Sabtu, 29 Desember 2012

Perjuangan Menyibak Tabir Maaf (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Koran Jakarta" edisi Sabtu, 29 Desember 2012)

Judul: Walk Away
Penulis: Dilaika Septy
Terbit: November 2012
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 halaman
Harga: Rp37.000

Novel ini mewartakan kisah tentang perseteruan dua remaja yang duduk di bangku SMA Pramudya. Perseteruan antara Yoga dan Alvi itu lama-lama berkembang menjadi permusuhan sengit seperti Tom dan Jerry.
Yoga sadar tidak pernah bisa disiplin, sering telat bila rapat bersama teman-teman. Meskipun demikian, seharusnya tidak lantas Alvi menyalahkannya terus-terusan. Baginya, Alvi adalah jelmaan kuntilanak yang berkeliaran di sekolah dan berusaha meneror secara berlebihan. Adapun bagi Alvi, Yoga adalah anak bandel yang malas berubah meskipun saran dan masukan dari beberapa teman terus berdatangan.
NCC (Nature Care Community), salah satu komunitas di SMA Pramudya yang memiliki perhatian dan kepedulian pada lingkungan, diikuti Yoga. Bersama anggota lainnya, ia kerap mengadakan penyuluhan-penyuluhan kesehatan, bakti sosial, dan kegiatan lain pada masyarakat. Di komunitas inilah dia bertemu Alvi, seseorang yang lebih pantas disebut musuh bebuyutan daripada teman.
Karena sering bertemu, Alvi merasa kebencian terhadap Yoga menjadi-jadi. Kekurangnyamanan terhadap sikap Yoga yang seenaknya sendiri dalam rangkaian kegiatan NCC membuat Alvi muak dan memprotesnya. Alvi menilai Yoga tidak pernah berupaya bersikap dewasa dengan mengubah kebiasaannya. Dalam benak Alvi, lelaki satu itu memang egois dan enggan memahami perasaan orang lain. Dengan demikian, Alvi meyakini, apabila dibiarkan, Yoga akan menjadi penghambat perkembangan dan kemajuan komunitas maupun dirinya sendiri.
Yoga dan Alvi kikuk bila kerja sama. Mau tidak mau, mereka harus menunjukkan kekompakan dan persaudaraan serta mengakhiri permusuhan alias gencatan senjata. Seperti halnya ketika mereka harus pergi bersama ke acara Go Green. Karena terpaksa, Alvi bersedia dibonceng Yoga. Akan tetapi, dalam hatinya, ia bertanya, "Kapan ini akan berakhir?" (halaman 9).
Bukan hanya dalam urusan komunitas, kebersamaan keduanya ternyata sukar dihindari saat berada di sekolah. Misalnya, ketika Alvi dan Yoga harus bersama-sama mengikuti ujian susulan. Sungguh, mereka tidak pernah menyangka bahwa Pak Anwar, guru fisika, menyuruh mengerjakan soal dalam hari, jam, dan tempat yang sama (halaman 11).
Akan tetapi, di balik cuek-nya Yoga, rupanya dia memunyai perhatian terhadap kaum hawa. Hal itu dia tunjukkan pada Keysha, saudara barunya. Kepergian mama Keysha beberapa bulan silam membuat papanya mengambil tindakan dengan menikahi mama Yoga agar perjalanan rumah tangga tetap berjalan sesuai harapan.
Perseteruan Yoga-Alvi kian menjadi. Seolah-olah tak akan pernah ada nota kesepakatan keduanya untuk menghentikan permusuhan. Dalam keadaan demikian, Yoga mulai melakukan introspeksi. Ia bertanya pada diri sendiri mengapa Alvi, teman sekomunitasnya, membencinya setengah mati.
Berbagai upaya dilakukan Yoga supaya Alvi rela memaafkan sampai-sampai pernah memintanya lewat radio. Sesuai tugasnya, penyiar menyampaikan permohonan Yoga. Untunglah, pada waktu itu, Alvi "mengudara" dan berada dalam frekuensi yang sama. Ia hampir tidak percaya Yoga melakukan itu demi mendapat maafnya.
Di lain waktu, Yoga mengajak berbicara Alvi empat mata. Dengan tulus, ia berkata, "Kamu penting banget buat aku, Vi." Melihat Yoga berlutut begitu lama, Alvi tidak tega. Akhirnya, ia mau memaafkan Yoga (halaman 140).
Novel ini mengajarkan untuk selalu bersikap lapang dada dan membuka pintu maaf seluas-luasnya bagi sesama. Selain menyajikan problem kehidupan pelajar di sekolah, novel ini memberi jalan keluar setiap masalah.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar