Sabtu, 08 April 2017

Pengoptimalan Dana Desa (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Sabtu, 8 April 2017)

Dalam kunjungan kerjanya di suatu desa, Presiden Joko Widodo berjanji akan melipatgandakan anggaran dana desa pada tahun 2018. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2017, dana desa genap dialokasikan sebesar 60 triliun rupiah. Oleh pemerintah, dana yang bersumber dari APBN tersebut dianggap mampu memberikan efek berantai terhadap pertumbuhan perekonomian masyarakat desa.
Besarnya dana desa menunjukkan kuatnya arus pembangunan desa, yang tentu patut disambut gembira. Namun demikian, banyak pihak mengkhawatirkan bahkan merasa pesimistis jika pengarusutamaan desa bisa berjalan mulus. Mengutip Farouk Muhammad (2015), kekhawatiran ini terutama bersumber dari politik kebijakan pemerintah yang mementingkan pencapaian target dana desa (money oriented), bukan mengutamakan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan dan melaksanakan pembangunan (capacity oriented).
Kepastian adanya dana desa membuat desa bertabur uang. Berbeda jauh dengan kondisi masa silam di mana desa selalu miskin. Untuk sekadar membangun fasilitas, masyarakat terpaksa mengadakan iuran, mengharapkan sumbangan, dan menunggu bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi. Kekompakan orang desa serta kebaikan hati para dermawan dan negara menjadi modal pembangunan.
Padahal, di samping Sumber Daya Manusia (SDM), sumber daya material menjadi penopang kokohnya pemerintahan desa. Kesuksesan program-program desa sering kali bergantung pada seberapa besar pendapatan yang diperoleh. Kemajuan sejumlah desa dilatarbelakangi oleh besarnya dana desa.
Dalam tesisnya, Hermawan (2002) menyatakan bahwa kemandirian pemerintahan desa tercermin pada kemampuan sumber daya material internalnya dalam membiayai kegiatan yang dilaksanakan. Kebijakan pemerintah desa bisa terealisir lantaran adanya sumber daya ini. Boleh dibilang, terdapat keterkaitan antara ketersediaan sumber daya dengan kemandirian desa.
Di sinilah arti penting dana desa. Dalam upaya mewujudkan tranformasi di wilayah perdesaan, dana desa menempati posisi urgen. Guna memanfaatkannya, kepala desa beserta jajarannya dapat menggulirkan program pemberdayaan masyarakat. Program ini dimulai dengan identifikasi permasalahan yang meliputi kapasitas desa, prioritas pemerintah desa, mental masyarakat, dan sumber daya. Setelah dapat meraba problematika yang ada, pemerintah desa meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memperbaiki prasarana desa, membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), membuka Balai Latihan Kerja (BLK), serta mengembangkan jaringan.
Namun demikian, apabila tidak dimanfaatkan secara bijak, dana desa rentan melahirkan kasus korupsi. Tak heran jika akhir-akhir ini, akibat penyalahgunaan dana desa, banyak kepala desa yang meringkuk di bui. Malpraktik kebijakan pemerintah desa hanya akan melembagakan praktik korupsi di desa, di mana akarnya ditemukan sejak abad ke-17.
Dalam catatan sejarawan Ong Hok Ham, raja menitahkan kepala desa untuk menggalang rakyat dalam mengolah lahan. Hasil panen menjadi upeti yang dipersembahkan kepada raja, adapun kelebihannya halal dikuasai kepala desa. Dengan tingginya keuntungan, kepala desa piawai mengapitalisasi kedudukan. Interpretasi kehalalan runtuh sejak Daendels menerapkan gaji bulanan birokrasi pada 1808. Mengambil kelebihan hasil bumi di luar gaji merupakan larangan dan dianggap sebagai kasus korupsi  (Ivanovich Agusta, 2016).

Kritik dan Kontrol
Tidak selamanya mereka yang dipercaya menjadi pamong menjalankan kewajibannya dengan jujur. Ada yang justru memanfaatkan peluang dan menganggap bahwa posisinya dalam pemerintahan desa merupakan aji mumpung. Di beberapa tempat, kinerja pamong kurang transparan dan cenderung tertutup. Dana pemberdayaan yang diterima pemerintah desa sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi tidak banyak dirasakan masyarakat. Sehingga, rakyat sebagai pemilik demokrasi kehilangan akses dan kontrol.
Pemerintahan desa berjalan sesuai kehendak para pemangkunya. Tanpa evaluasi dari pihak luar, mereka yang duduk dalam jajaran perangkat desa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam konteks inilah, kritik menjadi “senjata” dalam mengawasi jalannya pemerintahan desa, terutama dalam pemanfaatan dana desa. Sayangnya, dalam masyarakat desa, mekanisme kritik dilakukan dengan cukup halus dan samar. Selain jauh dari kesan agresif, kritik lebih mengutamakan kesantunan.
Oleh karena itu, demi terlaksananya prinsip-prinsip good governance di desa, kritik saja tidak cukup. Harus ada pengawasan dari pihak yang berwenang, di antaranya Pendamping Desa (PD) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Supaya kekuasaan pemerintah desa tidak rentan disalahgunakan, keduanya dituntut mampu menjalankan tugas dengan maksimal. Baik Pendamping Desa (PD) maupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diberi wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. Keduanya berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka.
Dengan adanya kontrol, di samping pemerintah desa dapat mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan, diharapkan dana desa yang dicairkan ke setiap desa juga tersalurkan secara optimal. Bagaimanapun, digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki infrastruktur desa. Jangan sampai pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah tidak boleh menjadi “bancakan” dan ajang pemuasan nafsu duniawi para elite lokal.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar