Minggu, 06 Maret 2016

Propaganda Kitab Kuning (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 6 Maret 2016)


Pada masa penjajahan, kiai dan santri berperan aktif dalam mengusir wong Londo dari bumi pertiwi. Pada waktu itu, elemen-elemen agama cukup dominan sebagai alat perjuangan dan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial. Jihad merupakan argumentasi kalangan pesantren dalam rangka mewujudkan kemerdekaan. Resolusi Jihad yang diinisiasi oleh Hasyim Asyari menggambarkan betapa orang-orang pesantren memiliki kepedulian terhadap nasib bangsa. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menunjukkan bahwa pertumpahan darah para santri merupakan konsekuensi logis dari ikhtiar membangun baldatun thoyyibatun (negara dengan prinsip good governance).
Selain secara fisik, terdapat juga perlawanan lain berupa isolasi kultural terhadap penguasa. Hal ini dilakukan melalui karya tulis yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, terutama kaum Muslim. Kaum penjajah dirongrong oleh keberadaan kitab kuning yang menjadi “hidangan” setiap hari para santri. Keangkuhan kaum penjajah ditumbangkan dengan “masa bodoh” para santri. Dalam iklim politik yang kian memanas, mereka justru sibuk mempelajari karya para ulama yang menyajikan keharmonisan, kedamaian dan ketentraman hidup. Daripada mengikuti alur permainan orang-orang Belanda, para santri lebih sibuk mengungkung diri di pesantren guna mendalami ilmu-ilmu agama yang menjanjikan kebahagiaan di akhirat. Terkadang kaum kompeni lebih dipusingkan oleh perlawanan bercorak pasif, daripada pemberontakan yang menumpahkan banyak darah.

Bercorak Politis
Ada kalanya agitasi melawan pemerintah kolonial melalui karya tulis juga menyentuh persoalan politik. Sebut saja Kiai Rifa’i yang merintis gerakan keagamaan dengan penulisan kitab-kitab tarajumah (terjemahan kitab-kitab berbahasa Arab). Dalam pandangan Abdul Djamil (2001), pemerintah Belanda menganggap tulisan-tulisan tersebut memuat bahaya laten yang memiliki kaitan dengan persoalan politik. Bentuk perlawanan ini banyak menyita perhatian ilmuwan Belanda yang kerap terlibat dalam perumusan kebijakan terhadap Islam Indonesia.
Bagi pemerintah Belanda, kiprah Kiai Rifa’i dalam menyebarkan nilai-nilai agama dinilai telah mengancam stabilitas politik. Kata-kata kafir, fasik, dan zalim sering dilontarkan guna memberi predikat penguasa Hindia Belanda. Langkah ini diambil sebagai sikap tegas umat beragama. Melalui pengajaran kitab-kitab kuning, ia bukan saja menentang pemerintah, namun juga pegawai pemerintah, seperti penghulu, demang, dan bupati yang dianggap menuruti kemauan orang kafir.
Di antara ungkapan yang memuat seruannya kepada umat Islam untuk mengisolasi diri dari pemerintah yaitu: Setengah alim akeh pada syarekat/ Maring raja negara dosa dhalim/ Lan raja kafir atine tan taslim/ Tan ngistoaken ing Qur’anul Adzim/ Nyateru ing panutan adil alim// (Artinya: Sebagian orang alim ada yang bersekutu/ Kepada raja yang berdosa dan zalim/ Dan raja kafir hatinya tidak bisa Islam/ Tak menghiraukan Al-Qur’an al-Azim/ Membenci orang alim adil yang menjadi panutan//).
Syair-syair protes dalam kitab-kitab kuning lainnya semisal Targhib, Asnal Miqsad, Tafriqah, Bayan, Syarih al-Iman, Ri’ayah, dan al-Himmah menunjukkan, titik berat gerakan kebudayaannya di samping tertuju pada pemerintah juga orang-orang yang bergantung pada pemerintah. Bisa dipastikan syair-syair tersebut memunculkan besarnya dampak politis, sehingga pergolakan antara penguasa dengan umat Islam semakin tajam.
Dalam buku Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisasak (LKiS, 2001: 21) disebutkan, setelah menimbang sengitnya propaganda yang dilakukan, tak heran jika pemerintah mengategorikan Kiai Rifa’i sebagai pengacau dan penyebar ajaran sesat. Hal ini tercatat dengan baik dalam karya sastra Serat Cabolek karangan pujangga Yasadipura I.

Radikalisme
Saat kaum penjajah menancapkan kaki di Indonesia, hasutan kaum kolonial sebagai kafir, fasik, dan zalim dinilai tepat. Dengan beragam agitasi, rakyat dibekali dorongan yang kuat untuk memerangi penjunjung tinggi imperialisme. Kitab kuning menjadi media ampuh guna menggelorakan semangat jihad menggulingkan penguasa dan mendirikan bangsa yang berdaulat. Akan tetapi, untuk saat ini, di mana perdamaian global menjadi misi utama para tokoh agama, ungkapan-ungkapan tersebut lebih baik dihindari. Selain membangkitkan kebencian, propaganda hanya menyebabkan kerukunan antar umat beragama sukar diwujudkan.
Oleh karena itulah, perlu adanya reinterpretasi terhadap karya-karya lawas ulama tradisional. Penafsiran ulang merupakan kebutuhan mendesak, mengingat pesan yang terkandung dalam kitab kuning sering dipahami setengah-setengah. Dengan bergantinya zaman, teks kitab kuning tetap dibaca layaknya “zaman baheula”. Imbasnya, karya-karya cemerlang pada masa silam yang sebenarnya menyuguhkan pemahaman tentang urgensi harmonisme dan kebersamaan justru disalahartikan. Sehingga, semua produk pemikiran Barat ditolak mentah-mentah tanpa menimbang terlebih dahulu manfaat dan mafsadat (kerusakan) di dalamnya.
Kesalahpahaman ini juga menimbulkan kecurigaan membabibuta umat Islam terhadap liyan. Darah orang lain dihalalkan demi mewujudkan tegaknya agama Islam. Radikalisme muncul akibat kurang pahamnya seorang Muslim bahwa konteks yang berbeda menyebabkan penafsiran karya juga berbeda. Celakanya, oleh sejumlah oknum, keadaan ini justru dimanfaatkan demi memetik keuntungan, baik politis maupun finansial. Menyimpan beragam kepentingan, mereka berusaha mempertahankan status quo.

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar