Senin, 21 Januari 2013

Cinta yang Berlari (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Joe Fiksi" edisi Januari 2013)


Syrum; pemuda buruk rupa dengan dagu lancip dan bibir tebal. Suaranya yang parau mengantar jari udara malas menyentuh ubun-ubunnya. Sedangkan Bihse merupakan perawan elok tiada tara. Cahaya yang bergelantungan di bola netranya memicu burung-burung homu gemar menyumbang lagu untuknya. Rumah keduanya saling berdekatan. Dan bukan sebutir kebetulan, jika keduanya mempunyai ikatan kekerabatan. Benar. Ayah Syrum adalah kakak tertua dari ibu Bihse.  
Awalnya, Syrum kecil adalah anak periang yang suka bermain dengan Bihse. Jika matahari belum genap melata, Syrum akan mengajak sepupunya itu menghabiskan waktu di taman belakang rumah. Di sana mereka memetik keindahan bunga hyaar atau berburu capung mirett yang masih terlelap. Kerap juga keduanya bermain petak umpet. Suatu hari, pernah pandangan Bihse tak mampu menjangkau di mana letak persembunyian Syrum. Disergap kesal, pungkasnya Bihse menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Tak ayal, Syrum terpaksa menampakkan diri. Sebab kejadian itulah, Bihse menaruh jengkel setengah mati kepada Syrum. Namun kejengkelan tersebut nyatanya mudah raib kala ia bertembung lagi dengan Syrum di esok hari. Apa sebab? Karena, jika Bihse dirundung sedih, katup mulut Syrum rajin melempar cerita-cerita unik dan menggelitik. Cerita tentang kenapa capung mirett berwarna merah jingga. Kenapa bunga hyaar hanya mau mekar jika ditiup angin utara. Kenapa tanah kebun Paman Lodan menyimpan ribuan cacing. Juga rimbun lagi kenapa-kenapa yang lainnya. Dengan kelihaian berkisah, Syrum ringan mengusir kesedihan yang teronggok di hati Bihse.  
Betapa hari-hari Syrum dan Bihse selalu diliputi kegembiraan yang sangat. Kegembiraan yang belum tentu dapat diketam ketika cinta mereka terhalang istiadat nenek moyang.
***
“Mengapa kau belum mau menikah, anakku?”
Syrum membisu tatkala menangkap buah kalam dari sang ibu. Sebenarnya telinga si cebol sudah terbiasa menelan pertanyaan yang mempersoalkan statusnya. Dan semisal biasa pula, ia juga rajin mengembalikan pertanyaan dengan jawaban sekenanya: “Belum waktunya, Bu.” Atau “Belum siap, Bu.” Atau pernah juga karena terdesak, lidahnya berkecek: “Belum ada calon yang pas.” Begitulah, ada saja dalih yang membenarkan mengapa ia betah memelihara keperjakaan.
Akan tetapi, itu hari, Syrum hanya mematung. Ya, mematung dengan dahi berkerut dan lubang-lubang tubuh tiba-tiba berpeluh. Lelaki berumur 30 tahun itu merasa berdosa kepada seseorang yang menetaskan dan merawatnya dengan luapan kasih sayang. Betul-betul keterlaluan! Guna menyembunyikan keadaan, rela ia membohongi ibu sekaligus perasaan sendiri.
Sang ibu bingung mencerap sikap anaknya. Tidak biasanya ia melihat wajah Syrum tampak gugup menyambut pertanyaan. “Apa ada yang salah?” Batinnya mendesis. Sececah kemudian, dengan lembut, ia menghibur bujangnya: “Ya sudah. Kalau memang belum siap, ibu juga tak akan mendesak.”
Puan bermata kelereng itu berbalik, hendak menuju dapur. Mau menunggui api tungku yang tengah membakar ikan tangkapan suaminya. Belum jangkap kakinya menggulirkan 3 langkah, ia berhenti ketika menadah pengakuan Syrum. “Aku cinta Bihse, Bu.”
Seketika, hati ibu bergemuruh. Bulir kata yang dihembuskan Syrum naga-naganya membuat sesetel liang telinganya seperti dialiri air mendidih yang direbus selama tiga jam.
***
Entah rasa apa yang membekuk hati Bihse. Bermula dari perjumpaan-perjumpaan di taman, kepalanya enggan menjauh dari bayangan Syrum. Sering ia menandaskan malam dengan menganyam khayalan. Khayalan yang mendera giginya tersenyum, membayangkan kebersaaman dengan Syrum. Juga khayalan yang menerapnya terisak-isak, jika mengandaikan nasib tragis menyapa keduanya. Akhir-akhir ini, ia benci tidur. Benci tidur? Benar. Ia gemar berdoa supaya bisa memirsa Syrum dalam tidurnya. Sialnya, mulai mata berpejam hingga kokok ayam bersahutan, tiada suah ia bermimpi bertemu dengan Syrum.
Tampaknya, ketampanan bukanlah satu-satunya penyebab seorang puan menanam kagum pada lelaki. Itulah yang terjadi pada Bihse. Ya. Ia tergila-gila pada Syrum, bukan sebab fisiknya. Mengapa? Karena wajah Syrum tercipta jauh dari sempurna. Ah, bukan, bukan. Tepatnya, jauh dari kata tampan. Tubuhnya yang pendek serta berperut buncit membuahkan penampilan kurang proporsional. Tak ayal, beberapa teman memanggilnya Si Burung Hantu.
Yang mengundang Bihse terpesona adalah biji-biji kebaikan yang menyembul dari jiwa Syrum. Alangkah banyak jejaka bercakap durja, namun hatinya busuk tiada kira. Syrum; sosok lelaki yang berlembut kata, bertanggung jawab, dan senang membantu jika Bihse terjepit masalah. Baginya, kriteria suami yang diidamkan tertimbun dalam diri Syrum.
Entah berapa ratus pejantan melanting lamaran kepada Bihse. Apesnya, mereka semua pulang tanpa membagul apa-apa. Pernah suatu kali, putra pejabat besar hendak melamar. Membawa berkarung-karung emas, kuda-kuda terkuat dari daratan Bohuy, dan beberapa gaun cantik luar biasa. Sesuai keyakinan, Bihse akan terbujuk dan terbuai dengan mahar yang dipersembahkan. Namun, di luar syak wasangka, Bihse menolaknya mentah-mentah. Hal serupa menimpa pula pada pangeran rupawan dari negeri seberang. Betapa ia layak menanggung wirang, karena bukan sekadar lamarannya ditolak, akan tetapi Bihse juga malas menampakkan batang hidung kala putra raja tersebut bertandang ke rumahnya.
***
“Jika aku mengetahui kau berjumpa lagi dengan sepupumu itu, kita semua akan berpindah ke kaki gunung Xemmu. Paham?”
Menyerap kemarahan sang ayah, serata badan Syrum menggigil. Sungguh, tiada pernah ia berangan, kalau permasalahan akan sekusut ini. Bila didesak memilih, maka sudah barang tentu ia akan menjemput ajal daripada berjauhan dengan Bihse. Sadar ia, bahwa ayahnya tak salah. Pun mafhum, kalau leluhur penduduk Vemus menerbitkan larangan hubungan antara dua insan yang masih terjalin tali kekeluargaan. Semenjak balita, kerap ia mengunyah alkisah kuno dari Kakek Furgan. Alkisah yang mewartakan, jika sepasang pemuda-pemudi berdarah serupa nekat berbagi hati, maka langit bakal memasang murka dan mengguyurkan hujan berupa batu raksasa. Walakin, ia juga miskin kuasa menyanggah perasaan sendiri. Perasaan yang membuncah, terengah-engah, rindu meneguk cairan cinta dari Bihse.   
Malam itu, malam dengan desiran gelombang angin itu, berbaring di atas tikar tipis, memandangi langit-langit kamar, Syrum bernala-nala bagaimana mengetam cara agar tetap bertembung dengan Bihse. Namun, hingga fajar melebarkan sayap, rupanya otaknya sukar meringkus kiat terbaik guna menggapai keinginan.
Syrum gelagapan. Ia mengerti bahwa Bihse sedang menunggu di taman. Padahal, sejak hari itu, ia wajib mengindahkan buah cakap ayahnya. Jika sang ayah memergokinya di taman, pasti ia—juga Bihse—bakal memetik penderitaan. Sesuatu yang selama ini selalu ia takutkan.
Ketika surya melambung kira-kira sepenggalah, terbitlah sebulir siasat. Dengan cerdik, ia memohon izin kepada ayah untuk meruncit makanan ternak yang hampir habis. Dengan cara itu, pasti ayahnya lekas memperbolehkannya keluar. Pagi itu, keberuntungan memang berpihak pada Syrum. Mengantongi izin dari ayah, Syrum pura-pura berlenggang ke arah toko di mana ia mau membeli makanan ternak. Delapan hasta sebelum loka tersebut, tergeletak jalan tikus yang memautkan antara jalan besar dengan taman. Akhirnya, Syrum menitinya lantas mendekati taman penuh riang. Setakar taksiran, Bihse sudah berada di sana, mengharap kehadiran dirinya. Dan, nyata benar. Bihse sibuk menanti seorang diri, dengan raut gelisah.
“Maaf, aku terlambat. Bihse, kita harus segera menemukan cara lain agar tetap bisa berhubungan. Ayah membenci hubungan kita. Jika ia tahu anaknya bertemu denganmu di taman ini, ia akan memisahkan kita berdua. Bagaimana?”
“Hmmmm….”
***
Halangan yang kian membentang urung menyulut keduanya menyerah. Malah, dengan segenap daya beserta upaya, mereka bersigap menerjangnya. Apa pun yang terjadi.
Di celah tersebut mereka berdua membisikkan bahasa cinta. Celah mungil yang terdapat di tengah-tengah tembok rumah Syrum dan Bihse rela menjadi saksi atas kemurnian cinta mereka. Dengan tulus, celah tersebut menolong dua insan pemuja cinta.
Syrum dan Bihse jangkap bersepakat, bahwa waktu paling tepat untuk menjalin hubungan adalah beberapa jenak usai tengah malam mendarat; saat ternyaman bagi manusia guna melayani dengkurnya.  
Indah nian, mengungkap isi hati tanpa seorang pun mengganggu. Dan, malam-malam mereka lalui dengan kebahagiaan. Hingga pada khatamnya, di malam ke 71, hubungan itu terendus oleh ayah Syrum. Lanang sepuh bercambang lebat itu menabung curiga, kenapa akhir-akhir ini anaknya rajin tidur di pagi hari. Sebab keganjilan itulah, ia mengawasi semua ulah si anak dan mendapati bahwa Syrum tega mendurhakainya.
“Baiklah. Jika ini keinginanmu, akan ayah kabulkan. Lusa, kita semua beranjak ke gunung Xemmu.”
***
Tunai bertukar pikiran, Syrum dan Bihse memutus untuk tetap melancarkan cinta terlarang. Ya. Cinta yang dalam adat Vemus bersicepat merengkuh kemurkaan. Mereka berdua yakin, bahwa kemurkaan langit segan datang, jika dalam hati keduanya terpendam cinta suci. Dan dengan hasrat membara, keduanya kabur dari penjara rumah masing-masing. Mereka berjalan telanjang kaki ke serata bumi; sekadar memadu tali kasih yang sama sekali tiada direstui.

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar