Rabu, 24 April 2013

Serbuk Khianat buat Sahabat (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 21 April 2013)


Kecantikan Srintil senantiasa meruap laksana harum bunga kamboja tertiup angin utara. Berkulit langsat, berwajah purnama, berambut malam, bergigi mentimun, bersenyum embun. Entah, sekali lagi entah, cahaya jenis apa yang berseliweran di selingkar tubuhnya; hingga serata pemuda di desa kami kelenger bak babi hutan disergap pemburu kelaparan—kala bertembung muka dengannya.
Tunggu dulu! Lebih baik kalian tak mudah percaya dengan bualan kami. Bualan yang seutuhnya jauh dari benar ini. Kenapa? Tentu, enggan kami mengantongi gelar pengecoh sejati. Atau pembohong kelas tinggi. Lantas? Sabarlah serejang. Bila boleh berkotek, sesungguhnya apa yang kami sajikan di sini, tak bakal sanggup mewakili keelokan fisiknya. Akan tetapi, kalian mungkin tak hendak menolak jika kami melempar kalam bahwa kesempurnaan yang menempel pada diri Sritil adalah kesempurnaan seorang bidadari. Ya. Bidadari yang mendarat dari surga dan terdampar di bumi.
Di desa kami, pembicaraan mengenai tokoh idola Srintil merupakan menu utama bagi siapa saja, terlebih lagi para pemuda. Di gang, pos ronda, warung kopi, atau gubuk tengah sawah sekalipun, selalu saja nama gadis berlesung pipit itu disebut. Lembut perangainya, halus gaya bicaranya, dan segala tingkah-polahnya layak dielukan. Kedigdayaannya dalam menjerat kaum pejantan patut menadah pengakuan. Alamak! Pesonanya memang sungguh luar biasa. Pukaunya rajin mencolek kalbu dan jiwa. Kalau boleh kami ibaratkan, ketakjuban pemuda-pemuda itu layaknya keterpincutan Qais pada Laila, atau kekaguman Romeo pada Juliet.
Di antara pemuda pemuja dan penggandrung keanggunan Srintil itu ialah Ompu dan Tejo. Dua remaja yang sejak melungguh di bangku SD memilin ikatan persahabatan. Dua jejaka yang menyandang keadaan saling berlawanan. Jangan salahkan kami! Sekali lagi, kami sekadar mencoba jujur dan bermoncong apa adanya. Benar. Ompu tiada lain adalah jejaka buruk rupa, miskin harta, lapuk tabiat pula. Beda halnya dengan Tejo yang rupawan, hartawan, serta penimbun kebaikan. Ah, rasa-rasanya kami kurang adil memperlakukan keduanya. Namun, itu realita! Barangkali kalian menuduh bahwa kami punya kepentingan dengan hal ini. Aih, aih, aih… Jika benar demikian, asal tahu saja! Tuduhan itu sama sekali tak berdasar dan bisa dikategorikan fitnah.
Sepertinya, kurang pas bila dikatakan bahwa Ompu dan Tejo tercipta padat perbedaan. Paling tidak—sesama manusia—tersua sebiji persamaan yang kebetulan teronggok di tubuh keduanya. Dan, tahukah kalian? Kalau persamaan tersebut berada pada keberanian mereka berdua untuk menanam biji asmara di lubuk hati terdalam. Keberanian menaruh rasa pada putri kepala desa. Keberanian yang tak bakal dijamah oleh semua pemuda, kecuali Ompu dan Tejo. Siapa pun akan ciut nyali jika beradu kening dengan pemandu desa kami, Pak Sugiya. Seseorang yang pada suatu kali baiknya setengah mati, namun pada kali lain—ini yang paling sering—galaknya menjadi-jadi. Entahlah. Boleh jadi mereka berdua sudah gila. Walakin, kerap kali kegilaan mengantar manusia menyadari apa yang paling suci di dunia; ialah cinta.    
***
Sebutir perjanjian jangkap digulirkan oleh Ompu dan Tejo. Mereka berdua bagai dua ekor singa yang berebut satu buruan. Dan buruan tersebut adalah—siapa lagi kalau bukan—Srintil.
Guna meloloskan hasrat, terbitlah persaingan antara dua sahabat. Persaingan yang tampaknya lebih tepat dijuluki sebagai persaingan kurang seimbang. Bagaimana tidak? Persaingan Ompu-Tejo merupakan persaingan yang berhembus antara dua ekor singa yang berlainan kualitas. Yang satu tinggi besar, berbadan kokoh, bertaring panjang, kuat, dan mengaum lantang. Adapun satunya cebol, ceking, bertulang kambing, ompong, kudisan, lembek suara pula. Kami sempat heran, meski kurang dapat dicerna, ternyata persaingan ganjil tersebut terwujud juga.
Mulai hari pertama hingga keempat puluh, Ompu dan Tejo menjalankan ikhtiar masing-masing. Mereka rela memeras peluh dan air mata demi menjuarai persaingan. Persaingan yang mau tak mau mendesak harga diri keduanya dipertaruhkan. Dan, singkat cerita, nyatanya keberuntungan berpihak pada Tejo. Ompu takluk, jadi pecundang. Terang saja! Puan yang raib akal sekalipun bakal berminat pada Tejo ketimbang Ompu.
Ompu muntab. Benar-benar ia belum sanggup mengunyah kewirangan. Di mana-mana, amarah lekas menguasai si kalah. Sehingga, seenak udelnya, ia menuding seterunya telah melanting pelet pada Srintil. Bahkan, lebih dari itu, ia menganggap bahwa hanya demi mereguk kemenangan, begitu teganya Tejo mengesampingkan persahabatan.
Mulanya, Tejo tak ambil pusing dengan tindakan Ompu. Ia hanya tercekat ketika sahabat yang sering diajak mengetam jagung itu berkhianat. Namun, sialnya, jenderal syetan lebih berjaya. Makhluk paling durhaka dan sok pintar tersebut genap mengerahkan komplotan begundalnya untuk membujuk keteguhan Tejo. Terdesak rayuan, Tejo pun oleng. Kini, di antara sesetel sahabat tersebut berdiri dinding permusuhan yang begitu kekar, tebal, sekaligus mengakar.
***
“Anakku, pergilah ke kaki gunung Lowoireng, dekat desa Moroklawu. Di sanalah Kakekmu bertapa.”
Kalam itulah yang meluncur dari katup mulut perempuan renta kala menyambut keluhan anaknya. Sungguh, Ompu berbulat niat untuk melakukan apa saja guna menebus kegagalannya dalam perhelatan berburu Srintil. Ia gelap mata. Hingga kisah ini diwartakan, kami belum dapat menebak jin apa yang berhasil merasuki kepalanya.
Bertelanjang kaki, Ompu bertolak ke loka tujuan. Di sana, ia hendak memetik gemblengan serta didikan Mbah Karwo, sepuh sakti yang mendirikan puluhan perguruan pencak silat di berbagai tempat.
Membanting sepatah kata saja belum sempat, Ompu sudah dibuat tergemap. Rupanya, jantan berumur hampir seabad itu telah mengendus maksud kedatangan cucunya dengan berkecek enteng, “kalau cuma untuk balas dendam, serbuk ini lebih dari cukup, Cucuku.”
Sambil mengeluarkan botol berisi serbuk hitam, Mbah Karwo melanjutkan, “tapi, untuk memperolehnya, kau harus memenuhi dua syarat.”
“Apa syaratnya, Kakek?” segesit kilat bibir Ompu bergetar.
“Pertama, kau wajib ikut aku bertapa selama tiga tahun.”
“Kedua?”
“Sebelum serbuk ini kau gunakan, kau harus menjadikan binatang tak berkaki sebagai makanan keseharianmu.” 
Dahi Ompu bergelombang. Sepasang alisnya mengait. Sepemakan sirih kemudian, Mbah Karwo menghunjamkan pertanyaan, “Apa kau sanggup, Cucuku?”
“Baiklah, Kakek. Aku sanggup.”
***
Guna memuluskan tujuan, sepulang dari pertapaan, Ompu masih menghindari pantangan dari Mbah Karwo. Demi menyumpal lambungnya, ia menyantap cacing dan ular. Saban hari, ia mengendap-endap di hutan Rowokidul guna menangkap santapan pokoknya. Jika belum mendapat jatah tiga kali makan, ia pun enggan pulang.
Meski Ompu berusaha seliat tenaga menutupi kebiasannya, sebagian dari kami telah memafhuminya. Hal itulah yang takah-takahnya memicunya tertekan. Pasalnya, ia diduga melakoni ritual ilmu hitam. Tak ayal, dendamnya kepada Tejo kian menggumpal; hingga apabila dendam itu tersentuh benda tajam, pastilah akan pecah berkeping-keping.
Didorong bermacam pertimbangan, Ompu menganggap bahwa sekaranglah saat yang tepat untuk bersiasat. Ia hendak menemui Tejo dan melucuti kesumatnya. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan Kawi yang tengah memanggul sekarung beras. Memanfaatkan kesempatan, ia pun menghunus pertanyaan, “Hai, Kawi. Kau tahu di mana Tejo tinggal?”
“Tejo bermukim di desa Karanganyar. Ia sudah lama pindah ke sana, semenjak menikah dengan Srintil.” Dengan polosnya, Kawi mendedahkan jawaban.
Mendengar kaul buruh kasar itu, Ompu ingin muntah. Betapa kebencian yang dirawatnya semakin bertambah. Nekat betul Tejo menikahi gadis tepian matanya itu. Lantas ia mempercepat langkah agar bisa segera melampiaskan kegeraman. 
“O… Mas Ompu. Silakan masuk, Mas.”  
Buah tutur dan sambutan Srintil yang begitu kalem mudah memperdaya Ompu. Ia menurut layaknya anjing dituntun majikan. Ia sadar, sepenuhnya sadar, bahwa lelaki berhidung bengkok itu hanya ingin berurusan dengan Tejo; bukan yang lain. Tak perlu kiranya, dendam yang sedang ditabungnya menjalar pada tubuh perempuan yang pernah dipuja-puja itu. Cukuplah si bedebah Tejo yang laik melunasi kejengahan serta keberangannya.   
Sebenarnya, kami baru paham, bahwa Srintil ternyata sama sekali tak mencium bau permusuhan antara Ompu dan suaminya. Selama ini, bayangkan! selama ini, ia menganggap bahwa hubungan persahabatan antara keduanya baik-baik saja. Apalagi, Tejo juga tak suah menceritakan perihal kondisi perkaribannya itu.
Menggelesot di atas tikar daun pandan, Ompu menanti kemunculan Tejo. “Sebentar lagi kau bakal mampus, Tejo”, batinnya memekik.
Srintil keluar dari dalam dengan membawa daging kijang yang baru saja dipanggang. Perempuan berambut sebahu itu menghidangkannya di depan Ompu.
“Dimana suamimu?” Ompu bertanya tak sabar.
Ngapunten, Mas. Dari tadi pagi, Mas Tejo mencangkul di sawah. Mungkin sebentar lagi pulang. Monggo Mas, dimakan. Ini hasil buruan Mas Tejo kemarin.”
Menghirup aroma daging lezat meliuk-liuk, khatamnya Ompu lupa diri. Menunggu datangnya Tejo, bukanlah kesalahan jika ia menikmati secolek daging kijang sambil memandangi kecantikan Srintil. Barangkali begitulah pikirnya.
Jemari kanan Ompu mencubit dan menyantap suguhan yang menggoda itu. Sekonyong-konyong, lidahnya melepuh. Dari mulutnya menyembul ribuan cacing dan ular. Serbuk yang dikantongi tumpah, mengakibatkan serata tubuhnya hangus menghitam. Tangan beserta kakinya mengeras. Dan…..

Yogyakarta, 2012

Catatan:
Ngapunten       : maaf (bahasa Jawa)
Monggo           : silakan (bahasa Jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar