Sabtu, 24 November 2012

Boneka Cantik (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kendari Pos" edisi Sabtu, 24 November 2012)


Darwin putus asa. 35 tahun bukanlah usia muda lagi. Rasanya, tiada puan yang mau dengannya. Siapa pula hendak kawin dengan lulusan SMA, yang belum mengantongi pekerjaan tetap. Sekarang pengamen. Lusa menjelma pengecer koran, cleaning service, buruh, kenek, atau kuli bangunan. Didukung dengan tampang lumayan amburadul, penampilan compang-camping, bertato cacing, serta berjenggot tebal. Puan mana yang tega menadah cintanya. Kalau pun toh ada, mungkin nenek tua yang sececah lagi nyemplung kuburan. Paling mentok, perawan renta dengan otak tengah terganggu. Atau janda yang butuh sandingan, demi menghindarkan diri dari setan.
Darwin mulai berburu hiburan guna menundukkan stres. Stres merencah nasib. Stres menyambut julukan yang terlanjur lengket di tubuhnya, ‘bujang lapuk’. Melamun di teras berteman secangkir kopi, ia teringat Nanang, tetangga yang rumahnya teronggok di ujung gang. “kalau gak ada kerjaan, main-main aja ke sini.” Kalam yang muncrat dari lidah Nanang, terakhir kali dikunjungi Darwin.
***
Awalnya, Darwin urung membongkar perasaan. Dalam benaknya, jika nekat mengatakan, pasti si gondrong bergigi mancung itu menertawakannya atau menggunjing habis-habisan: “edan!”, “eiy, kamu ngomong apa?”, “masih waras kan, Dar?”.
Lambat laun Darwin tak sanggup menahan perasaan yang kian meluap. Berulang kali ia berusaha membakar perasaan terkutuk tersebut. Bukannya lenyap, justru malah menguat. Melebihi perasaannya pada Jariyah, Atun, Dewi, Henik, dan Siti. Puan-puan yang sempat menempel di kepalanya.
Akhirnya, ia mentransfer sms ke Nanang. Sms singkat: “lg ngapain?”. Hingga ayam berkokok, HP-nya mematung, tanda sms tak berbalas. Darwin kecewa berat. Berhari-hari ia meringkuk di kamar. Badannya dingin panas. Bibirnya menggigil. Giginya pening. Kepalanya pusing sebab sibuk memikirkan sms yang dilayangkan.
Selasa malam, selingkar jam 8, HP-nya meraung. Di inbox muncul identitas ‘N’. “Maaf, baru puny pulsa. Da pa?”. Seketika, ia bangkit dari ranjang. Sakitnya seakan hilang. Peluang ia manfaatkan sebaik-baiknya dengan menyerang pengirim sms sampai kira-kira jam 1 dini hari. Setelah itu, kata-kata Darwin rajin sekali menyerbu nomor Nanang. Terkadang, sengaja ia gunakan nomor baru; pura-pura nyasar. Perjuangannya berbuah. Nanang berhasil ia ajak malam Minggu-an di alun-alun kota Salgita. Memandangi wajah bulan serta menikmati jagung rebus Pak Simo.
***
Darwin menjalin hubungan dengan Nanang, layaknya sepasang sir-siran. Dalam HP-nya, entah berapa ratus sms yang tersimpan. Sms dari lelaki yang sungguh ia sayang, juga menyayanginya. Sms yang kalau dibaca lekas membuat hati terbang ke angkasa. Sms yang berujar: “met bobok. Mimpi indah, ya”, kala waktu mengisyaratkan jam 10 malam. Juga rayuan sedikit menggombal: “uda makan lum? Sini sy suapin.” Atau semacam pertanyaan yang pura-pura iseng: “uda mandi lum?”. Dan banyak lagi sms mesra yang kurang pantas jika dituturkan di sini.
Ya, Darwin tahu ini cinta terlarang. Cinta sesama jenis. Cinta sesama makhluk Adam. Begitu pula sebaliknya dengan Nanang. Tapi apa boleh buat. Darwin memilih Nanang, karena hanya Nanang yang siap menerima dirinya apa adanya. Nanang pun demikian. Ia menjatuhkan pilihan pada Darwin, bukan miskin pertimbangan. Darwin ia kenal selaku sosok sederhana, agak nyeleneh, dan setia menampung curhat-curhatnya. Memang, selama ini tiada yang bersedia mendengar keluh-kesah yang dipelihara. Maklumlah, pelukis kelas kambing ini hidup terkoteng-koteng. (Hal ini dikecualikan dengan kucing loreng-loreng yang ia asuh). Tak seorang pun hafal seluk-beluk keluarganya, berapa jumlah saudaranya, di mana kota kelahirannya, termasuk ia sendiri. Persis makhluk buangan. Makanya, batin Nanang acap melempar tanya: “apa aku ini anak jadah?”
***
Berpacaran 3 tahun, Nanang bosan menenggak gunjingan. Alangkah sukar mempertahankan cinta yang jarang dicerna logika. Usai berdebat panjang dengan hatinya, ia goreskan pena pada sehelai kertas lusuh dan menaruhnya di gardu dekat kebun Pak Lurah, loka dimana ia beranjangsana dengan Darwin.
“Jalan ini yang harus kutempuh, Sayang. Kuharap kau mengerti keputusanku.”
Itulah kalimat pemungkas surat Nanang. Melankolis namun tragis.  
***
Meraup recehan di perempatan Jalan Pattimura, Darwin—dengan keringat masih mengucur deras— ergegas menuju sebiji mall. Gitar kesayangannya dititipkan ke Pak Munal, penjahit sol sepatu di samping toko buku Gramedia. Sebenarnya, Darwin hendak memborong 2 kardus mie instan—tipe makanan murah meriah yang jadi idola. Saat mata berayun ke sana kemari, ia dapati boneka cantik tergolek dalam etalase, bercampur dengan asesoris remaja. Entah apa yang nongkrong di otaknya, tiba-tiba saja Darwin membatalkan hasrat dan menyambar boneka bergaun merah berbandrol 30.000 rupiah. Tentu, harga yang tinggi bagi pengobral suara sepertinya.
Tiba di rumah, Darwin langsung membaringkan tubuh boneka, mengepang rambut boneka dengan karet nasi bungkus yang dibeli dari Mbok Sri. Belum pernah ia temui boneka semenawan itu. Darwin memberinya nama Lily, boneka yang kelak ia persunting sebagai istri. Menggantikan Nanang, yang terburu-buru meninggalkan dunia.

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar