempat yang ia kunjungi.”
***
Paramican terperanjat kala memergoki Hobia. Serata tubuh Hobia diselimuti warna merah. Merah yang bukan sosok mega saat surya pulang ke peraduan. Merah yang mengindikasikan cairan kental pembawa sel-sel manusia. Benar. Jasad Hobia menghembuskan rimbun darah—yang berpunca dari leher. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sekiranya ia mengajak Hobia berburu ikan bersama. Andaikan ia tak meninggalkan Hobia teronggok sekoteng di rumah. Atau kalau saja ia menunda dulu kepergiannya dan menemani Hobia yang sedang diserbu gundah. Tentu musibah itu urung terjadi. Pikirnya.
Sejak ditinggal Hobia, Paramican bertingkah aneh. Ia kerap berlari-lari di selingkar hutan Tesse. Ia juga sering mengoceh sendirian. Bila kebetulan menemuinya, orang-orang memanggilnya Ermu—nama yang disematkan bagi si hilang akal.
Sebelum ayam jago berkokok dua kali, Paramican keluar dari rumah; menggelinding tanpa arah. Ia ingin memuntahkan segala kegundahan pada pohon dan bunga yang dijumpainya.
Paramican gemar berlama-lama menggelesot di bukit Lomu. Di sana ia dapat dengan leluasa memanggil-manggil Hobia serta menghanyutkan airmata. Aroma kehidupannya raib, hingga menyebabkannya rajin putus asa. Yang lebih parah, ketika rindunya membuncah, Paramican akan menziarahi kuburan Hobia. Ia mengendap-endap saat memasuki Nero, taman yang menghubungkan bukit Lomu dengan tempat di mana mayat Hobia dibaringkan. Tatkala hinggap di ujung taman, jantungnya bergetar hebat. Bukan lantaran takut dipergoki oleh kakek bungkuk yang bertugas menjaga makam. Bukan, bukan. Namun karena jarak antara dirinya dengan Hobia begitu dekat. Apabila berhasil lolos dari indra penglihatan Qori—si juru kunci tadi—hatinya mengayuh gembira. Sebab, ia bisa mencium nisan ibu sekaligus istrinya itu dari pagi buta hingga tengah malam.
***
Esok adalah hari dimana prajurit Sutame menghadapi kebengisan orang-orang Fiour. Mereka sangat membutuhkan ksatria yang dengan tangannya mampu memukul mundur kekuatan lawan.
Sungguh disesalkan. Dengan penyakit jiwanya, Paramican tak sanggup lagi diharapkan. Sedang ke enam ksatria—Binase, Joru, Obula, Guhor, Normuli, serta Suget—yang selama ini didapuk menjadi kekuatan utama bagi pasukan perang Sutame, telah meregang nyawa di tangan Paramican.  

Yogyakarta, 2011

Catatan:
Cerpen ini terilhami dari “Laila Majnun”, karya Syeikh Nizami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar