Minggu, 14 Juli 2013

Merawat Anomali dalam Kisah Fiksi (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 16 Juni 2013)


Judul: Badja Matya Mantra (Himpunan Cerpen)
Penulis: Budi Afandi
Terbit: Maret 2013
Penerbit: Akar Pohon
Tebal: 120 halaman
Harga: 30.000,-

Boleh jadi buku rakitan Budi Afandi (BA) ini merupakan antitesis terhadap kemapanan seorang manusia dalam memandang kehidupan. Ia tidak menyeru, mengajak kita untuk memetik nilai-pukau dunia dengan memeluk erat kenormalan, kebanalan, ataupun kelaziman yang memang biasa terjadi di sekitar. Ia, dengan caranya sendiri, mencoba menawarkan secawan anomali guna memahami ketidakberesan dalam alur hidup yang serba profan. 
Bermodal anomali-anomali tersebut, BA bukannya bermaksud menjauh-hindarkan manusia dari realita, menebar bujuk-rayu untuk bersama-sama menapaki alam khayal bertabur kabut fatamorgana. Sebaliknya, ingin ia tunjukkan bahwa dalam hiruk-pikuk dan hingar-bingar semesta, ada banyak sekali keanehan dan keganjilan, baik dari tangan manusia atau memang lahir tanpa rekayasa.
Meskipun kisah-kisah yang dirancang oleh BA terbilang absurd, akan tetapi ia tetap mampu menunjukkan bahwa fondasi fiksi yang didirikan berbahan dasar logika. Dengan demikian, kesan ‘ngawur’ dan ‘asal-asalan’ dapat dengan leluasa ia singkirkan, tanpa harus mengorbankan klimaks kenikmatan (ekstase), sebagai daya pikat terbesar bagi pembaca. Hasilnya mengejutkan. Setiap kata yang dipadu-eratkan dengan kata lainnya mengedepankan keselarasan, keharmonisan, dan kesetiaan terhadap alur pikiran manusia pada galibnya. Dari sini, dapat kita asumsikan bahwa BA genap memekik lantang, “hidup boleh irasional, namun cerita fiksi harus bersandar pada logika formal.”
Sepuluh cerpen yang dibuhulkan dalam satu ikatan ini sengaja mengelak dari apa yang gemar dihidangkan oleh para penulis lain. Betapa sudah sering kita dapati, tak bosan-bosannya pembaca diajak memperhatikan ketimpangan-ketimpangan sosial di negeri ini, ulah koruptor yang tak tahu diri, serta kebejatan ayah yang menghamili anak kandung sendiri. Juga tak kalah kerapnya, kisah-kisah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ yang menuntut ucapan belasungkawa ataupun sumbangan air mata. Parahnya, ada indikasi kuat bahwa kisah-kisah tersebut tidak pernah terlepas dari proses memfiksikan berita yang bertebaran di media massa.
Cerpen “Bola Mata di Lubang Pintu” bercerita tentang Airah dan suaminya yang mendapat hadiah rumah baru dari atasan. Rumah itu adalah petaka bagi Airah, karena dalam rumah itu ia berulang kali mengalami mimpi buruk. Suatu pagi, Tabah membangunkannya, namun gagal. Nafas Airah tersengal-sengal. Berkali-kali Tabah membuka kelopak mata Airah, namun tetap bergeming. Akhirnya Tabah membopong Airah keluar dari rumah dengan mobil. Airah tersenyum melihat cara Tabah mengangkat tubuhnya. Ia senang, sebab dengan cara itu, ia diperhatikan oleh Tabah.
Di satu sisi, dalam cerpen di atas tercecer benih-benih ketakutan sehingga mengundang suasana muram, namun di sisi lain juga tersimpan serbuk kebahagiaan sehingga mengajak pembaca untuk menyunggingkan senyum. Oleh BA, pembaca tidak dipaksa terus-menerus mengencangkan geraham, melotot dengan bola mata nyaris lepas, mengerutkan dahi serta menaruh khawatir bagi nasib tokoh. Menariknya, setelah ketegangan-ketegangan tercipta, BA mengendurkan syaraf pembaca dengan adegan tokoh yang menggelitik.
Cerpen “Badja Matya Mantra” mengisahkan pertemuan dua sahabat lama. Salah satunya mengaku hendak mempelajari ilmu Badja Matya Mantra. Ketika berhasil dan mengamalkan ilmunya, bola mata Canang menghitam seluruhnya. Hal itu pula yang terjadi saat calon istri sahabatnya, Linggar, terduduk di tepian ranjang pengantin penuh mawar. Kedua mata wanita itu sebam dan meneteskan darah, lalu tubuh telanjangnya dalam sekejap juga bersimbah darah. Setelah tersadar, sang tokoh berkata, “pertemuanmu dengan Linggar adalah karunia. Pernikahanmu dengannya tidak bisa dihentikan. Yang digariskan akan terjadi. Namun mengakhirinya dengan darah atau tidak, masih menjadi pilihanmu.” (halaman 75).
Dengan bayangan seperti itu, ada sebuah peringatan bahwa jodoh manusia sudah menjadi ketetapan Tuhan yang tidak mungkin dilawan. Meskipun demikian, sang tokoh berusaha membesarkan hati sahabatnya dengan berpesan bahwa Murat tetap dibekali kemampuan untuk mengusir kesedihan tersebut dengan cara berusaha sekuat tenaga. Di sinilah letak kekuatan cerpen ini. Meskipun awalnya BA menjerat tokoh dengan permasalahan pelik yang akan dihadapi ketika ia menikah dengan kekasihnya, namun di akhir kisah ia menunjukkan titik terang—melalui tokoh Canang—dengan memberikan motivasi dengan rasa percaya diri bahwa setiap permasalahan akan mampu diatasi, jika dihadapi dengan selalu berjuang menjauhkan diri dari kata ‘menyerah’.
Mirip sejumlah cerpen lainnya, cerpen “Lelaki Lumpuh” hendak mewartakan bahwa dalam hidup yang padat persoalan, masih tersisa sebongkah harapan (tampaknya, hampir semua cerpen dalam buku ini berpretensi demikian). Lelaki yang gila karena ditinggal istrinya, nyatanya, masih menemukan jalan keluar dari permasalahannya dengan perbuatan sepele. Ia, dalam kegilaannya, menganggap bahwa cara terbaik dalam meringankan beban pikiran adalah dengan melahap makanan yang diberikan seorang perempuan yang memiliki kemiripan dengan istrinya. Ini merupakan salah satu ciri khas BA. Pembaca tidak selalu dibujuk untuk menggugat ketidakberesan dalam diri tokoh, melainkan juga memberi jalan pintas—berupa solusi atau sekadar penghiburan diri—di pucuk kisah.

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar