Minggu, 12 Juli 2015

Buku dan Perselingkuhan Terselubung (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 12 Juli 2015)


Negeri ini sedang dilanda problematika kepalsuan, baik di ranah privat maupun publik. Berbekal kenekatan dan teknologi, begitu mudahnya originalitas dan legalitas dipalsukan. Realitas ini antara lain karena manusia gemar menggapai tujuan dengan cara instan. Tanpa proses panjang, sesuatu bisa didapat, asal ada uang. Lahirlah para penjunjung tinggi ‘demokrasi wani piro’ dengan indikasi utama yaitu pragmatisme yang diagung-agungkan.
Fenomena ini dibaca dengan cermat oleh kaum materialis. Mereka berusaha menghubungkan kebutuhan dasar manusia dengan pasar. Atas dasar inilah, seks, sebagai kebutuhan biologis manusia, dipilih sebagai lahan bisnis. Berkembanglah bisnis prositusi, mulai kafe remang-remang, panti pijat plus, hingga prostitusi artis.
Seks sebagai lahan bisnis selalu membuka peluang bagi siapa saja yang ingin mengembangkannya. Maka, oleh produsen, dibuatlah buku nikah palsu, yang memberikan fasilitas terhadap perselingkuhan terselubung. Meskipun tidak menyediakan layanan syahwat secara langsung, buku nikah palsu memudahkan penggunanya berbuat mesum dengan lebih ‘bermartabat’.
Munculnya buku nikah palsu mengindikasikan adanya simbiosis mutualisme antara orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan dengan pasangan pria-wanita yang terhalang persyaratan administratif dan kesulitan melaksanakan nikah syar’i. Dengan buku nikah palsu, kumpul kebo dilegalkan. Sesetel kekasih yang ingin ‘menginap’ di hotel, tidak perlu khawatir lagi digerebek Satpol PP, sebab memiliki buku nikah palsu. Keinginan hidung belang menikahi gadis belia, tanpa melibatkan mertua, tentu terwujud, sebab mengantongi restu buku. Di sinilah buku menjadi pembenaran atas tindakan asusila. Buku menjadi aksioma atas penyelewengan manusia. Kemaksiatan mendapat jalan lempang atas sokongan buku.
Oleh mereka yang tidak bertanggung jawab, buku dijadikan tameng dalam melancarkan gelagat buruk. Sudah banyak kasus kriminalitas yang menjadikan buku sebagai sarana. Mulai bom buku, penyelundupan narkoba dengan buku, hingga penyusupan paham radikalisme melalui buku.
Isi buku juga sering kali dipolitisir, digunakan untuk beragam kepentingan. Manusia mudah memelintir teks-teks dalam buku demi menuruti hawa nafsu. Akibatnya, kebenaran menjadi sangat relatif, karena manusia bisa memanfaatkan teks sesuai situasi dan kondisi. Buku memanggul beban psikologis, karena terpaksa mengamini kehendak manusia. Buku yang awalnya bersifat sakral berubah menjadi banal.
Sialnya, buku tidak bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuasaan penuh memasukkan teks—termasuk ijab-qabul pernikahan—dalam buku berada di tangan manusia. Sejalan dengan konsep free will, manusia bisa memilih untuk menjadikan buku sebagai medium berburu pahala atau alat pencetak dosa. Buku hanya menerima hasil akhir ikhtiar dan ijtihad manusia.
Apa yang lantas terjadi? Buku tidak lagi identik dengan peranti penyampai kebenaran, penyalur ilmu pengetahuan, serta penabur biji kebaikan. Di hadapan penguasa, buku cenderung mengantongi stereotip negatif. Dalam catatan sejarah, gelombang budaya anti demokrasi yang ditandai pada 1 Oktober 1965 menghalalkan pembakaran terhadap jutaan buku, terbitan, dan pemikiran-pemikiran manusia Indonesia (Arimardana, 2015). Karya-karya yang mengusung ideologi komunis sengaja dimusnahkan, sebab dinilai mengingkari amanat konstitusi. Bagi Orde Baru, membakar buku adalah hal yang lazim. Padahal, mengutip Heinrich Heine, penyair Jerman: “where books are burned, human beings are destined to be burned too”.
Anehnya, kediktatoran penguasa terhadap buku terus berulang. Sebab dianggap melanggar ketertiban umum, Kejaksaan Agung pernah melarang beredarnya beberapa buku, antara lain: Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Lekra Tak Membakar Buku (Merakesumba Lukamu Sakitku), dan Enam Jalan Menuju Tuhan (Hikayat Dunia).
Jika kekejian terhadap buku dibiarkan, maka kita bisa memprediksi, 100 tahun kemudian, peribahasa-peribahasa buruk mengenai buku bermunculan. Seperti “seburuk-buruk teman adalah buku”, “sebuah buku ibarat duri yang dibawa dalam kantong”, dan “aku tak akan pernah lebih beruntung darimu, sebab aku punya ibu yang selalu membacakan buku untukku”.
Terlepas dari ketentuan bahwa pemalsu buku nikah bisa dipidana, yang pasti memanfaatkan buku untuk perbuatan menyimpang jelas tidak dibenarkan. Pasalnya, lambat laun, hal ini menjadikan kepercayaan manusia terhadap buku luntur; Lembaga-lembaga penerbitan dianggap abal-abal; Manusia-manusia yang berkhidmat pada buku dituduh sebagai makelar, perantara bagi mereka yang mampu menukar kenikmatan dengan sejumlah uang.
Adanya buku nikah palsu menambah daftar rentetan kepalsuan di negeri ini. Mulai dari uang, ijazah, beras, daging, merica, dokter kecantikan, paket umroh, kosmetik, obat, hingga batu akik. Hal ini mengingatkan kita pada puisi Agus R. Sarjono bertajuk “Sajak Palsu” (1998) berikut:
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu/ Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu/ Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu/ Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu/ Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru//
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu/ Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu/ Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu/ Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu/ Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu//
Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu/ Maka uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu//
Dengan demikian, Anda dituntut waspada. Jangan-jangan, artikel yang sedang Anda baca ini juga terindikasi palsu!

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar