Rabu, 14 Agustus 2019

Di Balik Maraknya Digitalisasi Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Selasa, 13 Agustus 2019)


Bermula dari pandangan bahwa teknologi informasi (TI) merupakan pelecut berkembangnya suatu wilayah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) getol menyebarluaskan jaringan internet ke seluruh pelosok Indonesia. Penguatan konektivitas dunia maya salah satunya diwujudkan oleh pemerintah dengan membangun infrastruktur digital di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (daerah 3T), terutama di Indonesia bagian timur.
Seiring dengan derasnya arus globalisasi dan modernisasi, tersedianya jaringan internet di beberapa kawasan merupakan kebutuhan vital. Tersebarnya akses internet hingga wilayah pedalaman menjadikan beragam informasi merangsek ke semua penjuru.

Domain Publik
Kini, membludaknya jaringan internet di kawasan perdesaan merupakan pemandangan biasa. Betapa di balai-balai desa genap terpasang jaringan wifi 24 jam nonstop. Bermodal akses internet, para administrator atau operator desa dapat dengan mudah menyuguhkan profil desa kepada khalayak. Di samping memunculkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah desa, kondisi demikian juga menjadikan harapan terwujudnya good governance di level lokal lebih besar. 
Di luar itu, informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa tidak hanya dimiliki oleh para elite lokal, melainkan juga masyarakat awam. Meluasnya akses internet turut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pemerintahan tertutup ke pemerintahan terbuka. Nilai-nilai demokrasi yang antara lain ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan mulai menggantikan otoritarianisme sebagai warisan rezim Orde Baru.
Upaya pemerintah desa memancing atensi khalayak terhadap program-program pemerintahan menandai berubahnya asumsi terhadap orang desa. Apabila dulu 'orang udik' dinilai bodoh dan terbelakang, maka sekarang mereka dianggap cerdas dan layak diikutsertakan dalam ikhtiar memajukan kepentingan bersama.
Dengan adanya persepsi tersebut, pemerintahan desa tidak mungkin dijalankan secara sewenang-wenang, melainkan berdasarkan ketentuan yang genap digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Informasi-informasi penting terkait desa yang awalnya dikuasai oleh segelintir orang akhirnya menjadi domain publik.  

Ekses Negatif
Langkah Kominfo menginisiasi program digitalisasi daerah 3T ternyata juga direspons secara positif oleh pemerintah desa dengan menyediakan layanan internet gratis bagi masyarakat. Optimalisasi dana desa antara lain terbukti dengan maraknya pemasangan infrastruktur digital di kawasan perdesaan.
Sayangnya, apa yang dilakukan oleh pemerintah desa tidak selamanya berjalan mulus. Usaha mencerdaskan masyarakat melalui jaringan wifi terkadang kurang diimbangi dengan kearifan, sehingga memunculkan ekses negatif. Penyediaan layanan internet gratis yang pada mulanya bermaksud mengajak masyarakat untuk membuka cakrawala dunia melalui mesin pencari ternyata disalahgunakan.
Ketimbang giat ‘memperkaya diri’ dengan ilmu pengetahuan, kaum muda justru sibuk ‘berjejaring ria’. Di sejumlah tempat, tak jarang kawula muda memanfaatkan jaringan internet desa hingga larut malam. Pemanfaatan infrastruktur digital juga menjadi alasan sebagian remaja untuk menjalin perasaan. Interaksi muda-mudi yang melampaui batas secara perlahan menyulap balai desa menjadi ‘balai asmara’.
Fakta di atas membuat kepala desa beserta perangkatnya merasa cemas dan khawatir. Mereka kerap dihantui rasa bersalah karena telah menyuplai sarana-sarana digital yang rentan digunakan untuk kegiatan-kegiatan negatif.

Norma Sosial
Alih-alih menghadirkan kemajuan desa, jaringan internet yang ‘kurang tepat guna’ justru mengundang bermacam bentuk kerusakan. Imbasnya, norma-norma sosial yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang desa terpaksa dikorbankan demi terpenuhinya hasrat pribadi.
Degradasi moral yang menjangkiti para remaja dinilai telah meluluhlantakkan nilai dan etos para pendahulu atau nenek moyang. Tak heran apabila orang desa masa kini menghadapi ancaman peralihan dari masyarakat komunal menuju masyarakat bercorak individual.
Tantangan inilah yang semestinya segera diatasi oleh pemerintah desa. Aneka kenakalan remaja selayaknya tidak disikapi secara reaktif-emosional. Daripada memutus jaringan wifi, lebih baik pemerintah desa mengelolanya secara bijak. Selaku aktor di level lokal, kepala desa beserta perangkatnya harus menekankan pemahaman bahwa layanan internet gratis merupakan medium pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah desa berkontribusi membentuk karakter kaum muda yang cerdas, kritis, inovatif, dan bertanggung jawab. Jika dimanfaatkan secara bijak, infrastruktur digital antara lain berfungsi meningkatkan potensi, memupuk motivasi hidup, memperbaiki taraf ekonomi, serta mengatrol produktivitas kerja.

Bojonegoro, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar