Awal tahun 2017, sebuah
video viral menunjukan puluhan warga Rohingya mengalami penyiksaan. Dalam
kondisi tertekan, mereka dipaksa duduk di tanah dengan todongan senjata. Berita
ini menambah daftar pilu penderitaan minoritas muslim Rohingya. Dua bulan yang
lalu, sejumlah media menampilkan foto-foto tragis Desa Kyet Yoe Pyin yang
dihuni oleh mereka. Akibat dibombardir oleh helikopter militer Myanmar, wajah
desa yang penuh daya tarik berubah mengerikan. Banyak penduduk desa kehilangan
tempat tinggal. Berdasarkan pernyataan Human Rights Watch, sejumlah 820
bangunan di distrik Maungdaw luluh lantak.
Sayangnya, Pemerintah
Myanmar berusaha mengelak. Mereka enggan mengakui bahwa di Myanmar telah
berlangsung tragedi kemanusiaan. Berbagai pihak melontarkan kritik tajam
terhadap Penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Kepala Pemerintahan (State
of Chancellor) Myanmar tersebut dianggap ‘masa bodoh’ lantaran selalu diam saat
ditanya mengenai nasib suku Rohingya. Ia dinilai gagal menjaga ‘gawang perdamaian’
Myanmar. Sehingga, banjir tuntutan agar penghargaan nobel yang genap diterima
segera dicabut.
Minim
Toleransi
Pembantaian yang
menimpa kaum Muslim di Myanmar merupakan gambaran nyata bahwa desa di sana
tidak selamanya menjanjikan kenyamanan, keamanan, dan perlindungan. Berbagai
bentuk ancaman, baik fisik maupun psikis, dapat ditemukan di desa. Orang desa
menerima tekanan mental, psikologis, serta emosional. Untuk sekadar menunaikan
ibadah, umat Islam yang bermukim di desa harus berjuang mati-matian. Tak jarang
upaya mengokohkan fondasi agama memperoleh rongrongan dan gangguan dari
berbagai pihak, salah satunya militer.
Demi mempertahankan
eksistensi dan harga diri, mereka menghadapi brutalnya para pemanggul senjata.
Dalam posisi terjepit, kaum Muslim menghadapi kekejaman para tentara yang
bertugas membungkam siapa saja yang dalam dirinya tersimpan semangat jihad li i’lai
kalimatillah (menegakkan agama Allah). Pada saat inilah, keimanan pemeluk
Islam benar-benar sedang diuji.
Para biksu yang
seyogyanya memberikan pembelaan bagi orang-orang Islam justru memperparah
keadaan. Dengan melancarkan kampanye provokatif, mereka menghendaki agar
minoritas Muslim Rohingya diusir. Dari seruan ini, lahirlah berbagai macam
sinisme terhadap Islam. Padahal, kaum agamawan tersebut seharusnya memosisikan
diri sebagai figur dan teladan. Bagaimanapun, agama Budha mengajarkan kedamaian
dan kasih sayang. Mereka semestinya menampilkan sikap, karakter, serta perilaku
terpuji dalam melindungi siapa saja yang terzalimi.
Fakta di atas menunjukkan
betapa tingkat toleransi antar umat beragama di Myanmar sangat rendah. Interaksi
lintas agama selalu dalam kondisi ‘mengkhawatirkan’. Dalam menjalin hubungan
dengan umat Islam, pemeluk Budha diliputi dengan kebencian. Mereka tidak ingin
orang-orang Islam memperoleh tempat di Myanmar. Akibatnya, perilaku demikian
berimplikasi negatif bagi desa. Dalam taraf tertentu, desa menampilkan wajah seram.
Desa yang selayaknya identik dengan keramahan dan kelembutan, justru terkesan
menghadirkan teror dan penderitaan. Apa yang diperbuat oleh para biksu Myanmar
mengakibatkan nuansa kesejukan di desa tergantikan oleh kegelisahan dan
kecemasan.
Kearifan
Lokal
Berlainan dengan realitas
di Myanmar, harmoni, keseimbangan, dan keselarasan hidup tercipta di desa-desa
Indonesia. Desa senantiasa memberikan kehangatan bagi mereka yang membutuhkan. Segala
macam perbedaan dihadapi dengan arif dan bijak. Dhurorudin Mashad (2014: 267)
mencatat bahwa di Desa Bualu, Denpasar, Bali, terdapat sebuah komplek Puja
Mandala yang memuat lima rumah ibadah sekaligus. Penduduk desa acapkali menyaksikan
kegiatan keagamaan Islam, Katolik, Protestan, Budha, serta Hindu digelar secara
bersamaan. Setiap pemeluk agama berusaha saling menghormati agar kerukunan
tetap terpelihara. Sebelum menyelenggarakan acara, mereka bahkan meminta izin
terlebih dahulu pada pihak agama lain.
Efektivitas desa juga terbukti
terutama dalam mengatasi ketegangan sosial. Beragam pergolakan seringkali cukup
diselesaikan pada tingkat desa (tanpa campur tangan negara). Dengan menjunjung
tinggi kearifan lokal, kasus-kasus kekerasan mudah diredam. Dalam konteks inilah,
pemimpin lokal menjadi mediator bagi siapa saja yang berselisih.
Ada peristiwa menarik tentang
bagaimana perselisihan ditangani dengan kearifan lokal. Di sebuah desa di Bojonegoro,
Jawa Timur, dari tahun ke tahun, kasus perkelahian antarkelompok merupakan hal
yang lumrah. Bagi kawula muda, tawuran merupakan sarana perebutan wibawa sekaligus
kuasa. Kaum pemuda disibukkan dengan kecurigaan terhadap kelompok lain lantaran
tersebar asumsi bahwa kelompok mereka paling benar. Kerap tindak kekerasan
bermula dari persoalan sepele yang berujung adu kekuatan dan menelan korban.
Demi meredam perselisihan, seorang kepala
desa menempuh cara unik. Bermodal ‘insting kepemimpinan’, ia nekat memberikan
sebagian bengkok kepada ketiga kelompok yang berselisih. Ia berargumen bahwa
dengan pemberian ini, niscaya masing-masing kelompok dapat senantiasa eksis tanpa berniat menggeser kelompok lain.
Sebagai imbalannya, mereka dituntut menjaga keamanan desa.
Ketiga kelompok akhirnya bersepakat.
Pada awalnya, kesepakatan ini sukar terwujud. Bagaimanapun, dendam terlanjur
diwariskan lintas generasi. Namun demikian, mereka tetap menahan diri dari egosentrisme
dengan menjunjung tinggi kepentingan publik. Kini, mereka mampu hidup secara
berdampingan.
Di sinilah arti penting peran pemimpin
lokal dalam menyikapi problem sosial. Solusi atas chaos tidak ditemukan dalam produk perundang-undangan, melainkan dari
imajinasi dan kreativitas. Demi mensinergikan beberapa kepentingan, kepala desa
mengambil inisiatif mengurangi bengkok yang semestinya bisa dinikmati sendiri. Ini
merupakan bentuk kearifan lokal yang barangkali sukar ditemukan di desa-desa Myanmar.