Kamis, 03 Januari 2013

Dongeng dari Negeri Syalwakawa (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Sagang" edisi Desember 2012)


Tekad membujang sepadat hayat sudah membulat. Pedusi serta titisan hanya lekas membatasi langkahnya dalam menabur nilai-nilai kehidupan. Alangkah repotnya, jika ia harus meletakkan diri selaku tetua keluarga. Pun bukan main susahnya, ketika waktu yang diyakini sebagai pedang itu lekas menebasnya, sebab mau tidak mau, ia layak mengucurkannya demi membangun pondasi rumah tangga yang kokoh. Atas dasar itulah, ia mengubur nafsu dalam-dalam dan bergiat mengkhidmatkan diri kepada sesama manusia.
Ia miskin pekerjaan tetap. Kerja apa pun ditenggak, asalkan lambung tersingkir dari busuk. Janggalnya, hal tersebut bukanlah keterpaksaan, melainkan sebutir pilihan yang genap menggumpal dalam kepalanya. Lelaki sepuh dengan misai abu-abu itu memang menggandrungi rute kehidupan semisal demikian. Maka, kerap ia mencari reranting kering di tengah belantara. Atau, suatu kali, ia tawarkan jasa kepada tetangga untuk menjemput air bersih di sumur tua. Atau, pada kali lain, ia asuh ratusan domba milik Toyer, saudagar terkaya dari daerah Juyi.
Sama sekali ia tak tertarik dengan harta. Barangkali, dalam mindanya, harta adalah sesuatu yang najis; ringan mengantar manusia berburu nista. Oleh sebab itulah, ketika untuk sepekan masih bisa makan, maka ia berehat kerja; jadi penganggur berat. Kerja dilakukan supaya bulir nafas mau bertiup dan bibir jantung masih berdegup. Itu saja.
Horram gemar ngeluyur ke serata kota. Tak luput pula daerah terpencil dengan penduduk yang selalu kelaparan. Baginya, menularkan sebiji kebijaksanaan lebih mulia dari sekadar ongkang-ongkang kaki seraya merenungi nasib dan menanti ajal.
***
Di pagi setengah siang, kaum muda berbondong-bondong dengan menampakkan gemerigi yang semringah. Usut punya usut, rupanya mereka hendak menyimak ceramah sang guru, menelan habis wewejangnya, memperhatikan berbiji kata yang berhembus dari lidahnya. Lima atau enam hari yang lalu, ketika tanpa sengaja memergoki lelaki berumur seabad berbincang lembut dengan Rohat, Vino, dan Loppe di dekat pasar, mereka terpesona dengan bahasanya yang mendayu-dayu serta gaya berpikir yang cemerlang. Apalagi, apalagi didukung dengan penampilan yang terlampau bersahaja—berbusana putih lusuh dan bertelanjang kaki—agaknya, ialah makhluk penebus dunia dari berbagai ragam derita.
Sejak itulah, mereka tertarik. Alun-alun kota dijelmakan pusat bagi Horram untuk menggumamkan apa saja yang menurutnya baik. Mencerap pesan yang dihunjamkan, para mustamik merasakan kesejukan luar biasa. Segesit kilat, jemari waktu menyebarkan kabar hangat. Kabar mendaratnya manusia suci pembagul kebaikan. Manusia yang membekali mereka dengan percikan kebajikan. Pun bakal menyelamatkan mereka dari jurang kehancuran.
Di hari kesekian, di antara kerumunan, teronggok pemuda berwajah cahaya. Berdiri tegap dengan dada membusung serta tulang yang kuat. Tak mudah menemukan fisik manusia seperti itu. Maklumlah. Sebagian besar warga kota itu bertubuh kerontang dengan kulit kusut dan kaki layu. Kemujuran barangkali sedang menyapa. Berkat kelihaiannya, berhasil ia menudungi fisik yang mendekati sempurna itu. Ialah Nohaja, seseorang yang menggulirkan misi sebagai kaki tangan penguasa. Dari bibir raja, sekaligus ayahnya, ia mengantongi perintah untuk mencari mafhum kegiatan apa yang membuat para pemuda begitu bersemangat. Raja sangat geram. Hampir saban hari, darahnya memanjat ubun-ubun. Gereja megah yang dibangun beberapa dasawarsa silam, kini sepi pengunjung.
“Manusia tercipta dari tanah. Maka, tidak sepatutnya ia congkak. Berdiri teguh di atas tubuh manusia lainnya.” Kalam itulah yang melesat gesit dari katup mulut Horram. Baru menadah sebaris kalimat saja, perut Nohaja mual-mual. Betapa makhluk buruk rupa yang disanjung-sanjung itu telah menyindir pemerintahan sang ayah, yang rajin menarik pajak seenaknya, menerapkan hukuman semaunya, juga menggiring semua orang untuk beribadah di gereja yang didirikan. Namun, demi menggayuh tujuan, tekun ia mengunyah nasihat Horram.  
Sesetel telinga Nohaja mendidih setiap kali menerima limpahan ajaran dari Horram. Pada hari perdana, ia tampak lesu dengan berjamak kali mengernyitkan dahi dan mengaitkan alisnya. Pulang ke istana, di sepanjang jalan, ia memekik “hazzez”. Umpatan paling jorok dalam bahasanya.  
Esoknya, terpaksa ia tunaikan lagi titah sang ayah. Mulai ia belajar kiat merawat kesabaran. Sial! Usahanya nihil. Betapa pernyataan-pernyataan Horram selalu memancing amarah, menusuk-nusuk dada, serta memporakporandakan kegigihan. Saat itulah, ia memilih kabur dari jejeran pengunjung dengan terlebih dulu berpamitan kepada Horram. Ada kewajiban lain yang harus segera dilaksanakan, begitulah dalihnya. Ahh… Kekhawatiran mendesaknya mengalah. Lebih baik meloloskan diri dari kegelisahan ketimbang menerbitkan suasana yang memanggil kecurigaan.
Siang itu… siang berkalung awan itu, ia kembali mengikuti pertemuan yang baginya terlalu membosankan. Jumlah pemuda yang datang kian membludak. Kini, pesertanya merambah anak-anak dan orang-orang dewasa. Mereka berkerumun layaknya komplotan lalat mengerubungi makanan. Diseruduk keadaan, batinnya protes, “di gereja ayah saja, belum pernah berjejalan orang sebanyak ini. Rahasia apa yang dipendam oleh si renta?” Berangnya berlipat tatkala Horram berkecek ringan, “Jadilah kalian manusia merdeka! Jangan sekali-kali mudah digoyahkan oleh apapun, termasuk kekuasaan.”
Walakin, lambat laun, jejaka yang terbiasa menjalani hidup tanpa kekurangan tersebut oleng. Kira-kira di hari kesembilan, hati mungilnya jangkap mengamini apa yang dilontarkan Horram. Sungguh, pohon keyakinan yang ditanam ayah dalam dirinya compang-camping, mengenaskan, dan hampir saja tumbang.
***
“Ayah, bolehkah aku bersoal padamu?”
“Tentu, Anakku. Tentu.”
“Adakah yang ayah lakukan kepada rakyat selama ini sesuai dengan hati nurani?”
Raja tergeragap. Seingatnya, tiada suah ia dicekoki pertanyaan rumit semacam ini. Tenggorokannya serasa tersumpal, sehingga untuk mengeluarkan sepotong kata saja ia kesulitan.
Nohaja mulai lagi mencubit kegalauan ayahnya. “Kenapa ayah? Kenapa ayah urung menjawab?”
Fakir kuasa raja melayani pertanyaan anaknya. Raut mukanya merah bara. Sepasang tanduknya tumbuh. Mengencangkan geraham, ia memekik lantang, “siapa yang mengajarkan kau bertanya demikian? Sebagai anak yang dididik baik-baik, kurang pantas kau meragukan perbuatan ayah. Katakan! Siapa yang mencoba memengaruhimu, Anakku?”
“Berarti dugaanku terbukti. Sengaja ayah menyembunyikan kebusukan. Sehingga, untuk sekadar menjawab soal sederhana, ayah terlihat marah. Sangat marah.”
Sepemakan sirih kemudian, Nohaja keluar tanpa memohon izin. Malas ia melanjutkan pembicaraan yang berbelit-belit. Pembicaraan yang mudah menjadikannya semakin tak percaya kepada pejantan yang tunai menumpuk keburukan.
Malamnya, raja mengundang para penasihat kerajaan. Ia meminta kepada mereka untuk menghunus masukan guna mengatasi aroma pemberontakan yang disemburkan Nohaja.
“Seribu maaf, Baginda. Menurut hamba, Pangeran Nohaja lebih baik diusir dari istana. Itulah satu-satunya cara terbaik. Hamba yakin, jika dibiarkan bertahan, ia bakal menggulingkan kekuasaan Baginda.” Seseorang berjanggut lancip menggelontorkan kaulnya.
“Benar, Baginda!” Beberapa sisa lainnya berucap serentak.
***
Keputusan sang ayah disambut dengan suka cita. Berbekal seadanya, Nohaja menunggang kuda, melesat ke hutan Yemme. Di loka sunyi itulah ia bermukim. Loka baru yang menyajikan ketentraman jiwa. Tentu, ia merasa berdosa jika menetap satu atap dengan penguasa yang menikmati kesengsaraan rakyat.
Di sana ia tidak sendirian. Bersama Horram, ia melahap malam dengan menyesali segenap kesalahan. Begitu fajar mengepakkan sayap, keduanya berjalan puluhan kilometer menuju alun-alun kota, seraya mencecar kalimat-kalimat bijak ketika melewati perkampungan.  
Sebelum matahari benar-benar mengapung, keduanya sudah sampai di tempat tujuan. Horram dan Nohaja membungkam kegelisahan dengan menancapkan petuah-petuah bestari ke dada warga. Demi mengenyangkan jiwa warga, sesekali, mereka juga membuka dialog. Hal itu mereka lakukan hingga senja bertandang. Dan, saat mega merah mengerling, mereka bersiap balik ke tempat tinggal.
Raja mengetahui bahwa anaknya turut serta dalam ikhtiar penghancuran kewibawaannya. Ia terlihat lelah dan tampak lemah. Di selembar pagi yang menggigil, prajurit-prajurit rapi berbaris di depan istana. Atas amanat raja, mereka semua berdedai-dedai hendak merobohkan gereja.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar