Minggu, 02 April 2017

Gairah Membangun Paradigma Profetik (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Tempo" edisi Sabtu-Minggu, 1-2 April 2017)


Judul: Paradigma Profetik Islam; Epistemologi, Etos, dan Model
Penulis: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra
Penerbit: UGM Press, Mei 2016
ISBN: 978-602-386-029-6
Tebal: 220 halaman

Apa yang ditulis oleh Ahimsa-Putra dalam buku ini merupakan respons terhadap pemikiran Kuntowijoyo, Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Wafatnya Kuntowijoyo beberapa tahun lalu tidak lantas mengubur dalam-dalam warisan keilmuannya. Ikhtiar Kuntowijoyo dalam merintis, menggagas, dan memantapkan sebuah sistem pemikiran mendapat sambutan hangat dari Ahimsa-Putra. Sang profesor turut menyemarakkan dialektika ilmu pengetahuan yang syarat dengan muatan ilmiah dan akademis.
Dalam diri Ahimsa-Putra terdapat kesadaran bahwa intensitas dan kontinuitas perdebatan di kalangan cendekiawan tidak boleh mandek. Kesadaran itulah yang membuatnya getol meneguhkan keyakinan serta pendiriannya. Eksistensi ilmu pengetahuan seolah tidak tergerus oleh hijrahnya manusia dari alam kasat mata menuju alam transendental. Selama masih ada generasi pemikir selanjutnya, hasil pemikiran yang genuine dan cemerlang akan tetap dipertahankan bahkan dilestarikan. Barang tentu usaha pelestarian terhadap hasil pemikiran tidak dilakukan dengan sekadar mendukungnya, melainkan juga menyelipkan catatan kritis terhadapnya.
Sumbangan gagasan, prakarsa, dan wacana Ahimsa-Putra telah mengokohkan keberlangsungan dinamika ilmu pengetahuan dalam jagat intelektual. Perjuangannya patut menjadi inspirasi bagi para akademikus dan ilmuwan dalam mengejawantahkan objektivitas dan universalitas. Ia menciptakan kehangatan dan keintiman pemikir dengan teks-teks sebelumnya. Betapa kecongkakan intelektual terhadap pemikiran usang berimbas pada pembedaan ruang dan waktu. Padahal, antara satu dengan lainnya saling berkelindan, sehingga tak mungkin dipisahkan.
Dalam pandangan Kuntowijoyo, wahyu memiliki urgensi dalam membedakan epistemologi Islam dengan epistemologi Barat. Rasionalisme dan empirisme yang menjadi sumber pengetahuan Barat tampak begitu sederhana sebab hanya berpijak pada akal dan observasi. Dalam epistemologi Islam, wahyu sebagai salah satu unsur transendental dapat mengindikasikan pengetahuan apriori dan membentuk realitas. Dalam konteks inilah, wahyu menjadi unsur konstitutif dalam paradigma Islam. (hal. 7)
Guna mewujudkan angan-angan dan harapannya, strukturalisme dipilih oleh Kuntowijoyo sebagai sarana untuk mendekati Al Quran. Diambilnya pilihan ini bertujuan menerapkan ajaran-ajaran sosial dalam teks lama pada konteks sosial tanpa mengubah stuktur yang ada. Kuntowijoyo mengunduh inspirasi dari antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss. Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme Levi-Strauss memuat beberapa konsep yang dapat dipinjam untuk membangun ilmu (sosial) profetik. Konsep innate structuring capacity, deep structure, dan surface structure dapat ditransformasikan ke dalam sistem Islam, sehingga memunculkan model tertentu. (hal. 8-9).
Penempatan wahyu selaku sumber pengetahuan berimplikasi pada pengakuan terhadap struktur transendental yang menjadi referensi dalam menafsirkan realitas. Sayangnya, Ahimsa-Putra melihat bahwa Kuntowijoyo kurang begitu jelas saat memaparkan pengertian strukturalisme transendental. Uraiannya begitu membingungkan ketika membahas perlunya perluasan muamalah dalam Islam. Padahal dalam pembahasannya tidak ditemukan hubungan antara struktur yang transenden dan muamalah.
Kuntowijoyo menilai bahwa ilmu sosial tengah mengalami kemandekan, sehingga diperlukan gerakan transformatif. Tapi Ahimsa-Putra menganggap transformasi sosial yang didengungkan oleh Kuntowijoyo bermakna kabur: “Apakah transformasi tersebut merupakan hasil kerja ilmu sosial profetik yang bersifat transformatif? Ataukah transformasi tersebut merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh ilmu sosial profetik, yang belum tentu berhasil dicapai juga, meskipun ilmu sosial profetik sudah bisa dibangun? Ataukah transformasi tersebut adalah semangat yang mendasari aktivitas ilmu sosial profetik?” (hal. 17)
Ahimsa-Putra menilai bahwa bangunan pemikiran Kuntowijoyo masih bercerai-berai. Antara satu tulisan dan tulisan lainnya belum menunjukkan keselarasan, sehingga terdapat missing link. Alur dan logika berpikirnya mengandung sejumlah “cacat ilmiah”. Kiprah Kuntowijoyo membangun ilmu (sosial) profetik masih jauh dari sempurna lantaran meninggalkan beberapa kekurangan. Meski demikian, usahanya perlu mendapat apresiasi dan simpati. Dalam konteks inilah, Ahimsa-Putra mampu menempatkan diri. Sebagai “penerus”, ia tidak lantas terjebak pada “pengultusan” sosok Kuntowijoyo. Ia mampu bersikap kritis dan rasional dengan mengisi celah dan “menambal-sulam” pemikiran pendahulunya tersebut.
Sebelum membongkar kelemahan pemikiran Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra sengaja mengulang apa yang disampaikan oleh sejarawan sekaligus sastrawan tersebut. Dengan harapan, ulasannya dapat diterima dengan jelas oleh publik. Tak mengherankan jika pada bab pertama dan kedua khalayak pembaca dijejali dengan ringkasan pemikiran Kuntowijoyo yang terkesan membosankan. Ini merupakan langkah logis supaya pembaca dapat memahami akar permasalahan secara utuh. Bagaimanapun, pemahaman setengah-setengah hanya akan membuat pembaca tersesat di belantara kata-kata.
Tampaknya, kritik terbesar yang dilancarkan Ahimsa-Putra adalah miskinnya konsepsi paradigma selaku kerangka berpikir. Akibatnya, bangunan pemikiran Kuntowijoyo terlihat rapuh dan mudah goyah. Dalam konteks inilah, sebagai upaya melanjutkan pembentukan paradigma profetik yang genap dirintis oleh Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra menawarkan ide dengan merombak unsur-unsur paradigma Thomas Kuhn dalam karya The Structure of Scientific Revolutions (1970).
Ahimsa-Putra berpendapat bahwa ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam rangka membangun paradigma yang kokoh. Unsur-unsur yang dimaksud adalah asumsi dasar (basic assumption), etos/nilai (ethos/value), model, masalah yang diteliti, konsep pokok (main concept), metode penelitian (method of research), metode analisis (method of analysis), teori (theory), dan representasi.
Gagasan Ahimsa-Putra patut dikritisi. Ia seolah menyebutkan bahwa asumsi dasar mendahului nilai. Padahal, bila ditelisik lebih seksama, munculnya asumsi dasar dan nilai bersamaan. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa asumsi dasar lebih dahulu dibanding nilai. Begitu pula sebaliknya. Pemisahan antara metode penelitian dan metode analisis juga kurang relevan. Barang tentu di dalam metode penelitian tercakup metode analisis. Penyebutan metode analisis sebagai salah satu unsur hanya menambah “rentetan panjang” pembentukan paradigma.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar