Senin, 03 Desember 2012

Vera (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Padang Ekspres" edisi Minggu, 2 Desember 2012)


Vera adalah gadis cantik jelita. Pipinya yang merah, bibirnya yang ranum, alisnya yang lentik, seakan tiada pernah habis dijadikan bahan pembicaraan. Keindahan wajahnya dielu-elukan hampir oleh semua orang. Tak terkecuali Bernados, Verhu, dan Pyett—para ksatria gagah perkasa dari daratan Yomuh. Namun sayang, di balik keelokannya, terbaring sebongkah keganjalan yang mengantar beberapa orang mengelus dada. Betapa tidak. Di kawasan Tireh, satu-satunya perempuan yang gandrung berperang hanyalah Vera. Ya, cuma ia seorang.
Bukan tanpa sebab, jika Vera bersikap demikian. Dan pastilah mustamik lekas paham mengapa hal itu terjadi. Tentu, tentu jika mustamik senantiasa mengekor warita ini dengan seksama.
***
Tatkala berusia lima bulan, sang ayah tega menghanyutkan tubuh Vera di sungai Mer. Siang itu.. siang bertudung mendung itu, Figon tengah disergap gamang. Sungguh, ia tak bisa lagi menunggui Vera seharian. Tak mungkin pula ia menghibur anaknya dengan ulah lucu atau berlagak bodoh, guna menyumpal air mata si bayi yang terus merembes. Ia butuh kerja, demi sekadar mengganjal perutnya juga lambung anaknya. Sedang, persediaan gandum di rumahnya genap amblas. Usai menimbang matang-matang, akhirnya Figon mengetam keputusan. Ia ambil kain lusuh kepunyaan istrinya—yang tunai meraib. Secarik kain itulah yang digunakan membalut orok Vera, sebelum dimasukkan ke kotak mungil. Membekalinya dengan uang hasil mengutil dari pedagang sayuran, ia berharap supaya buah hatinya ditemukan seseorang dan uang itu dimanfaatkan guna meruncit makanan si bayi.
Kerepotan mengurus jabang bayi menjadi dalih sang ayah untuk membuangnya. Maklum, sepinya harta mengantar istrinya, ibu Vera, kabur dari rumah. Meninggalkan titisan di tapang. Meninggalkan kewajiban sebagai induk sekaligus pedusi. Juga meninggalkan kenangan pahit bagi suami.
Tatkala mandi bersama dayang-dayang kerajaan, netra Birofa melihat sebuah bungkusan terapung di dekatnya. Bukan hanya bungkusan, namun tergeletak sesuatu bergerak-gerak di dalamnya. Benar. Ia bernyawa!
“Herbe, tolong bantu aku mengambil benda itu.”
Bermodal sepotong kayu, seorang dayang berselendang hijau mengarahkan bungkusan itu ke pinggir sungai. Birofa terkejut bukan kepalang, Dan, tanpa tafakur panjang, ia memungut bayi montok yang teronggok dalam bungkusan tersebut.
“Bayi yang hebat. Sama sekali ia tak menangis.”
Gumam Birofa disertai senyumnya yang menyeringai.
***
“Tapi, Sayang. Kau tahu sendiri. Aku telah menitahkan semua prajurit untuk membunuh bayi perempuan yang terlahir di negeri ini. Bagaimana jadinya bila mereka mengerti kalau kita menyimpan bayi ini.”
“Kita sudah 9 tahun belum dikaruniai keturunan.”
“Baiklah. Bila itu yang kau mau. Kau harus berpikir bagaimana cara bayi itu tetap selamat hingga dewasa. Atau aku sendiri yang akan melenyapkan nyawanya.”
Sejak itulah, Vera tinggal di lingkungan kerajaan. Betul-betul ia diperlakukan Birofa layaknya putri kandung sendiri. Begitu pun dengan Lorre, suaminya sekaligus penguasa negeri Borh itu. Terpaksa ia membuntuti buah kalam istrinya. Meski sesungguhnya, dalam hati kecilnya, ia sendiri lama merindukan momongan lucu nan cantik semisal Vera.
Vera berkecambah menjadi anak periang. Gelak tawanya gemar memecah udara istana, membuat raja dan permaisuri turut bergembira. Dayang-dayang beserta keluarga istana lainnya turut menghirup aroma kebahagiaan yang tengah berseliweran. Kesedihan mereka pun terbang jika memandangi kegirangan yang hinggap di wajah Vera.
Patut disayangkan, kegembiraan yang sibuk memenuhi ruang kerajaan dicampuri dengan sebiji keheranan. Keheranan yang mengantar beberapa orang ingin menyelidik lebih dalam. Benar. Wajah Vera yang cantik dan segar bak bunga mour yang baru mekar, menandakan ia bukanlah makhluk Adam. Akan tetapi, mereka fakir keberanian untuk sekadar memeriksa adakah pangeran sebenar-benar lelaki, ataukah berpura-pura menjelma lelaki. Mereka hanya diam. Ah, persisnya, diam dengan seribu pertanyaan bergelantungan di kepala. Seribu pertanyaan yang jika disembulkan bakal mengancam keberadaan mereka di istana.
Serupa dengan anak laki-laki lain seusia, Vera juga dilatih berperang kala tubuhnya memeluk usia keenam. Ia dididik bagaimana cara menghembuskan biji panah ke sasaran dengan tepat. Dibimbing kiat menunggang kuda dengan cepat. Diulurkan pelajaran tentang teknik melesatkan pedang secara cermat, hingga musuh bakal memilih antara lari lintang-pukang atau menggelepar dengan sekali tebas. Semua tanggung jawab itu dilimpahkan pada Nineve.  
Dengan langgam hidup serta ragam didik semacam itulah, akhirnya Vera dibesarkan sebagai lelaki. Walau ia sendiri rajin memautkan persamaan antara dirinya dengan ibunya, Birofa, atau Herbe: pinggul lebar, dada membukit, dan butir jakun seukuran ibu jari. Saat malam bertandang, ia rajin mematut-matutkan diri di depan cermin. “Tubuhku perempuan. Tapi kenapa aku hidup seperti laki-laki.” Desisnya.
***
Kekhawatiran yang terbujur di benak Lorre dan Birofa ternyata berburai juga. Tunai 12 tahun memeram rahasia, pungkasnya mereka dedah. Keduanya tiada lagi bertahan dari serangan bertubi-tubi yang meluncur dari katup mulut Vera.
“Anakku, Sayang.” Lorre membuka percakapan. “Inilah waktunya kami memberitahukan keadaan sesungguhnya.”
“Maaf, jika selama ini kami menutupi hal ini.” Imbuh Birofa dengan nada lirih.
Lorre menyambung, “Kau tak salah jika selalu melempar pertanyaan kepada kami. Pertanyaan yang kami tanggapi hanya dengan senyum. Atau, pada kali lain, coba kami alihkan begitu saja. Pertanyaan yang kau lontarkan juga kepada semua orang yang ada di istana. Namun, apa yang kau peroleh dari mereka? Tak ada, kan?”
Lorre menghela napas dalam-dalam. Lalu melanjutkan kaulnya, “Vera, sayang. Mereka juga sama denganmu. Sama dalam arti kerap mempertanyakan hal ini. Bedanya, kau bertanya kepada kami. Sedang mereka takut melakukannya dan terpaksa bertanya kepada diri sendiri. Barangkali kau bingung, kenapa bentuk fisikmu perempuan, namun bercitra lelaki; bercelana panjang dengan sabuk hitam, bersepatu kermuri, memakai kemeja dijalin rompi, serta bertopi lancip. Dan, jika kau tengok ke luar istana, kau lebih tercengang lagi. Ya, Vera. Kau akan terheran-heran, mengapa anak-anak seusiamu semuanya lelaki. Sama sekali tak kau dapati anak perempuan.”
“Maafkan kami, sayang. Sebenarnya… sebenarnya.. hmmm….”
“Sebenarnya apa, Ayah? Katakan!” Vera ingin segera memecah misteri.
“Sebenarnya kau perempuan. Kau adalah keturunan Hawa, semisal ibumu, juga Herbe, yang sering kau ajak bermain itu.”   
Dengan tangis membuncah, lidah Vera memekik, “Dan ayah… ayah… ayah baru mengatakannya sekarang?”
“Dengarlah, Putriku yang cantik. Ini semua demi kebaikanmu. Kebaikan ayah ibumu. Juga kebaikan istana ini.”
“Dalam kitab ini..” Lorre berkata seraya menampakkan kitab tebal bersampul usang, “disebutkan, jika berhasrat mendaulat kerajaan ini sebagai istana terkuat, maka segenap anak laki-laki 6 tahun harus kulatih bertempur, agar tercipta pasukan militer yang handal, tangguh, dan disegani. Selain itu…..”
“Selain itu apa, Ayah?”
“Selain itu, ayah patut memusnahkan semua bayi perempuan selama 20 tahun.”
“Dan ayah melaksanakannya?”
“Ya, Sayang.”
Karena tergagap, Birofa mengambil alih peran suaminya. “Kau ibu temukan di sungai Mer, Putriku. Sungai yang sering kau kunjungi bersama Herbe dan dayang-dayang lainnya itu.”
“Kau sangat jahat, Ayah.”
***
Setelah mengasah senjata dan mencawiskan segala perlengkapan, pasukan Borh menuju padang Ximme. Di sanalah mereka akan menghadapi kebengisan pasukan Reho dari utara. Vera didapuk selaku panglima. Nineve percaya, anak didiknya mampu menjalankan tugas dengan baik, meski ia harus terlebih dahulu berulang darab memohon baginda dan permaisuri mengikhlaskan kepergian Vera turun ke mandala yuda. Sepuh berambut uban itu menganggap bahwa inilah saatnya Vera menahbiskan diri sebagai bujang kebanggaan raja.
Kini, di hadapan Vera, berdiri ribuan prajurit Reho yang bernafsu menikam leher, memporakporandakan usus, atau mencincang jantung pasukannya dengan pedang. Vera enggan gentar. Toh, anak buahnya merupakan pasukan pilihan yang siap meluluhlantakkan musuh. Kalau perlu, mereka hendak menghisap darah yang berhasil disemburkan dari tubuh-tubuh lawan. Pikirnya.
Berdengking keras, Vera meluncurkan aba-aba guna melancarkan penyerangan. Segenap pasukan Borh bergerak. Mereka bersama-sama bergerak ke arah Vera. Bukan ke arah lawan. Vera tercekat, dan melenguh: “Ada apa, ini?”.
Alangkah liarnya. Mereka saling berebut untuk menjagal kepala Vera, mengupas kulitnya, memamah hatinya, melumat daging dan tulangnya, merajang serata badannya. Ya. Mereka ingin memuntahkan geram yang terlanjur beku dalam pikiran. Mereka berselera membayar dendam pada raja, yang jangkap menumpas nyawa saudara-saudara mereka. Mereka berminat menuai kesumat pada baginda, yang gigih memusnahkan perempuan; makhluk yang selayaknya menjadi pendamping hidup dan penawar keluh kesah. Dan, semua itu hanya sanggup terlunasi dengan cara menghabisi Vera. Seseorang yang tiada lain dan tiada bukan adalah perempuan.  

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar