Senin, 31 Desember 2012

Sebongkah Cinta dalam Bungkus Cerita (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Jurnal Nasional" edisi Minggu, 30 Desember 2012)

Judul: Kisah Seekor Kupu-kupu
Penulis: Thoni Mukarrom I.A.
Terbit: Oktober 2012
Penerbit: Shell Jagat Tempurung, Padang
Tebal: xii + 94 halaman
Harga: Rp. 43.000,-

“Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lain mengertikannya. Karena, kata orang, dia adalah sumber segala-galanya” (Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah)

Pada awal-awal kepenulisan, cinta menjadi tema menarik bagi mereka yang ingin meluapkan imajinasi dalam karya fiksi. Cinta menjadi pilihan utama guna menyumpal gairah beraksara dalam capaian estetika. Bukan hanya karena setiap orang dibekali rasa cinta, namun juga terdapat khasiat serta faedah bagi sesiapa yang berusaha mengabadikan cinta. Bagaimana tidak? Dengan menuangkan cinta dalam bentuk karya, niscaya seseorang dapat memungut remah-remah hakikat kehidupan. Pun, berbekal cinta, seseorang dapat mendayagunakannya dalam membangunkan jiwa yang sedang terkantuk. Maka tak heran, jika beberapa dasawarsa terakhir bertebaran buku puisi maupun prosa yang memanfaatkan cinta sebagai kekuatannya. Dalam kapasitasnya, cinta dipercaya sebagai nutrisi yang sanggup memupuk rasa kemanusiaan dalam diri manusia.
Meskipun demikian, sebenarnya tidak mudah menggarap tulisan dengan tema cinta. Tak jarang, penulis merasa kesulitan membabibuta manakala ingin merampungkan karya beralur cinta. Seringkali ketika menambal-sulam anak ruhaninyameminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis harus berjibaku meredefinisikan cinta, supaya tidak terjebak dalam idiom klise, jangkat, dan serba banal. Selain itu, potongan-potongan metafora yang dihidangkan juga patut diperhatikan. Dalam hal cerita khususnya, ungkapan-ungkapan yang berbaur-berkelindan dalam balutan kisah tragis maupun melankolis, menjadi daya pemantik tersendiri dalam menggait pembaca. Kekurangwaspadaan terhadap hal ini mudah mengakibatkan seseorang tersingkir dari ‘arena persaingan’ karena mendapat stempel sebagai penulis abal-abal dengan kulitas yang dangkal.
Akan tetapi, hal di atas mampu ditepis oleh Thoni Mukarrom (TM). Sebab menguasai bahasa sebagai media ungkap, TM leluasa menyajikan beberapa cerita syarat “pengalaman cinta” yang mengesankan sekaligus menggetarkan, baik berasal dari diri sendiri, orang lain, atau bahkan lingkunganbenda mati ataupun hewan. Juga yang dipetik dari pohon imajinasi belaka. Bagaimanapun ganjil dan absurd-nya, pengalaman cinta yang dibuhulkan dalam cerita tersebut merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat. Tidak salah apabila Ignas Kleden (dalam An Ismanto, 2012) menyatakan bahwa karya sastra bisa mencerminkan realitas sosial di sekelilingnya. Meskipun demikian, karya sastra yang bisa dinikmati, tidak harus mencerminkan realitas sosial di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak.

Sebuah Ulasan Ringkas
Di bawah ini disajikan ulasan ringkas atas buku kumpulan cerpen TM:
Cerpen “Yang Datang Malam Itu” menampakkan gejolak cinta terlarang. Seorang lelaki cukup umur berhasrat untuk kembali merajut ikatan dengan kekasihnya. Ingin sekali ia mengulangi kenangan indah pada saat remaja. Padahal, ia genap memiliki anak dan istri. Lelaki yang ditampilkan dengan sosok “aku” tersebut sangat menderita, sebab tidak mampu menghapus rasa cinta kepada sang pujaan hati. Cerpen ini menarik, karena dibuka dengan ungkapan yang tidak biasa, “malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu menuangkan minuman, kau meminumnya.” (halaman 19)
Adapun cerpen “Kisah Seekor Kupu-kupu”yang dijadikan judul buku ini—, menampilkan kisah memukau dengan tokoh utama seorang pengamen. Ia mencintai seorang gadis dan berhasil menjalin hubungan asmara dengannya. Celakanya, ayah sang pacar terbelit utang, sehingga rela memberikan anaknya untuk diperistri orang lain. Gadis itu dijodohkan dengan pegawai pabrik. Akan tetapi, si gadis menolak, karena lebih memilih seseorang yang meskipun berkantong kering, namun mampu mengisi hatinya. Pasangan remaja yang memadu kasih tersebut nekat mempertahankan ikatan yang telah mereka bina. Suatu waktu, si gadis tiba-tiba menjelma kupu-kupu. Adapun pemetik gitar yang selalu direndahkan dan dihina orang itu berniat merubah dirinya menjadi kupu-kupu, agar cintanya selalu dapat bersatu dengan kekasihnya. 
Cerpen di atas merupakan dua di antara cerpen-cerpen yang disatukan dalam buku persembahan TM untuk Kostra (Komunitas Sanggar Sastra). Dari ke-17 cerpen TM, semuanya mengangkat cinta sebagai tema, kecuali cerpen bertajuk “Selamat Datang di Kota Kami” dan “Memanggil Bapak”. Akan tetapi, jika lebih teliti, cerpen-cerpen ini juga boleh dikategorikan sebagai cerita bertema cinta. Barang tentu dalam hal ini, yang dimaksud adalah cinta dalam pengertian yang luas.
Cerpen “Selamat Datang di Kota Kami” menceritakan tentang tersesatnya backpacker di kota antah berantah, yang tak pernah sekalipun disentuh hujan. Kota yang ditinggalkan oleh para pemuda untuk melancong ke kota lain demi berburu kehidupan yang lebih menjanjikan. Kota yang hanya dihuni oleh mereka yang ingin bertahan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Cerpen ini mengajarkan bagaimana cara merawat cinta pada tempat tumbuh-berkembangnya seseorang. Dari sinilah, rasa cinta kepada tanah kelahiran ditularkan, semangat nasionalisme diperjuangkan.
Begitu juga dengan cerpen “Memanggil Bapak”. Cerpen ini mengisahkan gadis kecil yang setengah mati merindukan sosok bapak dalam kehidupannya. Malangnya, ia merasa kebingungan karena hampir setiap hari ibunya menerima tamu laki-laki. Ia bingung, mana di antara mereka yang benar-benar bapaknya. Sebagaimana ibunya yang tunasusila, sering ia mengalami penderitaan batin karena menerima pelecehan seksual oleh teman-temannya sendiri. Suatu hari, ia mencuri foto lelaki tampan dari dompet sang ibu. Mengira foto itu adalah bapaknya, suka sekali ia memeluk dan berbicara dengannya. Anak perempuan itu nekat mempertahankan haknya, meskipun dicap durhaka oleh ibunya. Cerpen ini menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu, seorang anak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan rasa cintanya dengan hal lain. Kedurhakaan terhadap perempuan yang melahirkan merupakan keteguhan pendiriannya dalam mempertahankan rasa cinta kepada bapak.

Tiga Ciri Penting
Setelah mengamati karya TM, sedikitnya terdapat tiga ciri yang bisa digeneralisasikan sebagai berikut:
Pertama, obsesi penulisan cerita TM tidak terlalu peduli pada lokasi cerita dan kapan terjadinya. Dari sini timbul kecurigaan bahwa cerita-cerita TM menunjuk lokasi antara ada dan tiada. Sebagai misal, cerpen-cerpen “Ketika Cinta Memilih”, “Makan Malam”, dan “SMS” dikerjakan dengan menggunakan Tuban sebagai setting-nya, walaupun tidak merujuk secara tersurat warna kongkrit Tuban sebagai ‘daerah bidikan’. TM mencoba menyiasati pembaca dengan cara mengganti pantai Boom dengan pantai Kenjeran di Surabaya atau Teleng Ria di Pacitan, dan jalur jalan raya Pantura diganti dengan jalur tengah Surabaya-Bojonegoro-Blora atau jalur selatan Surabaya-Madiun-Solo. (halaman vii)
Kedua, Proses kreatif TM turut dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai penyair. Apa pasal? Cerita-cerita yang terlahir dari tangannya menghadirkan suasana puitik yang pekat. Hal ini ditandai dengan kerapnya TM menggunakan diksi ‘puisi’ dalam rangka menggenapi jalinan peristiwa dalam cerita. Misalnya pada cerpen “Kata yang Hilang” dan “Tiga Lelaki di Suatu Malam”.
Ketiga, dalam merangkai cerita, TM gemar menggunakan sudut pandang orang pertama. Sosok ‘aku’, ‘saya’, atau ‘kami’ begitu kerap muncul dalam sejumlah ceritanya. Sebagai contoh, ‘aku’ menjadi tokoh utama dalam cerpen “Tarian Naga”, “Lagu untuk Ibu”, serta “Cerita untuk Cinta”. Sosok ‘saya’ ditemukan dalam cerpen “Darah”. Sedangkan sosok ‘kami’ terdapat dalam cerpen “Nglindur Sandur”. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat usaha yang sungguh-sungguh dari TM untuk sebisanya mengakrabkan diri dengan cerita-ceritanya. Dengan menempatkan orang pertama selaku tokoh sentral dalam pengisahan, diharapkan timbul eratnya hubungan psikologis antara diri penulis dengan cerita yang dilahirkan.
Buku kumpulan cerpen yang dihasilkan oleh TM dalam kurun waktu dua tahun (2009-2011) ini mengantongi dua kelemahan, yaitu: pertama, merujuk Beni Setia dalam kata pengantarnya, pilihan TM pada rujukan karakter guna menghidupkan tokoh cerita masih bersifat terbatas. Hal ini mengakibatkan proses pengayaan wacana tersendat-sendat. Mengingat, keterbatasan ragam karakter yang ditonjolkan dalam cerita menjadikan ‘proses bargaining’ antara penulis-pembaca semakin melemah. Kedua, kekurangtepatan dalam pemilihan font (bentuk huruf) dan ukuran, sehingga mengakibatkan kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Seyogyanya, sebelum diluncurkan ke khalayak, penerbit berunding secara intens dengan penulis. Meskipun bersifat teknis, hal ini menjadi salah satu di antara penentu sukses tidaknya peluncuran karya ke publik. Alangkah baiknya bagi penulis memeriksa terlebih dahulu apakah karyanya sudah benar-benar siap diterbitkan. Karena bagaimana pun juga, penyebarluasan buku selalu berhubungan dengan konsep marketing.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar