Minggu, 14 Juli 2013

Berburu Husnul Khatimah (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jabar" edisi Minggu, 7 Juli 2013)


Sudah beberapa hari Kakek terlihat sangat lemah. Maklum. Di usianya yang senja, Kakek rajin melahap berbagai penyakit. Berkunjung ke dokter menjadi rutinitasnya yang membosankan. Saban hari, di mejanya, teronggok aneka macam obat yang ditebus dari apotek.
Kakek sadar, kalau ajal tengah menantinya. Rasanya, ingin sekali Kakek mereguk kembali kebiasaan yang silam ditunaikan; ialah membaca dan menela’ah al-Qur’an. Sebelum dirundung sakit-sakitan, Kakek gandrung melantunkan firman Tuhan. Meski suara kurang nyaman dicerap, Kakek begitu percaya diri. Sudah bisa dipastikan, tunai melaksanakan sholat Shubuh, berdzikir, dan merapal aurad-nya, Kakek mengalunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan keras.
Banyak yang tak mengerti, kenapa Kakek gemar memadatkan suara tiap kali bertadarus. Bahkan, ketika penyakit lambung Mbah Harjo kumat, Kakek tetap urung melirihkan suara. Tak ayal, para tetangga melempar gunjingan dahsyat. Enggan jera, lusa, Kakek malah menjinjing vokalnya lantang. Istri dan anak-anaknya tergencet amarah, tatkala mencoba mengingatkan renta berambut uban itu. 
“Mendengarkan bacaan al-Qur’an itu menyehatkan. Memang, manusia sekarang pilih mengakrabi syetan ketimbang kalam Tuhan.” Begitulah dalihnya.
***
Satu-satunya keinginan Kakek yang tersisa yaitu wafat pada malam Jum’at. Itulah mengapa, semua anak beserta cucunya mengantongi titah untuk senantiasa mendoakan agar harapan tersebut ringan terkabul.
Le, Nduk, cucu-cucuku semua. Mati malam Jum’at itu mulia. Siapa saja yang nyawanya dicabut pada malam itu, ia dijamin masuk surga. Habis sembahyang lima waktu, jangan lupa, ya! Doakan supaya aku mati pada malam Jum’at.”
Kaul itulah yang berhembus dari katup mulut Kakek ketika kami menggelesot di rumahnya. Lirih, lembut, namun menghunjam di relung dada. Kami sekadar mematung menenggak apa yang dilontarkan. Sudah berlusin kali Kakek menyuruh kami berkumpul, menadah pesan serupa, dan menganggukkan kepala setelahnya. Terlebih lagi, jika tidurnya menghidangkan mimpi buruk. Entah mimpi melihat layang-layang putuslah, menemukan gigi tumbuh di jantunglah, atau jadi pengantinlah. Dalam mitologi Jawa, seseorang yang mengunyah mimpi-mimpi tersebut, diyakini bahwa tak lama lagi ia akan terusir dari dunia. Alasan itu pula yang membuat Kakek enggan dibawa ke rumah sakit. Aku ingin mati di rumah dengan tenang, selorohnya ketus.
Walakin, firasat Kakek kerap meleset. Apa yang dikhawatirkan selama ini urung terjadi. Hingga sebagian di antara kami merasa bosan dan meringik. “Ada-ada saja. Mau mati saja, sulitnya minta ampun.”
***
Lembar-lembar nestapa menyelimuti ubun-ubun Kakek. Betapa pedihnya, menutup mata tanpa disandingi segenap buah hati. Lek Sum—bungsu yang paling disayangnya—pun tak menunjukkan batang gigi. Sebagian dari mereka, yang sengaja absen pada malam mangkatnya Kakek, menelan sesal. Alangkah pandirnya. Malas mereka menuruti permintaan pungkasan Kakek: berhimpun bersama di kediamannya. Mereka kira, Kakek membual belaka, semisal hari-hari yang lewat.
Kesedihan itu…. Kesedihan yang bagai pisau tajam itu nyatanya hanya singgah sebentar. Kesedihan tersebut lekas berkarat, setelah kami memergoki Kakek berpulang pada malam Jum’at, tepat saat jarum jam memeluk angka sembilan.
Disertai tangis membuncah, Ibu, selaku keturunan tertua, melempar senyum—meski dengan cara dipaksa.
“Saudara-saudaraku. Janganlah bersedih. Percayalah! Ayah pergi dalam keadaan husnul khatimah. Ayah bakal masuk surga. Di sana sudah menunggu bidadari-bidadari cantik jelita, ladang pahala, serta kenikmatan luar biasa.”
***
Mbah Laeman, sepuh yang istiqamah shalat berjamaah dengan Kakek di mushalla, sekonyong-konyong menudungi usia. Sontak, seluruh warga desa kami ribut. Apalagi, apalagi kematiannya tergolong tak wajar. Di leher layunya tergolek bekas jeratan. Rupanya, lelaki yang jangkap dua dasawarsa ditinggal mati sang istri dan bermukim sebatang kara di gubuk reyot itu gantung diri. Kang Diran, sepulang dari berburu belut, menemukan tubuhnya menggantung di pekarangan.
Kami tercekat, sempat tak percaya. Mbah Laeman merupakan salah seorang di desa kami yang dikenal saleh, tekun bersila di mushalla, dan suka membagi-bagikan buah nangka. Pun dinilai terlampau sabar meladeni cobaan hidup. Batuknya yang membabibuta, penyakit bengek yang menyiksa, serta kemiskinan yang tiada tara, sukar mengantarnya menyerah. Amat jarang—atau bahkan, barangkali tak pernah—kami memungut keluhan yang menyembul dari lidahnya. Kerap, kami dibuat geleng-geleng kepala. Sebab, dalam menampung berat dan rimbunnya ujian, ia mampu meniti kehidupan dengan dada lapang.
“Kaum muslimin-muslimat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Telah kembali ke hadirat Ilahi: Mbah Laeman, warga RT. 10. RW. 2 desa Dagugagap, pada jam sembilan tadi malam. Jenazah akan disembahyangkan di masjid al-Falah pada jam sepuluh pagi. Bagi yang bermaksud takziah, diharap hadir maksimal lima belas menit sebelum jenazah diberangkatkan.”
Warta berkabung tersebut disebarluaskan oleh Kang Hadi, kala surya belum benar-benar mengapung. Sebagai antisipasi agar, malamnya, warga yang sedang istirahat tiada terganggu. Ditambah lagi, kematian Mbah Laeman yang tragis, rentan menerbitkan suasana mencekam serta rasa takut bagi sebagian orang. 
Ketika mengambil air di sumur dekat mushalla, kudapati Kang Pardi asyik berbincang dengan Kasiyo. Sembari menimba—berpura-pura melihat ke dalam sumur—aku menyimak apa yang tengah mereka bicarakan.
“Hei, Yo. Jangan bilang ke siapa-siapa ya! Kemarin Mbah Laeman habis ngobrol denganku.” Mulut Kang Pardi berkecek enteng.
“Memangnya, dia ngomong apa?” Kasiyo serius menanggapi.
“Jangan keras gitu kalau ngomong! Mbah Laeman itu sebenarnya pengen mati seperti Mbah Doha.”
“Terus, apa hubungannya dengan kematiannya?”
“Uhh… Bodoh betul kau ini! Kau tahu kapan Mbah Doha meninggal?”
“Malam Jum’at”
“Kalau Mbah Laeman?”
“Tadi malam.”
Lha, ya.. tadi malam itu malam apa?” Sepasang tanduk mulai berkecambah di kepala Kang Pardi.
“Malam Jum’at”
“Sama, kan?”
“Terus, hubungannya dimana?”
“Kau dulu sekolah di mana? Kerbau..!”
“Aku kan gak sekolah.”
“Pantas saja! Mbah Laeman itu pengen mati mirip Mbah Doha. Paham?”
“Tapi Mbah Laeman kok kendat. Gak samalah dengan matinya Mbah Doha. Harusnya, sebelum mati, dia juga senang minum obat dan menyerahkan bokongnya ke Pak Dokter.”
“Makananmu apa? Banyak makan gizilah, biar cerdas! Maksudnya, Mbah Laeman  pengen mati pada malam Jum’at, seperti Mbah Doha.”
“O, gitu.. Memang apa enaknya mati malam Jum’at?”
“Kata Pak Kiai, barang siapa meninggal pada malam Jum’at, maka ia mendapat husnul khatimah.”
“Husnul khatimah? Bukannya Mbak Husnul sudah jadi istri Pak Gendut?”
Kang Pardi mendengus kesal.
***
Pagi merayapi siang. Shalat jenazah itu dibuntuti selingkar 100 orang. Berjibun memang. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih teliti, sungguh kedatangan mereka bukanlah untuk menghibahkan penghormatan terakhir bagi Mbah Laeman. Ada yang ingin mengetam sedekah dari sisa warisannya. Banyak pula yang berhasrat memafhumi lebih dalam faktor apa yang menyelinap di balik kasus bunuh diri lelaki fakir keturunan itu.
Usai memimpin shalat, berdoa sepemakan sirih, dengan lirih Pak Kiai bertutur kepada para hadirin, “para jama’ah sekalian. Setiap jenazah memerlukan kesaksian, tak terkecuali Mbah Laeman. Kesaksian ini merupakan kesaksian terakhir baginya sebelum menuju alam barzah. Jika semua jama’ah memberi kesaksian bahwa Mbah Laeman adalah hamba yang baik, maka ia dicatat oleh Allah selaku orang baik. Sebaliknya, jika disaksikan sebagai hamba yang buruk, ia pun buruk dalam pandangan Allah.”
Serejang kemudian, orang berjenggot abu-abu itu bersoal, “apakah Mbah Laeman termasuk hamba yang baik atau buruk?”
Semua terdiam.
“Mbah Laeman tergolong hamba yang baik atau buruk?” Pak Kiai mengulangi pertanyaan dengan suara agak diangkat.
Para jama’ah masih nekat bungkam, sambil memandangi keranda yang memuat tubuh Mbah Laeman.
“Saya tanya, apakah Mbah Laeman termasuk hamba yang baik atau buruk?”
Sekali lagi, jawaban tak kunjung terbuntang.
“Para jama’ah sekalian. Mohon dijawab! Mbah Laeman itu hamba yang baik atau buruk?”
Seseorang di antara kami—kalau tak salah Kang Gondo—menimpali, “kata apa yang menurut Pak Kiai pantas diucapkan? Akankah kami berkata bahwa mayat yang kami shalatkan ini adalah orang baik. Padahal, padahal dalam pengelihatan kami, ia sangatlah buruk. Sangat buruk sekali.”
Udara pecah. Komplotan debu berkeliaran di pelataran masjid.

Yogyakarta, 2012

Catatan:
Kendat     : istilah dalam bahasa Jawa yang berarti perbuatan bunuh diri dengan cara menggantung leher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar