Senin, 28 Januari 2013

Segebok Petuah dalam Bungkus Kisah (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Haluan" edisi Minggu, 27 Januari 2013)

Judul: Dari Seberang Perbatasan (Cerpen Pilihan Riau Pos 2012)
Penulis: Hasan Junus, dll
Editor: Purnimasari
Terbit: November 2012
Penerbit: Yayasan Sagang, Riau
Tebal: vi + 240 halaman

Judul buku ini dipetik dari tulisan Hasan Junus yang terbit pada 1 April 2012. Selain karena karyanya memang patut diapresiasi, Hasan Junus merupakan sastrawan Riau yang sangat berpengaruh. Dari kata pengantarnya disebutkan bahwa ia adalah pewaris darah Raja Ali Haji. Sedangkan ayahnya, Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad, dianggap sebagai anggota pengarang Rusyidah Klab, perkumpulan pengarang Riau yang meletakkan fondasinya pada penghujung abad ke-19 dan berjaya pada awal abad ke-20.
Menurut UU Hamidy, di antara keunggulan Hasan Junus yaitu kemampuannya merambah kegiatan kreatif para pengarang dunia dan berhasil membukakannya kepada pengarang muda di Riau. Berbekal pena, tokoh yang berpulang pada Jum’at, 30 Maret 2012 ini menghidangkan tulisan mengenai pengarang-pengarang dari berbagai belahan dunia, baik Eropa, Amerika, Timur Tengah, bahkan Amerika Latin. Sehingga, muncul seloroh bahwa jika ada pengarang Riau tidak mengenalnya, maka akan diragukan kepengarangannya. (halaman v-vi)
23 cerpen yang terkumpul dalam buku ini merupakan pilihan dari 36 cerpen yang terbit di Riau Pos (rubrik Pujangga) setiap hari Minggu sejak Januari hingga September 2012. Beberapa nama terbilang produktif mengirimkan karyanya, semisal Jefri al Malay, M. Badri, dan Musa Ismail. Akan tetapi, dengan alasan keterwakilan penulis, hanya satu cerpen dari masing-masing mereka yang dimuat dalam buku ini. (halaman vi)
Berikut disajikan ulasan ringkas sebagian di antara cerpen-cerpen yang dimaksud:
Buah tangan Chairil Gibran Ramadhan “Si Gila” terbilang unik dan ganjil. Cerpen ini mengisahkan tentang perempuan gila berumur lebih dari 37 tahun. Gemar sekali ia berkeliaran di stasiun kereta dekat kantor wali kota. Anehnya, setiap kali diberi makanan, ia justru membuangnya dan membentak si pemberi. Oleh orang-orang, ia dijuluki dengan Mpok Sarap, Bu Beringas, dan Si Sangar, karena kepada siapa saja ia nekat berbuat kasar. Bahkan, ia suka melemparkan kotoran kucing ke kaca rumah terdekat dengannya. Akan tetapi, kebrutalannya akhirnya harus berakhir, ketika suatu hari ia mati ditabrak kereta api.
Cerpen Khrisna Pabichara bertajuk “Berhenti Merawat Luka” diangkat dari secuplik memoar Dahlan Iskan. Reputasi Dahlan Iskan yang semakin melesat karena pernah memegang jabatan Direktur Utama PLN dan kini menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebabkan banyak pengarang tertarik untuk memotret perjalanan hidupnya dalam sebuah karya. Diceritakan dalam cerpen ini, bahwa di tengah-tengah himpitan hidup, Dahlan kecil mengidamkan sepasang sepatu dan sepeda. Demi mewujudkannya, sejak kelas 3 SR, ia bekerja sebagai kuli nyeset. Ia giat menabung upahnya, agar suatu saat dapat membeli dua mimpi terbesarnya. Namun, karena kebutuhan ekonomi begitu mendesak, sebagian besar hasilnya diberikan kepada sang ibu. Pada suatu pagi, Dahlan sangat terkejut ketika tidak menemukan nasi tiwul untuk dimakan. Padahal, biasanya ibunya selalu menyediakan untuk sarapan. Lebih tergeragap lagi, waktu ia menemukan ibunya berjongkok, terguncang-guncang menahan batuk, sambil memegangi batang pisang. Sesaat kemudian, ibunya terjengkang dan dilarikan ke rumah sakit. Meskipun demikian, Dahlan tetap tabah menghadapi cobaan. Di akhir cerita, ia mengabadikan apa yang dialaminya dalam buku catatan. Menulis, baginya, merupakan terapi mujarab dalam rangka mengurangi beban hidup.
Adapun M. Arman AZ, melalui cerpen “Kota Tanpa Kepala”, mempersembahkan cerita yang tergolong absurd dan menerjang batas-batas logika. Bagaimana tidak? Dalam paragraf pembukanya, penulis mengenalkan sebuah kota berpenghuni manusia-manusia tanpa kepala. Sesuai keyakinan yang beredar, awal mula kelahiran kota tersebut adalah sejak pemimpinnya mati misterius. Lantas diangkatlah pemimpin baru, guna menggantikan kedudukannya. Akan tetapi, terbitlah penyesalan, karena setelah dipilih, ia tidak becus membenahi kesejahteraan penduduk. Akhirnya mereka berbondong-bondong memprotes kebijakan sang pemimpin serta mencaci namanya dan merobek-robek gambar dirinya di koran. Merasa jengah, pemimpin itu membentuk pasukan khusus untuk mengamputasi kepala seluruh penduduk. Tentu saja, anggota keluarga dan orang-orang kepercayaan sang pemimpin luput dari bahaya tersebut. Setelah melaksanakan hasratnya, kepala-kepala yang telah dipenggal dijadikan tumbal untuk bendungan, jembatan, dan gedung pencakar langit di kota itu. Rupanya, seorang pemuda berhasil menyelamatkan diri. Berlari ke tempat lain, ia membentuk perkampungan baru yang indah. Tak lama kemudian, ia pun didapuk menjadi pemimpin. Namun sayang, ternyata lambat laun ia menjadi ‘tangan besi’, yang memimpin dengan kejam. Dari sinilah terbersit gambaran bahwa para tiran akan selalu lahir di muka bumi, untuk melancarkan kebengisan dan melakukan penindasan.
Selain ketiga cerpen di atas, masih banyak lagi cerpen yang patut dinikmati, seperti: “Kampung Surga” (Hermawan Aksan), “Pulang” (Isbedy Stiawan), “Tanah Merah” (Delvi Yandra), dan “Sekolah Babi” (Riki Utomi). Hal ini dikarenakan para penulis sanggup memadukan berbagai macam karakter tokoh, persoalan, serta alur dalam racikan kata-kata memesona. Lebih dari itu, pesan-pesan yang disampaikan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Buku ini layak dimiliki, karena menyajikan beragam tema yang dikemas dalam cerita-cerita yang renyah. Ditambah lagi dengan pemilihan warna cover yang pas dan kertas yang berkualitas.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar