Rabu, 23 Januari 2013

Lari dari Kira (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di “Kompas.com” edisi Selasa, 22 Januari 2013)


Judul: Kira, Waktu Memaksaku Melepaskanmu
Penulis: Dhian Gowinda
Terbit: Juli 2012
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 160 halaman
Harga: Rp. 29.000

Anggitan narasi cinta oleh Dhian Gowinda ini memang memukau. Penulis tak hanya mengajak pembaca untuk merunut kisah kasih antara Kira dengan Rangga, melainkan juga menghidangkan pelajaran bahwa betapa seseorang yang terpuruk karena masa lalu, tidak boleh memanggul beban derita hingga berlarat-larat. Ia harus berdiri tegap menatap jauh ke depan. Seseorang yang terlampau merenungi waktu silam tidak akan mampu menjalani kehidupan dengan baik. Itulah mengapa ia dituntut tetap bertahan. Ia boleh merawat kenangan, tanpa perlu membuangnya jauh-jauh. Lebih dari itu, ia harus bangkit melawan kesedihan, karena life must go on.
Pada awalnya, kisah yang dibalut dengan kata-kata gaul dan identik dengan kaum ABG ini terkesan klise. Akan tetapi, salah! Ini adalah anggapan sesat yang mendesak diluruskan. Pasalnya, penulis tetap menyajikan hal baru bagi pembaca. Tentunya dengan catatan jika pembaca bersedia menyimak cerita ini secara utuh; hal yang ringan dilakukan, mengingat bahasa percakapan antar tokoh disajikan dengan renyah.
Di antara keistimewaan buku ini yaitu penulis mampu menciptakan surprise bagi pembaca. Efek kejut sengaja dirancang sebagai ikhtiar melibatkan emosi pembaca. Dengan menyelipkan kegembiraan dan kesedihan yang bertumpang tindih, tak ayal, perasaan pembaca akan diaduk-aduk sehingga dengan mudah menitihkan air mata sekaligus tersenyum sendiri. Walhasil, pembaca akan menghirup napas dalam-dalam seraya melanting decak kagum.
Adalah Rangga, tokoh utama dalam novel yang cocok dinikmati oleh kawula muda ini. Ialah lelaki penggandrung berat keusilan, kejahilan serta kegesitan Kira. Lelaki yang diam-diam menaruh simpati kepada gadis dengan rambut selalu acak-acakan dan mengantongi gelar trouble maker. Sayangnya, ia belum sadar bahwa di dalam hatinya sebenarnya tersimpan rasa yang lebih dari sekadar simpati. Ia baru menyadarinya ketika Mozza menanyakan apakah dirinya menyukai Kira.
Rangga seolah mendapat angin segar ketika suatu saat Mozza menyodorkan list kesukaan Kira. Percaya dengan bocoran sahabat kental Kira tersebut, akhirnya Rangga mencoba menarik hati gadis pujaannya dengan meniru gaya Lupus. Jadilah rambutnya aneh bin ajaib, karena mirip burung berjambul. Tak hanya itu, ia juga merogoh koceknya agar Kira terpikat. Ia  membelikan Kira beberapa keping DVD berisi film-film Korea: Sector 7, Secret Garden, Heart String, dan City Hunter. Juga CD SHINee, boyband yang digandrungi Kira setengah mati.
Di luar dugaan, Kira justru menolak mentah-mentah hadiah tersebut dengan berujar: “gue gak butuh ginian!!!!” (halaman 15) lalu meninggalkan Rangga, yang masih bingung dan belum paham dengan sikap Kira.
Upaya Rangga dalam menjinakkan hati Kira akhirnya berbuah. Ia mengetahui bahwa sesungguhnya Kira juga menaruh perasaan yang sama ketika suatu hari diary berwarna biru diberikan kepadanya. Saking senangnya, Rangga memberitahukan bahwa ia dan Kira sudah resmi pacaran dengan mengirim SMS ke semua teman sekolah.  
Mengetahui tingkah laku Rangga yang cenderung lebay itu, Kira begitu marah. Sampai-sampai ia berkata pada Mozza: “tapi, seenggaknya dia ngobrol dulu, kek, sama gue. Sableng, tuh, anak, belum ada apa-apa udah kasih woro-woro ke anak-anak.” (halaman 43).
Rangga meminta maaf kepada Kira atas sikapnya yang berlebihan. Atas dasar cinta, Kira selalu memaafkan Rangga, meski bukan sekali saja kekasihnya itu berbuat salah. Begitulah. Kisah asmara keduanya sering kali diwarnai pertengkaran yang disulut hal-hal sepele. Akan tetapi, mereka berdua sanggup mengatasi itu semua dengan mulus.
Makin hari kemesraan Rangga dengan Kira makin tampak. Kebahagiaan senantiasa terpancar di wajah keduanya. Hingga sebuah peristiwa memaksa kebahagiaan itu berakhir dan menyebabkan sepasang kekasih itu berpisah. Ya, berpisah untuk selamanya, karena Kira meninggal dunia dalam perjalanan bersama Rangga.
Depresi berat menghinggapi Rangga. Atas dasar itulah, ia bermaksud melupakan semua kenangannya bersama Kira dengan menempuh studi di Korea. Celakanya, setiap otaknya melepaskan potret dambaan hatinya, setiap itu pula bayangan Kira kembali muncul.
Di negeri berpenghuni orang-orang Mongoloid tersebut, Rangga bertemu dengan Tari, sepupu Kira yang ternyata juga sedang menempuh studi di Korea. Gadis berwajah oriental tersebut mengaku tidak terima atas kepergian Kira dengan berucap: “Pembunuh! Tenang lo di sini? Tujuh tahun gue menikmati penderitaan elo. Dan, sekarang elo mau melarikan diri begitu aja.” (halaman 102).
Rangga tertegun. Nyatanya, selama ini Tari selalu menguntitnya. Tari ingin membuat penderitaan Rangga semakin menjadi dengan rajin menyalahkan Rangga.
Di pucuk cerita, Tari menyadari bahwa kematian sepupunya itu adalah takdir semata yang tidak perlu disesali terus-menerus. Begitu juga dengan Rangga. Meski Kira sudah tiada, ia yakin bahwa kekasihnya itu selalu bersamanya dalam menggapai cita-cita.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar