Senin, 26 Agustus 2019

Merawat Kebudayaan Asmat (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Minggu, 25 Agustus 2019)



Asmat merupakan salah satu wilayah di Papua yang cukup rentan dengan gizi buruk dan wabah penyakit menular. Dalam satu tahun terakhir, di sana terdapat kejadian luar biasa (KLB) yang telah menewaskan 72 orang. Padahal, kawasan dengan banyak rawa-rawa tersebut dianugerahi sagu dan ikan yang melimpah.
Kondisi demikian barang tentu mengancam keberlangsungan hidup suku Asmat yang sejak lama mampu menginspirasi banyak seniman dunia. Atas dasar inilah, perlindungan terhadap suku terbesar dan paling terkenal di Papua tersebut menemukan relevansinya. Ikhtiar melindungi suku Asmat merupakan bentuk penghargaan negara terhadap Papua yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Kebudayaan Kayu
Tak hanya di kancah nasional, suku Asmat sejak lama juga memperoleh pengakuan di level internasinal. Suku Asmat genap menyuguhkan keunggulan, kecakapan, dan kreativitas bangsa Indonesia di mata dunia melalui karya mereka. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha menabalkan ciri khas dan karakter kebangsaan yang telah dikukuhkan oleh para pendahulu dan nenek moyang. Tak heran jika mereka berulang kali mengantongi penghargaan dunia. Apa yang dihasilkan oleh Suku Asmat merupakan Situs Warisan Budaya (Site of the World Cutural Heritage).
Sejumlah pakar menyematkan istilah “kebudayaan kayu” pada kebudayaan Asmat. Hal ini berangkat dari fakta bahwa orang-orang Asmat mampu memanfaatkan sekaligus mengelola kayu yang tumbuh di sekitar mereka untuk bertahan hidup di tengah alam yang gersang. Realitas inilah yang mendorong mereka untuk mewujudkan pemikiran mengenai kehidupan beragama dalam bentuk ukiran kayu dalam dua atau tiga dimensi. Itulah mengapa, ukiran kayu suku Asmat dianggap sebagai simbolisasi pemikiran mereka tentang religiusitas. Karya mereka merepresentasikan kepercayaan terhadap pemujaan roh, baih roh nenek moyang maupun roh alam dan makhluk lain, yang dinilai turut memengaruhi kehidupan manusia. Mereka memandang “kayu adalah Asmat, dan Asmat adalah pohon”, di mana pohon tak ubahnya makhluk hidup. Akar pohon ibarat kaki manusia, batang pohon adalah badan manusia, dahan dan rantingnya merupakan tangan dan jari-jari manusia, adapun buah-buahan sama saja dengan kepala manusia. (Zulyani Hidayah. 2015: 35).
Memang tidak semua kebudayaan Asmat dapat dipertahankan dan dimantapkan selaku identitas nasional. Dalam buku Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Asmat di Irian Jaya tercatat bahwa masyarakat desa Asmat secara tradisional pernah melestarikan kebiasaan pemenggalan kepala (pengayauan), kanibalisme, serta beragam upacara religi yang berhubungan dengannya. Pengembangan tradisi ini ternyata dikaitkan dengan tokoh-tokoh mitos leluhur dalam karya-karya ukir mereka. Orang-orang yang telah meninggal dunia diabadikan dalam beraneka patung sebagai pusat aktivitas ritual kematian dan penyimpan rencana balas dendam.
Dari gambaran kehidupan tradisional masyarakat desa Asmat, bisa diperoleh penjelasan bahwa kegiatan sehari-hari para laki-laki lazimnya difokuskan pada perang dan aktivitas keagamaan dalam bentuk ritual tarian dan nyanyian, sedangkan kaum Hawa memegang teguh sejumlah pantangan atau hal-hal yang dianggap tabu. Munculnya keyakinan ini berakar dari konsep kebudayaan yang senantiasa diwariskan lintas generasi. Pada waktu-waktu tertentu, semisal saat haid atau melahirkan anak, perempuan dianggap kotor, sehingga rentan mengancam kesejahteraan hidup penduduk desa. (Tito Andonis, dkk. 1994: 31).

Minat Wisatawan
Berdasarkan realitas historis di atas, kebudayaan Asmat perlu senantiasa diperhatikan. Pemerintah semestinya gencar melakukan perlindungan terhadap eksistensi kebudayaan Asmat yang menyimpan berbagai kecerdasan dan kearifan lokal (local wisdom). Seiring dengan gencarnya pemberitaan media internasional mengenai sisi negatif negeri ini, suku Asmat justru mampu menorehkan capaian luar biasa dalam upaya mengharumkan nama Indonesia. Suku Asmat berhasil menangkis serangan dan propaganda sejumlah pihak yang berniat menyebarkan “keburukan” bumi pertiwi. Bermotif keuntungan dan kepentingan sesaat, beberapa oknum ingin menjatuhkan harkat dan martabat Indonesia di kancah internasional. Meskipun demikian, langkah ini harus disertai filterisasi (penyaringan) budaya dengan memilah tradisi yang perlu ditonjolkan dan dikubur dalam-dalam.
Selain itu, panorama dan keindahan daerah-daerah yang menaungi kebudayaan Asmat juga selayaknya diapresiasi. Di antara usaha pelestarian terhadapnya diwujudkan dengan kesediaan pemerintah daerah dalam mengelola kawasan pariwisata dengan maksimal. Terdapat kesan bahwa sumber-sumber daya kepariwisataan di beberapa titik belum terorganisir secara baik. Usaha menarik minat wisatawan hanya dilakukan secara perorangan dengan menyediakan fasilitas sederhana serta losmen atau penginapan ala kadarnya.
Melihat fakta ini, langkah serius semestinya segera diambil. Pemerintah daerah selayaknya memperluas “daya jangkau” dengan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana daerah tersebut. Supaya terhindar dari pola top-down, pemerintah daerah tetap melibatkan warga desa dalam setiap prosesnya. Bagaimanapun, prinsip demokrasi menggariskan bahwa peran serta masyarakat dalam memberdayakan potensi kawasan pariwisata merupakan keniscayaan.

Bojonegoro, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar