Pemerintah belum lama ini
mengukuhkan Desa Banjarpanepen, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah, sebagai Desa Sadar Kerukunan. Desa terpencil yang berjarak sekitar 40
kilometer dari ibu kota Kabupaten Purwokerto ini merupakan salah satu desa percontohan
kerukunan antarumat beragama. Sekitar 80 persen penduduknya beragama Islam, 13
persen beragama Kristen, 5 persen beragama Budha, sedangkan sisanya adalah
penganut kepercayaan.
Sejak puluhan tahun
silam, umat Islam, Budha, Kristen, serta kepercayaan di sana hidup berdampingan
secara damai dan harmonis. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan sejumlah
masjid, gereja dan vihara yang hingga hari ini masih berdiri kokoh dan terawat
dengan baik. Betapa simbol-simbol agama menandai eratnya ikatan persaudaraan
lintas iman sekaligus menghilangkan kecurigaan berbasis agama dan kepercayaan.
Kerukunan antarumat
beragama tercermin dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendirian sarana
peribadatan. Apabila salah satu umat beragama merenovasi rumah ibadah, umat
agama lainnya turut mengulurkan bantuan. Kerukunan semacam ini juga terwujud
saat hari besar keagamaan dirayakan. Warga terbiasa bergotong royong dalam menyambut
kedatangan hari besar. Itulah mengapa, pada kegiatan grebeg suran, misalnya, semua umat beragama berkumpul dan menjalin
kebersamaan.
Fondasi
Kebangsaan
Menurut catatan
historis, ikhtiar mengukuhkan nilai dan prinsip toleransi beragama/berkeyakinan
sebenarnya telah dilakukan puluhan tahun silam. Jauh sebelum terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para bapak bangsa (founding fathers) genap menancapkan fondasi kebangsaan, baik
melalui gagasan maupun tindakan. Upaya ini mendapatkan penguatan ketika Pancasila
berhasil dirumuskan menjadi dasar negara.
Betapa falsafah hidup yang
diwariskan nenek moyang genap dikokohkan melalui Pancasila. Kearifan dan
kebijakan para pendahulu yang ditempa perjalanan waktu termanifestasi dalam
sila-silanya. Pancasila menuntut komitmen seluruh warga negara untuk senantiasa
memelihara kedamaian sekaligus menghindari segala bentuk perpecahan dan
permusuhan. Pancasila menghendaki agar setiap orang mampu menjunjung tinggi kebersamaan.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kepentingan umum mesti diutamakan
melebihi kepentingan pribadi. Beragam perbedaan yang ada berusaha diselaraskan,
terutama melalui sila ketiga. Bagaimanapun, sila ini menjadi simpul pengikat
berbagai latar belakang manusia. Dengan demikian, keanekaragaman suku, etnis, serta
budaya disikapi dengan arif dan bijak. Kemampuan merajut persatuan menjadi
modal setiap warga negara dalam mengatasi berbagai masalah bangsa.
Basic Human Rights
Sebagai bangsa yang
plural, pandangan mengenai agama dan kepercayaan semestinya bersifat terbuka
dan demokratis. Geliat menyebarkan nilai-nilai kebaikan patut digencarkan dalam
setiap kesempatan. Prinsip-prinsip kebersamaan harus dipelihara oleh setiap
pemeluk agama dan kepercayaan. Kerukunan hidup antarumat beragama merupakan
cita-cita yang patut diperjuangkan bersama. Dalam konteks inilah, usaha
mewujudkan keberagamaan inklusif menemukan relevansinya.
Kebebasan beragama/berkeyakinan
setiap warga negara telah mendapat jaminan dalam konstitusi. Mengingat, hak
beragama/berkeyakinan merupakan hak paling dasar yang dimiliki manusia (basic human rights). Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyatakan, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Adanya perlindungan
terhadap hak beragama/berkeyakinan merupakan upaya negara mengapresiasi pilihan
keyakinan warganya. Dengan perlindungan inilah, ekspresi keagamaan seseorang
dapat terjamin.
Namun demikian, hak
beragama/berkeyakinan tidak lantas dijalankan secara mutlak dan semena-mena. Hak
yang tak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non derogable rights) tersebut mesti
diwujudkan secara proporsional. Atas dasar inilah, konstitusi menetapkan batasan-batasan
tertentu bagi setiap orang guna mengekspresikan keyakinannya. Pasal 28J UUD NRI
1945 menegaskan keharusan setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Dalam
mengespresikan kebebasannya, termasuk dalam beragama/berkeyakinan, setiap warga
negara tunduk kepada pembatasan tersebut.
Kebijakan
Diskriminatif
Sayangnya, sejumlah
kasus menggambarkan bahwa sebagian orang bersikap kurang dewasa dalam beragama.
Apa yang mereka lakukan menunjukkan corak keberagamaan eksklusif. Lantaran
mengingkari realitas kultural, mereka kerap bersikap sarkastis, agresif, dan
ofensif. Mereka gemar menunjukkan tindakan yang rentan memecah belah persatuan
sekaligus mengancam eksistensi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Kasus penolakan warga
pendatang akibat perbedaan keyakinan menjadi penanda bahwa keberagamaan
inklusif belum sepenuhnya terwujud. Beberapa kebijakan diskriminatif yang terbit
di sejumlah desa merupakan indikasi serius adanya persoalan mendasar terkait
kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sebagian peraturan desa terbukti
mendorong sikap eksklusif, melegalkan intoleransi, melanggar hak warga negara, menodai
keberagaman, serta melukai kaum minoritas.
Padahal, aturan-aturan
diskriminatif yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi bisa dibatalkan. Ketentuan ini berdasarkan asas hukum lex superior derogat legi inferiori,
hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Boleh dibilang,
aturan-aturan formal dalam taraf tertentu telah dimanfaatkan oleh kelompok
mayoritas guna menindas kelompok minoritas.