Senin, 10 April 2017

Revitalisasi Budaya Maritim (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 10 April 2017)


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum lama kembali menenggelamkan kapal pencuri ikan. Kali ini, ada 81 kapal yang ditenggelamkan di Bali, Pontianak, Aceh, Tarempa, Sorong, Merauke, Belawan, Tarakan, Natuna, Bitung, Ambon, dan Ternate. Dari Oktober 2014, sudah ada 317 kapal yang ditenggelamkan. Kapal maling tersebut milik Tiongkok satu, Belize satu, Papua Nugini dua, Indonesia 21, dan Thailand 21. Kemudian, dari Malaysia 49, Filipina 76, Vietnam 142, dan tanpa bendera empat kapal. Upaya untuk memerangi illegal fishing serta melindungi sumber daya maritim.
Secara historis, dulu Nusantara merupakan negara maritim tangguh di tataran global. Salah satu tanda kebesaran Nusantara sebagai “bangsa laut” ditemukannya sejumlah pelabuhan masyur, di antaranya Banten dan Gresik (Jawa Timur). Perubahan suatu wilayah menjadi pelabuhan memerlukan proses, waktu, serta sejumlah faktor pendukung. Bila ditelisik secara mendalam, pelabuhan-pelabuhan tersohor ternyata berawal dari desa kecil yang kurang berarti, tapi berkembang menjadi cikal-bakal pelabuhan prestisius.
Transformasi Banten menjadi “pelabuhan perdagangan” tercapai dalam beberapa dasawarsa. Mula-mula pelabuhan ini merupakan desa nelayan kecil di bawah kekuasaan pengikut Sultan Demak tahun 1527. Setelah ikatan dengan kekuasaan tertinggi melemah, perlahan Banten menancapkan hegemoninya atas Jawa bagian barat dan segera melampaui Sunda Kelapa, selaku pusat perniagaan. Lantaran berdekatan dengan Selat Sunda, Banten menjadi pantai barter yang menyenangkan bagi para pedagang musiman dari Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan (LĂ©onard BlussĂ©, 2004: 71).
Pengukuhan Gresik selaku pelabuhan strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia tidak bisa terlepas dari asal-muasalnya. Menurut cerita Tiongkok, karangan Ma Huan (1433), Gresik merupakan sebuah “desa baru” yang dalam bahasa Mandarin dinamakan Ko-erh-his, timur Tuban yang dulu merupakan daerah pantai berpasir. Antara tahun 1350 dan 1400, pendatang dari Tiongkok Tengah membangunnya menjadi sebuah desa baru. Kemudian, pada tahun 1400, Gresik maju signifikan. Saat Ma Huan datang, Gresik telah mendaulat diri sebagai kota pelabuhan terbaik dan terpenting (Endjat Djaenuderadjat, 2013: 207).
Keberadaan dua pelabuhan tadi membuktikan negeri ini pernah menjadi perhatian internasional dalam jagat maritim. Pelabuhan tidak hanya menunjukkan tempat transit kapal, lokasi keberangkatan-kepulangan penumpang, serta sarana menawarkan barang dagangan, tetapi juga menandakan tingginya skill orang-orang Nusantara dalam bidang kelautan. Keperkasaan mereka terlihat dari cukup seringnya hidup dan bekerja di laut.
Dalam berbagai situasi, mereka begitu teguh menghadapi ganasnya ombak. Mereka menyadari mesti tegar. Mentalitas inilah yang membuat mereka sangat kuat dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan. Para pendahulu bangsa mengukuhkan diri sebagai pelaut andal.
Peninggalan budaya maritim Nusantara seolah tidak berbekas, kecuali mitologi-mitologi kuno yang masih dapat diselamatkan. Upaya pelestarian mitologi oleh masyarakat berhasrat mengungkapkan betapa laut adalah entitas penuh makna bagi kehidupan. Sayang, mitologi tersebut bukannya mewariskan mentalitas pelaut pada generasi masa kini, melainkan sekadar merepresentasikan simbol dan hajatan seremonial.
Masyarakat Desa Kundi sekitar Pulau Bangka memegang teguh kepercayaan upacara adat ceriak laut. Selain menyelamatkan sampan atau perahu yang melewati Tanjung Tadah, upacara ini untuk menghalau setan dan hantu seberang yang ingin merusak ladang perkebunan. Setelah dukun laut memastikan bulan dan hari tepat, masyarakat mempersembahkan nasi kuning, ketan hitam, dan ayam panggang kepada roh-roh halus nenek moyang serta keturunan leluhur dukun laut (Djoko Pramono, 2005: 147).
Mitologi yang berkaitan dengan laut juga ditemukan pada masyarakat nelayan di Desa Brondong, Lamongan. Bagi mereka, ritual serbamagis mesti mengiringi aktivitas mencari ikan. Sejak lama, mereka mempunyai kebiasaan memuja roh terkait penangkapan ikan. Ritual tersebut dinamakan tutup layang (menggulung layar). Di lepas pantai, sesaji sengaja dipersembahkan bagi Kiai Anjir yang diyakini sebagai roh penunggu lautan.

Tenggelam
Budaya maritim semakin tenggelam lantaran banyak suku mengabaikan eksistensi laut, pantai, serta pesisir. Mereka cenderung mengutamakan wilayah pedalaman dan pegunungan. Orang-orang Indonesia menyimpan semacam “rasa tidak suka” yang berhubungan dengan air.
Hal ini antara lain ditandai dengan kebiasaan membangun desa di puncak gunung, bukan dekat perairan. Bahkan, pulau-pulau kecil yang pernah memainkan fungsi maritim masa silam kerap mengagungkan tradisi membangun desa di tempat tinggi.
Sebenarnya, budaya laut sangat dekat dengan orang-orang pesisir. Mereka inilah yang senantiasa memanfaatkan perairan sebagai lokasi mencari nafkah. Sayang, laut tidak selamanya menjanjikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Pada masa kerajaan, mereka berjuang melawan kekejaman penjahat yang gemar merampas harta milik.
Bahkan, tak jarang perompak dan bajak laut menangkap mereka untuk dijadikan budak yang dapat diperjualbelikan. Guna melindungi diri dan keluarga, sebagian memilih mengungsi dan meninggalkan desa. Masa Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, kekayaan dan sumber daya laut tidak dimaksimalkan penduduk lokal. Maka, nasib masyarakat desa pesisir tak kunjung membaik.
Di beberapat tempat, para pemuda pesisir lebih suka mabuk daripada membekali diri dengan berbagai keterampilan. Lantaran mengonsumsi minuman keras (miras), mereka kerap terlibat kekerasan dan perkelahian. Fenomena inilah yang memunculkan asumsi, menenggak miras merupakan tradisi dari generasi ke generasi. Bagi sebagian masyarakat nelayan, mabuk-mabukan merupakan upaya menjaga kesehatan. Meski membawa efek negatif, mereka percaya bahwa miras mampu menjauhkan tubuh dari penyakit mag dan kencing batu.
Laut juga kurang berpihak pada kaum tani di pesisir. Derasnya air laut membuat mereka kerap merugi dan gagal panen. Persoalan kekeringan dan rusaknya lahan-lahan produktif antara lain karena intrusi air laut. Fakta ini berdampak pada meningkatnya kasus pengangguran di perdesaan dan meroketnya urbanisasi.
Atas dasar itulah, revitalisasi budaya maritim meniscayakan pemberdayaan masyarakat desa pesisir, selaku aktor utama. Sejak dini, mereka mestinya memperoleh perhatian pemerintah. Taraf kesejahteraan “orang pesisir” mesti ditingkatkan. Selama ini, mereka dinilai sebagai masyarakat tradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi “di bawah standar.”

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar